Liputan6.com, Jakarta - Banyak cara dilakukan untuk orang untuk membuatnya lebih percaya diri, salah satunya dengan memperbaiki penampilan. Hal itu bisa dilakukan dengan cara mendatangi klinik-klinik kecantikan untuk melakukan treatment kecantikan tertentu.
Beberapa di antaranya dengan cara filler bibir, botox, penarikan wajah, operasi hidung, implan payudara, dan lain-lain. Upaya tersebut dilakukan agar penampilan tampak lebih segar dan menarik.
Baca Juga
Advertisement
"Masyarakat punya standar tersendiri, cantik atau ganteng itu, seperti apa. Setiap negara dan budaya tentu memiliki pandangan yang berbeda terhadap kecantikan," ujar psikolog Putri Langka saat dihubungi Liputan6.com, Jumat, 11 Juni 2021.
Putri menilai bahwa masing-masing individu mempunyai kebutuhan untuk diperhatikan. Mereka bisa meng-update kegiatan-kegiatannya di media sosial, tentu mereka tidak ingin penampilannya terlihat tak menarik atau jelek.
"Jadi, ini kebutuhan individu, masyarakat, dan industri yang saling bertemu. Kondisi itu yang menimbulkan tren-tren baru perawatan kecantikan," kata psikolog dari Universitas Pancasila, Jakarta.
Perkembangan media sosial ikut mendorong makin banyak orang untuk menjalani treatment kecantikan. Lewat media sosial orang bebas berekspresi dan berkomentar.
"Dengan melihat media sosial orang lain saja, maka akan tumbuh sebuah pemikiran dan kemudian menjadi sebuah keinginan. Jika melihat orang cantik, tentu banyak orang yang berkeinginan seperti itu," imbuh Putri.
Jadi, orang lain yang melihat tentu ada yang ingin agar bisa juga melakukan perawatan kecantikan. Salah satu yang membuat orang lain bisa terlihat adalah penampilan fisik seseorang," jelas Putri.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Berbagai Pertimbangan
Dalam dunia bisnis, ada orang yang berpedoman pada etika, tapi ada juga yang tidak. Artinya, demi bisnis, mereka yang bukan ahlinya pun ikut melakukan treatment kecantikan.
Putri menyarankan agar orang yang ingin melakukan perawatan kecantikan untuk menggunakan hak bertanya, seperti sertifikasi kecantikan atau kesehatan dari mana, barang-barang yang dijual berasal dari mana. Namun, kadang-kadang banyak orang yang suka tidak enak hati atau enggan untuk bertanya.
"Konsumen juga perlu untuk melek hukum apa yang mereka bisa dapatkan dan apa yang tidak. Mereka juga perlu punya literasi untuk mencari sumber-sumber yang akurat sehingga ketika mereka melihat layanan kecantikan, mereka bisa mempertimbangkan, layanan tersebut oke atau tidak," lanjut Putri.
Putri mengatakan seseorang yang menjalani perawatan kecantikan harus benar-benar menerapkan prinsip kehati-hatian. Hal itu agar konsumen tidak mengalami kerugian.
"Apalagi kita bicara produk kecantikan jika salah pakai atau salah konsumsi, maka bisa berakibat fatal. Jadi, risikonya ada pada konsumen. Jadi, kita harus sangat hati-hati," kata Putri.
Bagi Putri, seseorang juga tidak boleh terpaku pada testimoni, karena kita tidak tahu yang testimoni itu siapa. Apakah mereka benar-benar yang memakai produk atau menjalani perawatan kecantikan, atau mereka hanya dibayar untuk bertestimoni.
"Jadi, kita tidak harus percaya begitu saja, tapi juga harus mengecek juga siapa yang menyampaikan testimoni," kata Putri. "Perlu juga untuk mengetahui mereka yang memberikan layanan itu ahli di bidangnya atau tidak," sambung Putri.
Untuk melakukan suatu tindakan operasi kecantikan, Putri mengungkapkan, seorang pasien perlu untuk berkonsultasi beberapa kali. Mereka tidak bisa langsung deal.
"Kita perlu melihat bagaimana cara mereka menangani tamu yang datang, perlu lihat produk-produknya, juga prosedurnya seperti apa, efek sampingnya seperti apa, garansinya apa. Kalau perlu perjanjian hitam di atas putih, karena operasi plastik itu kalau salah, sulit untuk mengembalikan ke kondisi semula. Jadi, perlu prinsip kehati-hatian," tegas Putri.
Advertisement
Paling Murah
Perawatan kecantikan dengan cara operasi plastik, botoks, injeksi filler, kalau dilakukan oleh dokter yang berkompeten itu diperbolehkan saja. Sekarang ini yang menjadi problem adalah orang ingin melakukan kecantikan instan memilih harga yang paling murah.
"Misalnya, apa yang dilakukan adalah bukan dengan orang yang ahli di bidangnya, seperti bukan tenaga medis sama sekali. Contoh, pasang behel atau pasang veener, malah yang pasang bukan dokter gigi. Itu yang berbahaya. Pengen cantik instan dan ingin ada perbaikan, malah bisa mengalami kerusakan yang tambah parah," kata dr Ariana Suryadewi Soejanto, M. Biomed, saat dihubungi Liputan6.com, Jumat, 11 Juni 2021.
Founder The Aesthetics Skin Care yang saat ini memiliki 12 cabang di seluruh Indonesia menilai akibat memilih harga yang murah tersebut sehingga banyak orang yang tidak kompeten di bidangnya, melakukan tindakan, seperti filler hidung. Karena tidak kompeten di bidangnya, maka tidak tahu cairan apa yang diisi dan cairan tersebut tidak teregistrasi di Kementerian Kesehatan.
"Mereka bukan dokter dan tidak punya izin praktik. Ini kan berbahaya dan itu bisa terjadi di daerah-daerah yang belum begitu banyak dokter yang mendalami bidang kecantikan," jelas Ariana.
Dalam pandangan Ariana, tidak ada tolak ukur yang sama kecantikan dengan semua orang. Di Indonesia stigma cantik itu orang yang berkulit putih, berhidung mancung.
"Saya kira stigma-stigma seperti itu harus ditinggalkan. Bagi saya, yang namanya cantik itu berhubungan dengan sehat. Buat apa kalau cantik itu, tapi tidak sehat," ujar Ariana. "Contoh, kulit putih, tapi menggunakan bahan-bahan berbahaya, seperti mempengaruhi ginjal," sambung dia.
Bagi Ariana, kondisi badan dan kulit yang sehat tentu pancaran wajahnya akan terlihat lebih bagus dan glowing. Kulit mereka akan tampak berseri-seri. "Jadi, sehat itu sangat penting, tak sekadar cantik."
Infografis Operasi Plastik
Advertisement