Masih Pandemi, Pemerintah Diminta Menahan Diri Pungut PPN Sembako

Pemerintah bencana mengenakan PPN untuk bahan kebutuhan pokok atau sembakor sampai dengan pendidikan.

oleh Liputan6.com diperbarui 11 Jun 2021, 20:15 WIB
Pedagang beras menunggu pembeli di Pasar Tebet Timur, Jakarta, Jumat (11/6/2021). Kementerian Keuangan menyatakan kebijakan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN), termasuk soal penerapannya pada sembilan bahan pokok (sembako), masih menunggu pembahasan lebih lanjut. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah melalui Kementerian Keuangan memiliki hak diskresi dalam menentukan naik turunnya pajak pertambahan nilai (PPN). Payung hukum kenaikan tarif PPN dinilai cukup melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK), tidak perlu sampai merevisi undang-undang yang merupakan dasar hukum yang lebih tinggi dari PMK.

Ekonom Senior INDEF menilai perubahan tarif PPN sudah tepat lewat PMK karena bersifat fleksibel dan bisa menyesuaikan dengan kondisi perekonomian terkini. Sehingga naik turunnya pajak tidak membutuhkan keputusan politis lewat undang-undang.

"Tidak perlu keputusan politis, maka fleksibel aja sama pemerintah. Kalau butuh dinaikkan, tinggal dinaikkan, kalau belum butuh ya enggak usah dinaikkan. Itu terserah pemerintah aja, kondisional," tutur Enny saat dihubungi merdeka.com, Jakarta, Jumat (11/6).

Sebelumnya, beredar draf usulan revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Didalamnya terdapat rencana mengenakan tarif pajak untuk bahan kebutuhan pokok sampai dengan pendidikan.

Meski hal ini masih belum dibahas antara pemerintah dengan DPR, namun telah membuat kegaduhan di masyarakat. Terlebih masih dalam suasana pandemi Covid-19 yang menghantam perekonomian nasional dan keuangan rakyat.

"Apakah masyarakat sudah memungkinan, pemerintah menaikkan (PPN) atau belum? Jadi biar tidak ada dusta karena ini kan seolah-olah katanya enggak berlaku sekarang, tapi dipaksakan dibahas di sekarang, ini kan rancu," ungkapnya.

Bila pemerintah pada akhirnya bersikukuh dengan menaikkan tarif PPN, tentu hal ini membuat masyarakat semakin sulit memenuhi kebutuhan pokok. Terlebih bagi mereka yang terdampak pandemi dan kehilangan pekerjaan.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


80 Persen Pandapatan untuk Pangan

Berbagai bumbu dapur dijual di Pasar Tebet Timur, Jakarta, Jumat (11/6/2021). Kementerian Keuangan menyatakan kebijakan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN), termasuk soal penerapannya pada sembilan bahan pokok (sembako), masih menunggu pembahasan lebih lanjut. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sebab, Enny menyebut masyarakat miskin Indonesia 80 persen menghabiskan pendapatannya untuk belanja kebutuhan pangan. Sehingga bila kenaikan PPN dilakukan, maka hidup mereka hanya untuk makan, tidak bisa memiliki tabungan atau memenuhi kebutuhan selain pangan.

"Masyarakat miskin ini untuk pemenuhan kebutuhan pangan itu 80 persen dari pendapatannya. Kalau itu naik ya jadi 100 peersen, habis untuk beli pangan," kata dia.

Enny menambahkan bila pemerintah tidak akan menaikkan tarif pajak dalam waktu dekat, sebaiknya hal ini tidak dibahas lebih dulu. Sebab ini bisa menyinggung perasaan masyarakat yang tengah mengalami kesulitan ekonomi.

"Kalau enggak mau dilakukan sekarang ya jangan disinggung-singgung. Ini menyakiti hati publik, orang lagi kesulitan ekonomi malah ada wacana kenaikan PPN, PPh, itu namanya dzolim," kata dia mengakhiri.

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com


Infografis Rencana Sembako Dikenakan Tarif PPN

Infografis Rencana Sembako Dikenakan Tarif PPN. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya