Polemik Gelar Profesor Kehormatan Megawati

Pengukuhan gelar Profesor Kehormatan (Guru Besar Tidak Tetap) kepada Megawati Soekarnoputri oleh Universitas Pertahanan menulai polemik.

oleh Muhammad Radityo PriyasmoroLizsa EgehamYopi Makdori diperbarui 12 Jun 2021, 00:01 WIB
Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri. (Putu Merta Suryaputra/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta Pengukuhan gelar Profesor Kehormatan (Guru Besar Tidak Tetap) kepada Megawati Soekarnoputri oleh Universitas Pertahanan menulai polemik.

Sejumlah pakar terkejut dengan pemberian gelar tersebut. Terlebih jurnal ilmiah yang ditulis Megawati untuk mendapat gelar Profesor tersebut berisi tentang periode kepemimpinannya saat menjadi Presiden ke-5 Republik Indonesia.

Karya ilmiah Megawati yang berjudul "Kepemimpinan Presiden Megawati Pada Era Krisis Multidimensi, 2001-2004" pun disorot.

Pengguna twitter @sociotalker menilai karya ilmiah Megawati itu justru berisi tentang pujian terhadap dirinya sendiri.

"Cara puji diri sendiri dengan cara "ilmiah"," tulis akun @sociotalker dengan mengunggah bagian halaman depan karya ilmiah Megawati, Senin (7/6/2021).

Hal ini pun ramai jadi perbincangan warganet.

Kabar soal karya ilmiahnya yang jadi sorotan inipun didengar Megawati. Di tengah orasi ilmiahnya Megawati mengaku tidak membutuhkan puji-pujian. Sebagai anak proklamator kemerdekaan, dan presiden RI, Mega mengaku sudah ‘kenyang’ dengan hal itu.

"Saya baru lahir sudah dijaga, dari bayi. Jadi kalau saya dibilang, saya mau muji-muji diri, saya sudah kenyang. Jadi presiden sudah, anak presiden udah, alhamdulillah,” ucap Megawati dalam orasi ilmiahnya yang digelas di Aula Merah Putih Universitas Pertahanan, Bogor, Jawa Barat, Jumat (11/6/2021).

Dalam orasinya ilmiahnya, Megawati juga menggambarkan bagaimana cara dia saat menghadapi krisis multidimensi saat itu dan kemampuannya untuk bangkit dan mendapat kepercayaan baik dari dalam maupun luar negeri.

Megawati mengatakan, sebagai tokoh yang pernah menjadi Presiden RI, dirinya selalu menekankan tanggung jawab kepada jajarannya. Namun demikian, sebagai pemimpin tertinggi, Megawati mengaku selalu meminta para menterinya untuk tidak takut mengeksekusi kebijakan yang diperintahkan olehnya.

"Yang harus melekat jati diri bangsa kepemimpnan strategis adalah tanggung jawab. Jadi bukannya saya memuji diri saya. Saya kasih tugas ke menteri saya, jangan takut, saya yang bertanggung jawab,” ucap dia.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Gelar Profesor Megawati Dipermasalahkan

Megawati Soekarnoputri Terima Gelar Doktor Honoris Causa (FOTO: Reza Rahmadansyah)

Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga mengatakan, selama ini untuk memperoleh jabatan akademik tertinggi di perguruan tinggi itu para akademisi memerlukan proses panjang dan berliku. Jenjang pendidikan untuk bisa mendapat gelar profesor juga harus lulusan doktoral.

"Untuk Profesor Madya saja, akademisi harus memiliki kumulatif angka kredit (KUM) 850. Sementara untuk Profesor penuh diperlukan KUM 1.000," kata Jamiluddin dalam keterangannya, Kamis (10/6/2021).

KUM tersebut dikumpulkan akademisi dari unsur pengajaran, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, dan unsur pendukung seperti mengikuti seminar ilmiah. Bahkan akademisi harus menulis artikel yang dimuat di jurnal ilmiah internasional.

"Hingga saat ini banyak akademisi belum memperoleh jabatan profesor karena terganjal pada pemuatan artikel di Scopus. Karena itu, para akademisi merasa tidak adil bila ada seseorang yang terkesan begitu mudahnya memperoleh jabatan profesor. Moral akademisi bisa-bisa melorot melihat realitas tersebut," tegasnya.

