Liputan6.com, Jakarta Ketentuan mengenai pemindahan suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik beserta sanksinya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang perdana Perkara Nomor 17/PUU-XIX/2021 digelar pada Kamis (10/6/2021).
Permohonan tersebut diajukan oleh Rosiana Simon (Pemohon I) dan Kok An (Pemohon II) yang merupakan pasangan suami istri. Rosiana Simon merupakan karyawan PT. Kadence International yang dilaporkan oleh pihak perusahaan karena menyimpan data hasil kinerja di Google Drive milik pribadi, sedangkan Kok An yang merupakan suami Rosiana mengetahui sandi surat elektronik (surel) Pemohon I.
Advertisement
Dikutip dari laman www.mkri.id, dalam permohonannya, Pemohon menguji Pasal 32 ayat (1), Pasal 32 ayat (2), Pasal 32 ayat (3), serta Pasal 48 ayat (1), Pasal 48 ayat (2), dan Pasal 48 ayat (3) UU ITE. Pasal-pasal tersebut dinilai memiliki unsur dan multitafsir yang seharusnya diperjelas dalam Undang-Undang atau ketentuan hukum lainnya seperti peraturan pelaksana Undang-Undang.
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Ketua Panel Manahan MP. Sitompul, Mohammad Yusuf Hasibuan selaku kuasa hukum mengatakan Pemohon pada saat pemindahan data masih berstatus sebagai karyawan permanen PT. Kadence International, namun perusahaan tidak pernah menyosialisasikan peraturan perusahaan dengan baik terkait data yang bersifat rahasia perusahaan.
Rosiana menyimpan data tersebut di Google Drive milik pribadi semata-mata hanya untuk pembelaan diri atas surat peringatan ketiga terkait penilaian kinerja yang keliru terhadap hasil kinerjanya. Sedangkan Kok An yang merupakan suami Rosiana mengetahui sandi surel Pemohon I hanya sebatas membantu mengingat apabila lupa sandi surel pribadinya.
Menurut Yusuf, PT. Kadence International memberikan surat peringkat ketiga (SP-3 yang pertama) kepada pemohon terkait dengan performa kinerja berdasarkan penilaian kinerja yang dilakukan sepihak oleh perusahaan.
Pemohon menolak surat tersebut karena selama bekerja, Pemohon I selama bekerja telah memenuhi target bahkan melebihi target dasar perusahaan. Menurutnya, dalam SP-3, perusahaan tidak dapat membuktikan pelanggaran ataupun kesalahan Pemohon I.
Pemohon mengkhawatirkan bahwa pasal tersebut berpotensi merusak nilai kebenaran dan keadilan bagi semua warga negara. Oleh karena itu, berdasar argumentasi tersebut, para Pemohon meminta MK menyatakan bahwa pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Kerugian Konstitusional
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan bahwa bahwa perihal pada permohonannya perlu ditambahkan pasal yang dimohonkan Pemohon. Selain itu, pemohon perlu merunut secara rinci pada bagian kewenangan Mahkamah sehingga tidak terjadi pengulangan.
"Pada kewenangan Mahkamah dirinci mulai dari UUD 1945, UU Kehakiman, UU MK dan UU pembentuk perundang-undangan. Dirunut agar tidak berulang," urainya. Lebih lanjut Enny mengatakan, Pemohon juga perlu menguraikan kerugian hak konstitusional pemohon yang dirugikan dengan berlakunya UU tersebut.
Hal senada dikatakan Hakim Konstitusi Saldi Isra. Saldi meminta kepada pemohon untuk mengemukakan alasan kenapa pasal yang diuji bertentangan dengan UUD 1945.
"Mengemukakan antara kerugian konstitusional dengan alasan-alasan untuk mengajukan permohonan. Kalau alasan-alasan permohonan adalah anda harus menggambarkan mengapa pasal-pasal yang diuji bertentangan dengan UUD 1945," ujarnya.
Pada akhir persidangan, Manahan menyampaikan bahwa Pemohon diberikan waktu untuk memperbaiki permohonan sebelum Rabu, 23 Juni 2021 pukul 11.00 WIB.
Advertisement