Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah menerapkan pajak pertambahan nilai (PPN) atas bahan pokok dari sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan, termasuk jasa pendidikan atau sekolah.
Penerapan PPN itu pun menuai pro kontra dan tanggapan dari berbagai pihak. Salah satunya dari Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal.
Advertisement
Dia mempertanyakan rencana pengenaan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk bahan pokok seperti sembako.
Pada sisi lain, pemerintah berencana untuk kembali menggelar program pengampunan pajak (tax amnesty) jilid II, yang masuk dalam pembahasan Revisi Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).
"Cara-cara memberlakukan kembali tax amnesty jilid II dan menaikan PPN khususnya PPN sembako adalah cara-cara kolonialisme yang dilakukan oleh Menteri Keuangan," kata Iqbal dalam sesi teleconference, Kamis (10/6/2021).
Selain itu, anggota dewan juga turut angkat bicara. Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Amir Uskara meminta pemerintah memikirkan lebih matang rencana penerapan pajak pertambahan nilai (PPN) pada sembako.
Ia menyebut adanya PPN tersebut, hanya akan menambah beban rakyat dan berpotensi menaikkan angka kemiskinan.
"Akan berpotensi meningkatkan angka kemiskinan, sekarang apalagi pandemi," kata Amir.
Berikut deretan tanggapan pro kontra berbagai pihak terkait adanya PPN baru di sejumlah bidang dihimpun Liputan6.com:
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pengamat
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk jasa pendidikan atau sekolah bertentangan dengan fokus pemerintah memperbaiki kualitas Sumber Daya Manusia (SDM).
Pengenaan pajak ini pun akan mencekik biaya pendidikan, khususnya masyarakat kelas bawah.
Jasa pendidikan yang akan kena PPN sangat luas meliputi jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikanumum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesional plus jasa pendidikan diluar sekolah.
"Akibatnya biaya pendidikan semakin sulit dijangkau masyarakat kelas bawah," kata Bima saat dihubungi Merdeka.com, Kamis (10/6/2021).
Bima menekankan, dibanyak negara PPN pendidikan itu dikecualikan. Dirinya pun heran kenapa justru di Indonesia malah pendidikan atau sekolah ingin dikenakan tarif PPN. Jika memang dasarnya pengenaan PPN ini sekedar kejar-kejaran soal penerimaan pajak jangka pendek, maka sangat tidak tepat.
"Pemerintah sepertinya tidak paham filosofi pembuatan aturan PPN kenapa pendidikan harus dikecualikan," jelasnya.
Bima melanjutkan, pengenaan tarif PPN di sektor pendidikan sama saja membuat beban bagi masyarakat miskin ibarat jatuh tertimpa tangga. Sudah kena PPN sembako, subsidi listrik mau dicabut, sekarang pemerintah justru mau kejar PPN sekolah.
"Padahal biaya pendidikan kontribusinya 1,9 persen dari garis kemiskinan di perkotaan dan 1,18 persen dari garis kemiskinan di pedesaan," ujarnya.
Dia pun khawatir jika tarif PPN itu dikenakan, yang terjadi adalah masyarakat akan mengurangi belanja pendidikan. Seperti misalnya yang habis sekolah ada les tambahan, karena kena PPN jadi batal les-nya.
"Bagaimana keluarga miskin keluar dari rantai kemiskinan kalau begini caranya. Bahkan pemerintah harus tanggung jawab kalau ada pelajar yang putus sekolah setelah kebijakan PPN disahkan," tandas Bima.
Sementara itu, Direktur Riset Center of Reform on Economixs (CORE), Piter Abdullah meyakini, pemerintah tidak akan mengenakan pajak PPN untuk kegiatan pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Sebab dia melihat pemerintah pasti akan bijak dalam melakukan reformasi perpajakan.
"Dari informasi yang saya terima, belum dipastikan bahwa sekolah akan dikenakan pajak PPN. Saya masih meyakini pemerintah tidak akan mengenakan pajak PPN untuk kegiatan pendidikan," kata Piter kepada merdeka.com, Kamis (10/6/2021).
Dia memahami, pengenaan tarif PPN tersebut disatu sisi memang akan membebani masyarakat. Namun di sisi lain juga tidak akan banyak menambah penerimaan pajak bagi pemerintah.
Oleh karena itu, dia meminta kepada masyarakat sebaiknya tidak terlalu khawatir dan gaduh terkait dengan rencana pengenaan PPN tersebut. Sebab pemerintah akan bijak dalam melakukan reformasi perpajakan.
"Reformasi perpajakan ditujukan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat bukan untuk menambah beban masyarakat," tandasnya.
Advertisement
KSPI
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, mempertanyakan rencana pengenaan tarif PPN untuk bahan pokok seperti sembako.
Di sisi lain, pemerintah juga berencana untuk kembali menggelar program pengampunan pajak (tax amnesty) jilid II, yang masuk dalam pembahasan Revisi Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).
"Cara-cara memberlakukan kembali tax amnesty jilid II dan menaikan PPN khususnya PPN sembako adalah cara-cara kolonialisme yang dilakukan oleh Menteri Keuangan," kata Iqbal dalam sesi teleconference.
"Ini adalah sifat penjajah. Orang kaya diberi relaksasi pajak, termasuk produsen mobil diberikan relaksasi PPnBM 0 persen, tapi rakyat untuk makan direncanakan dikenai pajak," serunya.
Iqbal lantas menyoroti program tax amnesty jilid I, yang menurutnya gagal mewujudkan target untuk mendatangkan ribuan triliun rupiah dana dari luar negeri.
"Jangankan Rp 11 ribu triliun uang pengusaha di luar negeri akan masuk, yang ada penerimaan pajak saja tidak tercapai. Stop retorika Menteri Keuangan memberlakukan tax amnesty jilid 2," ujar dia.
"Kami akan tempuh secara hukum uji materi di Mahkamah Konstitusi. Yang kedua kami minta DPR menolak keras, jadilah wakil rakyat. Keterlaluan kalau sampai mengesahkan tax amnesty dan menaikan PPN untuk sembako," tegas Said Iqbal.
YLKI
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menolak rencana pemerintah menarik tarif PPN untuk bahan pangan. Menurut Tulus, rencana tersebut sangat tidak manusiawi.
Di tengah pandemi Covid-19, daya beli masyarakat sedang turun drastis. Seharusnya langkah yang diberikan diberi insentif perpajakan tetapi ini justru sebaiknya.
"Wacana ini jelas menjadi wacana kebijakan yang tidak manusiawi," kata Tulus dalam pernyataanya.
Tulus mengatakan, pengenaan PPN akan menjadi beban baru bagi masyarakat dan konsumen, berupa kenaikan harga kebutuhan pokok. Belum lagi jika ada distorsi pasar, maka kenaikannya akan semakin tinggi.
Di samping itu pengenaan PPN pada bahan pangan juga bisa menjadi ancaman terhadap keamanan pasokan pangan pada masyarakat.
"Oleh karena itu, wacana ini harus dibatalkan. Pemerintah seharusnya lebih kreatif, jika alasannya untuk menggali pendapatan dana APBN," jelasnya,
Padahal untuk menggali penadapatan, pemerintah bisa menaikkan cukai rokok yang lebih signifikan. Sebab dengan kenaikan cukai rokok, potensinya bisa mencapai Rp 200 triliun lebih.
Selain itu, juga akan berdampak positif terhadap masyarakat menengah bawah, agar mengurangi konsumsi rokoknya, dan mengalokasikan untuk keperluan bahan pangan.
Advertisement
Federasi Guru Honorer
Pemerintah berencana akan mengenakan PPN untuk kategori jasa pendidikan. Di mana saat ini jasa pendidikan masih dalam 11 kelompok jasa yang bebas dari PPN.
Merespons hal itu, Pembina Federasi Guru Tenaga Honorer Swasta Indonesia (FGTHSI) Didi Suprijadi menganggap, jika dilakukan keputusan tersebut merupakan sesuatu yang kejam.
"PPN dikenakan kepada jasa pendidikan komentarnya hanya satu, sangat kejam," tegasnya kepada Liputan6.com.
Menurut Didi, jasa pendidikan merupakan jasa non-profit. Di mana jika ada keuntungan dari jasa tersebut akan dikembalikan untuk pengembangan pendidikan.
"Jasa pendidikan adalah jasa yang bersifat sosial tentu nonprofit. Kalaupun ada profit dipergunakan untuk pengembangan pendidikan itu sendiri. Jasa pendidikan hampir sama dengan jasa keagamaan. Sama sama bersifat sosial," katanya.
Didi menyarankan agar rencana tersebut dibatalkan. "Sarannya , pemerintah lebih baik membatalkan rencana ini, PPN kebutuhan pokok sudah ramai orang masyarakat tidak setuju," tukas Didi.
PKS
Ketua DPP PKS Netty Prasetiyani Aher berharap pemerintah membatalkan rencana pengenaan PPN sembako.
Pasalnya, selain membuat rakyat semakin susah dan bertambahnya angka kemiskinan, ini jelas berpotensi meningkatkan angka stunting yang kini coba ditekan oleh pemerintah sendiri.
"Kita khawatir banyak keluarga akan kesulitan memenuhi standar gizi untuk anak-anak, bahkan dapat mengancam naiknya angka stunting dan gizi buruk," kata Netty dalam keterangannya.
Menurut dia, jelas rencana pengenaan PPN sembako ini menunjukkan pemerintah tidak membela rakyatnya terlebih di tengah pandemi. Pasalnya, dalam kondisi seperti saat ini banyak yang terdampak kondisi ekonominya, bahkan jelas kehilangan pekerjaan.
"Ini kebijakan yang tidak pro rakyat," jelas Netty.
Dia meminta pemerintah membatalkan rencana pengenaan PPN sembako tersebut. Selain itu, meminta harus peka dengan kondisi masyarakat saat ini.
"Berhentilah menguji kesabaran rakyat dengan membuat kebijakan yang tidak masuk akal," kata Netty.
Advertisement
DPR
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Amir Uskara meminta pemerintah memikirkan lebih matang rencana penerapan PPN pada sembako.
Ia menyebut adanya PPN tersebut, hanya akan menambah beban rakyat dan berpotensi menaikkan angka kemiskinan.
"Akan berpotensi meningkatkan angka kemiskinan, sekarang apalagi pandemi," kata Amir saat dikonfirmasi.
Menurut dia, pemerintah harus punya rencana matang dalam pemberian PPN kepada sembako ini. Jika angka kemiskinan bertambah, maka tentu saja berdampak pada daya beli masyarakatnya.
"Sembako sebagai kebutuhan pokok bila kena pajak akan menurunkan daya beli masyarakat," jelas Amir.
Politisi PPP ini mengingatkan, sejauh ini data BPS sudah ada 1,62 juta orang menganggur akibat pandemi Covid-19. Selain itu, jumlah penduduk miskin yang naik menjadi 10.19%.
"Itu harus dan perlu dijadikan pertimbangan matang pemerintah," kata Amir.
Senada, Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda menilai, wacana PPN ini akan memberikan dampak serius bagi masa depan penyelenggaraan Pendidikan di Indonesia salah satunya biaya Pendidikan akan kian mahal.
"Pengenaan PPN ini berpotensi berimbas serius terhadap jasa pendidikan, karena pajak ini oleh lembaga pendidikan akan dibebankan kepada wali murid. Biaya pendidikan akan menjadi tinggi," ujar dia.
Dia memahami jika pemerintah berusaha memperluas basis objek pajak di tanah air. Langkah ini sebagian dari upaya meningkatkan pendapatan negara.
"Kami memahami jika 85% pendapatan negara tergantung pada sektor pajak. Kendati demikian pemerintah harusnya berhati-hati untuk memasukkan sektor Pendidikan sebagai objek pajak," katanya.
Huda mengatakan penyelenggaraan Pendidikan di Indonesia memang sebagian dilakukan oleh kalangan swasta. Bahkan ada sebagian dari penyelenggara Pendidikan memasang tarif mahal karena kualitas kurikulum maupun sarana prasarana penunjangnya.
Kendati demikian, secara umum sector Pendidikan masih membutuhkan uluran tangan pemerintah karena keterbatasan sarana prasarana maupun lemahnya potensi ekonominya.
"Kita belum mengukur secara presisi dampak dari kebijakan tersebut, namun saat ini hal tersebut membuat kami mengkhawatirkan implikasinya," katanya.
Politisi PKB ini menilai agak kurang tepat jika sektor Pendidikan dijadikan objek pajak. Menurutnya sistem Universal Service Obligation (USO) akan lebih tepat digunakan untuk memeratakan akses Pendidikan. Dengan system ini sekolah-sekolah yang dipandang mapan akan membantu sekolah yang kurang mapan.
"Dengan demikian kalaupun ada potensi pendapatan negara yang didapatkan dari sektor Pendidikan, maka outputnya juga untuk Pendidikan. Istilahnya dari Pendidikan untuk Pendidikan juga," ucap Huda.
Terkait pungutan PPN untuk jasa pendidikan, Huda berharap agar pemerintah duduk bersama Komisi X DPR RI guna membahas persoalan ini agar menjadi jelas duduk perkaranya dan ditemukan solusi bersama. Kementerian Keuangan bisa datang ke Komisi X untuk memberikan alasan, rasionalisasi, dan dampak jika PPN jasa Pendidikan benar-benar dilaksanakan.
"Agar tidak menjadi polemik dan kontra produktif, kita mengharapkan penjelasan pemerintah atas isu ini," tutup dia.
MPR
Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani menilai wacana pemerintah untuk menerapkan PPN atas bahan pokok dari sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan berpotensi melanggar Pancasila.
Menurut Arsul, wacana itu akan melanggar sila kelima, yakni Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
"Kebijakan tersebut terbuka untuk dipersoalkan jika nantinya benar-benar masuk dalam UU KUP (Ketentuan Umum Perpajakan). Kebijakan ini terbuka untuk digugat dengan argumentasi bertentangan dengan Pasal 33 ayat 4 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya terkait dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan dan menjaga keseimbangan kesatuan ekonomi nasional," ujar Arsul dalam keterangan tulis.
Arsul mengingatkan bahwa beberapa waktu lalu pemerintah telah melakukan relaksasi kebijakan perpajakan dengan meminimalkan pengenaan pajak pertambahan nilai atas barang mewah (PPN-BM) terhadap mobil dengan kategori tertentu.
Padahal yang diuntungkan terhadap kebijakan ini hanya sebagian rakyat Indonesia saja, khususnya mereka yang berstatus kelas menengah keatas yang memiliki kemampuan dan daya beli atas mobil yang mendapatkan keringanan PPN-BM.
"Ini artinya Pemerintah rela kehilangan salah satu sumber pendapatan fiskalnya," ujarnya.
Namun menurut Arsul, kalau kemudian untuk menutup kehilangan sumber fiskal tersebut Pemerintah menggantinya dengan menambah beban pajak pada barang kebutuhan pokok yang menjadi hajat hidup seluruh rakyat, maka sisi keadilan dari kebijakan tersebut patut dipertanyakan.
"Selain sisi keadilan sosial, maka dari sisi konstitusi, kebijakan memberikan keringanan PPN pada sektor tertentu yang bukan merupakan hajat seluruh rakyat dan kemudian mengganti kehilangan sumber fiskalnya dengan mengenakan PPN pada sektor yang justru merupakan hajat hidup seluruh rakyat bisa dipandang sebagai bertentangan dengan norma konstitusi tentang prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan serta keharusan menjaga keseimbangan kesatuan ekonomi nasional," paparnya.
Arsul mengingatkan Pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk benar-benar melakukan kajian dari sisi dasar dan ideologi bernegara serta konstitusi negara atas rencana tersebut.
"Mari kita cerminkan Pancasila kita dalam sikap pemerintahan yg nyata dengan tidak membuat kebijakan atau perundangan yang menabrak Pancasila dan konstitusi kita," pungkas Arsul.
(Syauyiid Alamsyah)
Advertisement