Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah berencana untuk memberikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) kepada barang pokok atau biasa disebut juga dengan sembako. Selain sembako, pendidikan juga akan dikenai PPN.
Ekonom Senior INDEF, Enny Sri Hartati menilai rencana pengenaan PPN tidak perlu dilakukan lewat revisi undang-undang. Sebaliknya, hal itu cukup direvisi lewat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sebagai bendahara negara.
Advertisement
"Aturan yang benar kan begini, apakah itu tarif, itu kewenangan Kementerian Keuangan dan cukup dengan PMK, ngapain masuk ke revisi UU KUP, itu menimbulkan suatu pertanyaan publik," kata Enny saat dihubungi merdeka.com, Jakarta, Jumat (11/6/2021).
Enny menuturkan bila alasan pemerintah membahasnya didalam revisi undang-undang untuk menyiapkan kerangka kerja, sebaiknya tidak perlu membahas lebih detail terkait jenis barang dan jasa yang akan dikenakan pajak.
Seharusnya yang menjadi pembahasan hanya pada perubahan jenis PPN dari yang tarifnya tunggal menjadi multi tarif. Termasuk juga dengan skema pajak PPN value addict yang sifatnya menjadi final.
"Yang perlu dibahas itu perubahan misalnya PPN itu dari single ke multi tarif, dari skema pajak PPN value addict jadi ada beberap yang sifatnya final. Itu memang perlu di undang-undang," kata dia.
Hanya saja terkait besaran kenaikan tarif pajak seharusnya tidak perlu dicantumkan di dalam undang-undang. Sebab hal itu cukup dirincikan dalam PMK, bukan tertuang dalam undang-undang.
"Tapi kalau kenaikan dari 10 persen jadi 12 persen, besaran sembako hanya sekian persen, itu urusan diskresi Kementerian Keuangan dan cukup sama PMK," ungkapnya.
Tujuannya agar tidak menimbulkan kegaduhan dari rencana kebijaka pemerintah yang sifatnya subtansif. Terlebih untuk hal-hal seperti ini menurut Enny tidak membutuhkan keputusan yang sifatnya politis. Dia khawatir ini justru malah menjadi isu yang menjaga stabilitas politik masyarakat.
"Keputusan-keputusan yang sifatnya subtansif, enggak perlu keputusan politis. Justru ini nanti bahaya, nanti dimainkan," kata dia.
Reporter: Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Heboh Bakal Naik Jadi 12 Persen, Apa Itu PPN?
Saat ini gencar isu rencana Pemerintah akan mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk sejumlah bahan pokok (sembako). Ketentuan PPN sembako ini telah diterbitkan dalam Revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).
Lantas apa itu PPN?
Dilansir dari laman resmi Kementerian Keuangan Kemenkeu.go.id, Kamis (10/6/2021), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen.
PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung.
Diketahui saat ini Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk PPN, yaitu sebesar 10 persen. Dasar hukum utama yang digunakan untuk penerapan PPN di Indonesia adalah Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 berikut perubahannya, yaitu Undang-Undang No. 11 Tahun 1994, Undang-Undang No. 18 Tahun 2000, dan Undang-Undang No. 42 Tahun 2009.
Dijelaskan, pada dasarnya semua barang dan jasa merupakan barang kena pajak dan jasa kena pajak, sehingga dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), kecuali jenis barang dan jenis jasa sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 4A Undang-Undang No. 8/1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 18/2000 tidak dikenakan PPN.
Namun, kini Pemerintah berencana akan menaikkan PPN di angka 12 persen. Hal itu berlaku untuk sembako. Berdasarkan Pasal 4A RUU KUP, sembako dihapus dalam kelompok jenis barang yang tidak dikenai PPN.
Sembako sebagai barang yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak sebelumnya tidak dikenakan PPN, seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 144 Tahun 2000 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 116/PMK.010/2017.
Tidak hanya sembako, jenis barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya juga kini dihapus dari daftar pengecualian PPN.
Advertisement