Pengusaha Sebut Kebijakan Harga Gas USD 6 per MMBTU Belum Optimal

Kebijakan harga gas enam dolar AS per MMBTU tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.

oleh Liputan6.com diperbarui 11 Jun 2021, 13:10 WIB
Ilustrasi tambang migas (iStockPhoto)

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Komite Tetap Industri Hulu dan Petrokimia Kadin Indonesia Achmad Widjaja menilai setelah lebih dari setahun diberlakukan pemerintah, kebijakan harga gas USD 6 per MMBTU kepada tujuh industri tertentu, belum memberikan dampak optimal.

"Ini sudah setahun, apa yang dikerjakan, mana hasilnya. Kita harus ekspansi, kalau enggak kita balik lagi jalani bisnis as usual," ujarnya dikutip dari Antara, Jumat (11/6/2021).

Kebijakan harga gas USD 6 per MMBTU tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.

Perpres tersebut kemudian diturunkan dalam Permen ESDM Nomor 8 Tahun 2020 tentang Cara Penetapan Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri.

Adapun aturan teknisnya dituangkan dalam Kepmen ESDM Nomor 89 K/10/MEM/2020 tentang Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri.

Dalam Kepmen ESDM 89/2020 itu disebutkan tujuh sektor industri yang memperoleh gas dengan harga khusus USD 6 per MMBTU yakni industri pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca dan industri sarung tangan karet.

Berdasarkan aturan itu, skema harga ini berlangsung dari 2020 sampai 2024.

Namun, menurut Achmad, sudah lebih dari satu tahun kebijakan harga gas USD 6 per MMBTU dijalankan, belum terlihat ketujuh industri itu melakukan inovasi, meningkatkan daya saing, dan memberikan multiplier effect seperti yang diharapkan.

Ia mengatakan evaluasi perlu dilakukan sesegera mungkin dan tidak perlu menunggu sampai 2024.

Pasalnya, jika kebijakan ini diberlakukan terlalu lama tanpa memberi dampak ekonomi yang sepadan, maka negara akan semakin dirugikan.

Dengan penetapan harga gas USD 6 per MMBTU, pendapatan pemerintah dari penjualan gas menurun drastis.

Untuk mengurangi potensi kerugian negara, Achmad meminta Kementerian ESDM mengawasi industri-industri mana saja yang sudah memanfaatkan fasilitas gas murah tersebut dan mana yang belum.

Sekaligus memastikan bahwa penyerapannya optimal dan merata, terhadap tujuh sektor industri yang termaksud dalam aturan.

"Menteri Perindustrian harus tagih ke para industriawan, mana programnya untuk inovasi dan daya saing," kata Achmad.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Perlu Duduk Bersama

Selama ini, PKT membeli gas seharga US$ 6 dari perusahaan minyak dan gas lepas pantai guna memasok 5 pabrik produksi pupuk.(Liputan6.com/Abelda Gunawan)

Selain Kementerian Perindustrian, stakeholder terkait seperti Kementerian ESDM, Kementerian BUMN, dan Kementerian Keuangan juga perlu duduk bersama dan melakukan evaluasi terhadap regulasi harga gas industri ini.

Apakah dampak yang diharapkan sudah sesuai atau sebaliknya. Sebab, penentuan harga gas ini terkait dengan pengembangan industri dan pendapatan negara sehingga perlu dibahas bersama.

Pengamat energi Mamit Setiawan sependapat dengan Kadin. Harga gas untuk industri tertentu yang akan diberlakukan sampai 2024 harus segera dievaluasi.

"Saya tidak melihat ada multiplier effect dari kebijakan harga gas ini. Yang terjadi justru beban yang ditanggung badan usaha menjadi semakin besar," ujarnya.

Mamit menambahkan untuk mengukur dampak dari kebijakan tarif ini sebenarnya mudah. Hal itu dapat diukur dari kinerja produk ketujuh industri yang mendapat perlakuan khusus tersebut. Misalnya penjualannya apakah meningkat, pendapatannya apakah meningkat, termasuk di dalamnya serapan tenaga kerja baru dan dampaknya terhadap pembayaran pajak kepada negara.

"Sehingga pemerintah perlu menagih kepada tujuh industri ini apakah target yang diinginkan pemerintah sudah tercapai atau belum. Apalagi kabarnya kebijakan ini bakal di perluas ke industri lain. Jika itu terjadi akan sangat merugikan negara, karena dampak dari kebijakan sebelumnya saja tidak jelas hasilnya," tegas Mamit.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya