Liputan6.com, Jakarta - Pemilihan Umum (Pemilu) yang mencakup Pemilihan legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres), akan digelar serentak bersama Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada pada 2024. Ini sesuai dengan amanah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.
Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 201 ayat 8 disebutkan, Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada November 2024.
Semangat yang diusung dalam Pemilu dan Pilkada serentak ini adalah efisiensi anggaran. Hal itu berdasarkan pengalaman Pileg dan Pilpres 2019, yang menyedot anggaran negara sebesar Rp 25,59 triliun. Sementara Pilkada 2020, menelan dana sekitar Rp 20,46 triliun.
Baca Juga
Advertisement
Sebelumnya terdapat usulan merevisi UU Pemilu yang bisa membuat perubahan jadwal Pilkada serentak 2024. Dukungan revisi UU Pemilu juga tak lain agar Pilkada berlangsung pada 2022 dan 2023, bukan 2024. Sebab, ratusan kepala daerah akan berakhir masa jabatannya di tahun 2022 dan 2023.
Ada kenyataan bahwa apabila Pilkada Serentak tetap berlangsung pada 2024 dan Pilkada 2022 dan 2023 benar-benar ditiadakan, maka sedikitnya 101 hasil Pilkada 2017, dan 171 wilayah Pilkada 2018, akan dipimpin Pejabat (Pj) atau Pelaksana Tugas (Plt), yang ditunjuk oleh Kementerian Dalam Negeri.
Pj, Plt, dan Plh yang ditunjuk Kemendagri tersebut bakal mengemban tugas, karena masa tugas kepala daerah yang berakhir di 2022 dan 2023. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, mengungkapkan, mekanisme penunjukan penjabat (Pj) gubernur, akan ditentukan Presiden Joko Widodo pada tahun 2022 dan 2023 mendatang.
Pj berbeda dengan Plt dan Plh. Sebab, Pj punya kewenangan penuh sesuai dengan aturan di UU Pemilu dan UU Pilkada. Aturan mengenai masa jabatan dan Pj diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 201 point 9 yang berbunyi:
"Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Wali Kota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024."
Seperti diketahui, gubernur yang pada 2022 harus selesai masa jabatannya di antaranya, Gubernur DKI Jakarta, Aceh, Bangka Belitung, Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, serta Papua Barat. Sementara gubernur yang bakal habis masa jabatannya pada 2023 yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Bali.
Sejumlah pihak menilai UU Pemilu ini tidak efektif, karena terjadi kekosongan di wilayah yang dipimpin kepala daerah terpilih yang habis masa jabatannya pada 2022 dan 2023. Pj atau Plt yang ditunjuk Kemendagri nanti bukan sosok pilihan warga di wilayah tersebut. Selain itu, legitimasi hukumnya pun masih menjadi perdebatan.
Gubernur Populer Kehilangan Panggung?
Yang menarik, situasi itu kemungkinan besar banyak memengaruhi gubernur-gubernur populer, yang berpotensi ikut kontestasi Pilpres 2024. Nama-nama terkenal seperti Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan masa jabatannya habis di 2022.
Sementara pada 2023, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (RK) juga bakal memasuki akhir masa jabatan. Bukan rahasia lagi jika Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Ridwan Kamil digadang-gadang sebagai calon yang akan bersaing untuk Pilpres 2024.
Apabila mereka bukan sosok yang ditunjuk Kemendagri dan Presiden Jokowi sebagai Pj atau Plt usai masa jabatan habis, bisa jadi bukan hal yang menguntungkan. Dengan tidak menjabat, mereka tentu kehilangan panggung, yang berpeluang membuat popularitas dan elektabilitas mereka menurun jelang Pemilu 2024.
Soal wacana perubahan jadwal Pemilu dan Pilkada 2024, KPU RI, DPR, dan pemerintah sejauh ini bersepakat memisahkan waktu pelaksanaan. Dalam rapat yang terdiri dari Komisi II DPR RI, Kemendagri, KPU, Bawaslu, dan DKPP pada Kamis (3/6/2021), disepakati Pemilu 2024 berlangsung pada 28 Februari 2024 dan Pilkada pada 27 November 2024.
Namun, perubahan jadwal Pemilu Serentak 2024 tersebut menurut KPU, sifatnya masih rencana. Masih perlu rapat lanjutan sebelum membuat keputusan.
Saksikan Video Berikut Ini
Ditentukan Momentum
Kekosongan setelah habis masa jabatan sampai Pemilu dan Pilkada 2024 diyakini memengaruhi popularitas dan elektabilitas sejumlah gubernur yang disebut-sebut berpotensi ikut Pilpres. Terlebih yang diangkat oleh Kemendagri bukan mereka lagi untuk melanjutkan jabatan sampai 2024.
Kepala Departemen Politik dan Sosial CSIS (Centre for Strategic and International Studies), Arya Fernandes, menyarankan, para gubernur yang masa jabatannya habis, tapi berniat ikut Pilpres 2024, perlu menjaga momentum. Hal itu dilakukan agar popularitas dan elektabilitas mereka tidak anjlok.
"Membuat momentum itu misalnya, mempunyai atau ikut dalam komunitas politik tertentu, sehingga dia akan terus-menerus menjadi sumber pemberitaan. Atau dia mempunyai satu aktivitas politik yang membuat dia selalu terkoneksi dengan pemberitaan media. Atau bisa jadi dia akan membuat suatu inovasi ya misalnya berkegiatan," kata Arya ketika dihubungi Liputan6.com.
"Jadi kemampuan untuk meng-create momentum itu. Itu yang akan menentukan apakah seberapa besar calon-calon tersebut mampu mengelola atau mempertahankan popularitas dan elektabilitasnya. Karena, tentu saja ketika mereka tidak lagi menjadi gubernur, aspek pemberitaan akan berkurang," jelasnya.
Dia menyatakan, para gubernur itu akan masih punya kesempatan jika terlibat dalam aktivitas dan komunitas politik secara intens usai masa jabatannya habis. Dengan demikian, mereka dapat tetap menatap optimis Pemilu 2024 tanpa khawatir elektabilitas dan popularitas menurun.
Jika bicara waktu tersisa usai masa jabatan sebelum Pemilu 2024, Arya berpendapat, Ridwan Kamil dan Ganjar Pranowo yang habis pada 2023, secara tidak langsung "lebih diuntungkan" dibanding Anies Baswedan, yang lebih dulu selesai pada 2022.
"Tahun 2023 itu, harus dilihat lagi, bulan berapa (masa jabatan Ganjar dan Ridwan Kamil) habis. Mungkin tidak sampai satu tahun juga, karena Pilpres-nya itu bulan Februari 2024. Jadi, mungkin mereka (Ganjar dan RK) tidak akan kosong lama," terang Arya.
"Dan di tahun itu pun lagi puncak-puncaknya kontestasi politik. Jadi, saya menduga, mungkin RK dan Ganjar tidak terlalu mendapatkan kerugian dari konsekuensi Pilkada Serentak 2024, karena masa jabatannya berakhir dekat sekali dengan proses waktu Pilpres 2024. Kekosongannya hanya sedikit," imbuh mantan jurnalis ini.
Tantangan Anies
Arya menyebut, situasi ini menjadi tantangan bagi Anies untuk membuat inovasi-inovasi politik, karena praktis dia akan hampir 1,5 tahun mengalami kekosongan usai masa jabatannya sebagai Gubernur DKI habis pada 2022.
Selain itu, pembiayaan politik Anies juga akan menjadi lebih besar dibanding Ganjar dan Ridwan Kamil, dalam hal kampanye dan sosialisasi menuju Pilpres 2024. Tapi, Arya percaya para calon biasanya sudah menabung atau menyiapkan dana untuk pertarungan politik yang bakal mereka hadapi.
"Kalau selama ini mungkin ditopang atau dibantu oleh dana sosialisasi Pemda. Misalnya, Pemda punya dana sosialiasi untuk menyosialisasikan program atau kebijakan tertentu, dan untuk itu kandidat dari gubernur punya kesempatan untuk menyosialisasikan diri. Kalau tidak lagi menjabat ya spending-nya, spending personal ya, tentu akan lebih besar dibandingkan ketika sedang menjabat," beber Arya.
Selain punya tabungan politik, para politikus biasanya juga melakukan fundraising (penggalangan dana). Biasanya, kata Arya, dana didapat dari kelompok sektor politik, dari bohir, dari pendukungnya, dari teman, serta orang-orang yang tertarik dengan ide dan gagasannya apabila memimpin. Bahkan, seorang pengusaha sekalipun, jika maju ke panggung politik, pun tidak sepenuhnya menggunakan dana personal untuk aktivitas politiknya. Pengusaha yang menjadi politikus juga akan mencari pendanaan dari luar.
Advertisement
Ujian Jaga Elektabilitas
Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago mengatakan, mempertahankan elektabilitas adalah ujian bagi Anies Baswedan, Ganjar Pranowo dan Ridwan Kamil ketika masa jabatan sebagai gubernur berakhir. Jika ingin maju di Pilpres 2014, maka mereka harus bisa menjaga elektabilitasnya.
"Prediksi orang selama ini kalau Anies, Ganjar atau Ridwan Kamil tidak Gubernur lagi, tidak ada panggung lagi, maka elektabilitasnya akan turun. Cuma itu kan tesis dan sebenarnya perlu diuji. Jangan-jangan tidak begitu. Biar tidak punya panggung, jangan-jangan mereka masih bisa punya panggung lain yang bisa dikelola dengan baik. Jadi, tesis ini perlu diuji," kata Pangi kepada Liputan6.com.
"Apakah ketika tidak punya panggung lagi, apakah elektabilitasnya anjlok? Di situlah nanti uji kemampuan mereka untuk mengatasi masalah tersebut."
Menunda Pilkada ke tahun 2024 seakan jadi penghambat bagi Gubernur yang ingin maju di pilpres. "Kalau sudah tidak jadi Gubernur, maka tidak ada lagi sumber logistik, tidak ada lagi pendanaan yang masuk. Pilpres itu kan high cost. Jadi elektabilitas lewat panggung gubernurnya dihabisi dan juga sumber pendanaannya. Tapi pertanyaannya, apakah langkah ini akan berhasil atau tidak? Itu kan belum tentu."
Anies sebelumya sudah melakukan safari politik ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ini dinilai sebagai langkah awal untuk mencari dukungan di pemilihan presiden 2024.
Meski demikian, menurut Pangi, hal tersebut takkan berpengaruh jika Gubernur DKI Jakarta itu gagal mempertahankan elektabilitasnya hingga 2024.
"Tidak ada artinya itu kalau dia tidak punya elektabilitas mumpuni ke depannya. Kita kan tidak tahu juga ke depannya seperti apa. Kalau misalnya dia dipanggil bolak-balik ke KPK atau Bareskrim Polri untuk jadi saksi, bisa gembos itu elektabilitasnya."
Komunikasi politik juga dilakukan oleh Anies dengan beberapa partai politik seperti PKS, Demokrat dan PAN. Menurut Pangi, saat ini semuanya masih sekedar "Cek ombak".
"Kalau pertemuan politisi itu kan dibungkus seakan-akan tak ada agenda politik. Tetapi pada prinsipnya itu penjajakan, membangun chemistry awal, ambil ancang-ancang. Pertemuan politisi itu selalu ada kepentingan, selalu bicara dapat apa, bagaimana dan kepentingan siapa. Tapi saya pikir saat ini masih say hello saja."
Tergantung Partai
Politisi Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Saan Mustofa, mengaku pihaknya setuju tentang usulan Pemilu 2024 dimajukan menjadi 21 Februari 2024. Kemudian, usulan Pilkada bakal digelar November 2024 juga mendapat dukungan dari Nasdem.
Partai Nasdem sendiri secara prinsip ingin Pemilu 2024 waktunya tidak berhimpitan dengan Pilkada. Saan menyarankan tahapan penjadwalan Pemilu dan Pilkada harus diatur lagi.
Bicara soal kandidat calon presiden dari gubernur, yang mengalami masa kekosongan jabatan jelang Pemilu 2024, Saan belum mau berkomentar lebih lanjut. Dia hanya mendukung apabila terdapat tiga pasangan calon atau lebih yang akan bersaing di Pilpres 2024.
Menurut Wakil Ketua Komisi II DPR RI itu, potensi munculnya tiga pasangan calon di Pilpres 2024 sangat terbuka. Sebab, belum ada sosok yang begitu menonjol dan tingkat elektabilitasnya masih tidak jauh berbeda.
Seperti diketahui, Partai Nasdem sedang mempersiapkan format Konvensi Capres 2024, yang secara teknis dimulai pada 2022. Dengan begitu, Saan menyatakan, tokoh-tokoh yang hasil surveinya positif jelang Pilpres 2024, mendapat ruang ikut bersaing.
"Nanti tokoh yang dari berbagai hasil survei bisa menjadi capres, tidak hanya mengerucut dua nama. Tapi, menurut saya ini tergantung pada formulasi pengerucuran dari masing-masing partai," jelas Saan kepada wartawan.
"Secara matematis bisa menghadirkan tiga pasangan calon kalau asumsi ambang batas pencalonan capres sebesar 20 persen. Idealnya bisa lima pasang namun kalau tiga pasang sangat memungkinkan," ucap mantan kader Partai Demokrat ini.
Menurut Kepala Departemen Politik dan Sosial CSIS, Arya Fernandes, apabila melihat hasil survei saat ini di antara para gubernur, selisih atau jarak suara Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Ridwan Kamil sebenarnya tidak terlalu terpaut jauh. Hal ini mungkin bisa dijadikan ukuran bagaimana dampak mereka ketika masih menjabat.
Ketika masih menjabat, para gubernur juga memiliki resources (sumber daya) yang banyak untuk melakukan mobilisasi politik, di mana itu juga merupakan hal yang membantu meningkatkan popularitas dan elektabilitas. Resources tersebut dapat berupa resources finansial, bisa berupa program-program pemerintahan atau resources politik, semisal, SDM birokrat atau yang lainnya.
"Dan ketika mereka menjabat tentu keinginan atau motivasi donor atau investor politik untuk menyumbang tentu lebih tinggi. Karena misalnya, para investor politik punya motivasi, misalnya untuk memudahkan akses-akses proyek," beber Arya.
"Tapi, ketika sedang tidak menjabat kan resources itu, bisa berkurang, tapi mungkin masih ada ya, karena orang melihat dia punya peluang di Pilpres. Nah, jadi resources itu, baik resources ekonomi maupun resources politik itu tidak serta-merta hilang juga begitu. Apalagi kandidat-kandidat ini kan sudah punya modal elektoral yang cukup besar," tambahnya.
Partai Bakal Merapat?
Di sisi lain, jika seandainya Anies, Ganjar atau Ridwan Kamil mampu mempertahankan elektabilitasnya hingga Pilpres 2024, maka dukungan dari partai politik pasti akan datang.
"Kalau Anies effect atau Ganjar effect atau Ridwan Kamil effect itu kuat, maka partai dengan sendirinya merapat. Partai politik itu ideologinya pragmatis, hanya melihat peluang menang. Jadi, partai gengsi itu hanya di awal-awal saja, nanti di ujung-ujungnya akan ditaklukkan dengan realitas politik. Dia akan melihat tren, potensial menang dan merapat ke sana," ucap Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago.
Persoalannya memang, dalam kontestasi Pilpres mendatang, untuk saat ini, kandidat seperti Anies Baswedan, Ridwan Kamil dan Ganjar Pranowo, tidak punya partai atau bukan pengambil kebijakan utama di partainya.
"Sehingga belum tentu juga mereka akan dicalonkan partai. Bisa saja partai akan mencalonkan ketua umumnya. Yang kedua, sampai sekarang kan partai-partai belum menjelaskan preferensi politik mereka. Kecuali Golkar, yang jelas Airlangga," ungkap Arya.
"Bahkan PDIP sendiri belum menjelaskan siapa yang akan mereka dukung. Nah, jadi, persoalan calon populer ini susahnya apa? Mereka harus intens terus berkomunikasi dengan partai," katanya.
Advertisement