Terlebih lagi, Jamiluddin memandang kesan politis begitu kental dari pemberian jabatan profesor tersebut.

"Para akademisi semakin kecewa karena melihat secara vulgar aspek akademis sudah berbaur dengan sisi politis," tekannya.

Ia meminta agar, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim seyogianya dalam menertibkan pemberian jabatan profesor memisahkan aspek politis secara tegas dengan aspek akademis.

"Untuk itu, sudah saatnya menteri pendidikan tidak lagi terlibat dalam pemberian jabatan profesor. Sebab, menteri sebagai jabatan politis tidak selayaknya terlibat dalam pemberian jabatan akademis," pungkasnya.

Sementara itu, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Abdullah Ubaid menilai pemberian gelar kehormatan terhadap Ketua Umum PDI Perjuangan itu tak lebih dari pencitraan.

"Ya inilah, itu banyak pencitraannya ya. Untuk pencitraan bagaimana meskipun dia gak punya jenjang akademik di sebuah institusi kampus, tapi dia bisa menggondol itu," ucap Ubaid kepada Liputan6.com, Rabu (9/6/2021).

Ubaid menyarankan perguran tinggi tak serampangan dan terwarnai oleh politik dalam memberikan gelar-gelar akademis.

"Sebenarnya publik itu juga bisa melakukan penilaian ya. Karena gelar kehormatankan gelar yang tidak bisa ditempuh secara jalur akademik, karena ini gelar kehormatan maka publik harus tahu, penilaian publik juga penting untuk diperhatikan," katanya.

Menurut Ubaid, mestinya perguruan tinggi juga mempertimbangkan opini publik dalam memberikan gelar kehormatan terhadap seorang tokoh.

"Publik setuju atau tidak, karena publiklah yang menilai track record seseorang," tandasnya.

Lain dengan Ubaid, Sosiolog Universitas Airlangga (Unair) Bagong Suyanto menganggap pemberian gelar kehormatan terhadap Megawati bukanlah hal yang aneh. Ia memandang, seorang tokoh terlebih lagi dia merupakan mantan presiden, maka untuk mendapatkan gelar kehormatan dari institusi pendidikan merupakan hal yang lumrah.

"Sebetulnya biasa ya di Indonesia pemberian gelar honoris causa itu. Tapi itukan harus dipahami bahwa itukan gelar honoris causa bukan seperti pengajar ya, masyarakatkan paham itu," kata Bagong saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (9/6/2021).

"Saya kira gak masalah ya, wong diberi oleh perguruan tinggi meskipun sebagian orangkan mempersoalkan," sabung Bagong.

Bagong cenderung melihat tak ada masalah soal penganugerahan gelar kehormatan tersebut. Menurutnya Megawati memang layak mendapatkan itu.

"Kalau seperti Bu Mega wong dia sudah dihormati kok, mantan presiden ya lebih tinggi dari guru besar," tandasnya.

Guru Besar di bidang Sosiologi Organisasi Universitas Indonesia (UI) Prof Sudarsono Hardjosoekarto mengatakan, Megawati memiliki karakter dalam kepemimpinannya.

Menurutnya Indonesia saat itu mengalami krisis multidimensi, sehingga Megawati mencoba mengatasi masalah yang dianggap prioritas. Di antaranya, pemulihan ekonomi, normalisasi kehidupan politik, penegakan hukum, keamanan dan ketertiban masyarakat.

"Saya melihat kecermatan Presiden Megawati Soekarnoputri dalam memahami karakteristik krisis nasional saat itu," kata dia dalam keterangannya, Kamis (10/6/2021).

Menurut Sudarsono, Megawati memiliki kepemimpinan visioner. "Pendapat akademik saya adalah prestasi sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintah merupakan wujud nyata ilmu pengetahuan kepemimpinan strategis atau strategic leadership," jelas dia.


Wujud Nyata Kepemimpinan Strategik

Presiden Kelima RI Megawati Soekarnoputri di Akademi Militer Magelang. (Liputan6.com/Putu Merta Surya Putra)

Sementara, Kepala Pusat Budaya Indonesia-Korea yang juga akademisi Hankuk University of Foreign Studies, Prof Koh Young Hun memandang Megawati sosok yang memiliki kharisma dan berhasilkah mempimpin Indonesia mengatasi berbagai krisis di tahun pasca Reformasi.

"Dan membangun kepercayaan internasional kepada pemerintah Indonesia," kata Koh.

Megawati juga dipandang membawa capaian baik dalam kepemimpinannya, tidak hanya di tingkat regional tetapi juga di tingkat global. Dan acap kali memberikan ide akademis.

"Beliau juga banyak memberikan ide-ide akademis untuk meningkatkan hubungan baik antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Prancis dari berbagai aspek, termasuk pertahanan," kata dia.

Megawati Soekarnoputri di masa pemerintahannya juga dipandang mampu membawa Indonesia perlahan keluar dari krisis dan membangun kepercayaan internasional.

Hal inilah yang salah satunya alasan Megawati berhak mendapatkan gelar Profesor Kehormatan atau Guru Besar Tidak Tetap dari Universitas Pertahanan (Unhan).

Adapun ini disampaikan oleh peneliti senior sejarah Indonesia modern yang berbasis di Perancis, Remy Madiner.

"Indonesia mengalami krisis kompleks dan multidimensi di tahun-tahun pasca-reformasi. Beliau membangun kepercayaan internasional kepada pemerintah Indonesia," kata dia seperti dilansir dari Antara, Kamis (6/10/2021).

Sementara, Guru Besar Tetap di bidang Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, Prof Chandra Wijaya, memandang apa yang dilakukan Megawati sebagai kepala negara dan di masa pemerintahnnya, bisa disebut wujud nyata kepemimpinan strategik.

"Ini merupakan bukti pengakuan pemikiran akademik atas kepakaran beliau dalam bidang Kepemimpinan Strategik," kata Chandra.

Beberapa ide dan gagasan Megawati yang dituangkan dalam berbagai dokumen negara dan sebagian ditulis dalam bentuk buku-buku monograf, juga menjadi perhatiannya. Karena itu, tak ada masalah jika memang Unhan ingin memberikan penghargaan kepadanya.

"Saya menilai kontribusi ilmiah ibu Dr. (H.C) Megawati Soekarnoputri sudah memenuhi syarat dan ketentuan untuk diusulkan menjadi Guru Besar Tidak Tetap di Unhan RI bidang keilmuan Kepemimpinan Strategik," kata dia.

Dirjen Dikti Kemendikbud-Ristek, Nizam mengatakan, Universitas Pertahanan (Unhan) untuk menganugerahkan Megawati Soekarnoputri sebagai Profesor Kehormatan atau Guru Besar Tidak Tetap sudah sesuai Undang-Undang Dikti dan Permendikbud Nomor 12 Tahun 2012

"Mengacu pada Undang-Undang Dikti dan Permendikbud 12 Tahun 2012, seseorang yang memiliki keahlian dengan prestasi luar biasa dapat diangkat sebagai dosen tidak tetap dalam jabatan akademik tertentu pada perguruan tinggi," kata Nizam saat dikonfirmasi, Rabu (9/6/2021).

Menurut dia, usulan gelar Profesor Kehormatan atau Guru Besar Tidak Tetap melalui beberapa proses. Salah satunya, pengajuan oleh universitas ke Kemdikbud Ristek.

Setelah diajukan, barulah Kemendikbud-Ristek yaitu Ditjen Dikti melihat apakah diterima atau tidak.

"Usulan Guru besar tidak tetap dari perguruan tinggi berdasar usulan dari Senat. Review karyanya di Dikti dilakukan oleh tim review dalam bidang yang diusulkan," ungkap Nizam.

Dia menjelaskan seseorang dengan prestasi atau pengetahuan yang luar biasa dan diakui secara internasional dapat diberikan jabatan guru besar tidak tetap, seperti yang dilakukan Unhan kepada Megawati Soekarnoputri.

Dengan demikian kata dia, jika seseorang memiliki tacit maupun explicit knowledge, pengalaman, dan pengetahuan istimewa dapat disampaikan kepada civitas akademika.

"Jadi bisa siapapun yang pengetahuan istimewa yang dipandang penting bagi suatu perguruan tinggi dapat diajukan untuk diangkat dalam jabatan fungsional tidak tetap tersebut. Bisa profesional, birokrat, entrepreneur, dan berbagai profesi lainnya," Jelas Nizam.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya