Liputan6.com, Jakarta Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat, mengimbau Menteri Keuangan untuk lebih terbuka dalam menjelaskan maksud Rencana Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cata Perpajakan (RUU KUP). Termasuk soal pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk sembako dan pendidikan.
Pasalnya, draft RUU KUP serta info rencana pungutan tarif PPN sembako dan pendidikan kini sudah banyak tersebar di tengah masyarakat. Di sisi lain, Sri Mulyani tampak masih irit bicara seputar wacana tersebut.
Advertisement
Achmad lantas menegaskan, jika RUU KUP tidak didasarkan pada prinsip keadilan dan komunikasi publik yang masif, maka reformasi pajak ini akan ditolak masyarakat.
"Ibu Sri Mulyani harus terbiasa untuk mengkomunikasikan gagasan reformasi publiknya secara masif, apalagi bila dokumen publiknya sudah jatuh ke tangan DPR. Ibu Menteri jangan merasa kikuk di depan publik, soalnya ini menyangkut hajat hidup orang banyak," imbuhnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (12/6/2021).
Menurut dia, mengemukanya wacana kenaikan PPN sembako dan pendidikan dirasa tidak tepat saat masyarakat kini tengah mengalami kesulitan ekonomi akibat wabah Covid-19 berkepanjangan.
Selain itu, Achmad juga menyarankan agar reformasi pajak ini dilakukan dengan mengedepankan prinsip keprihatinan ekonomi publik dan asas keadilan. Dalam hal ini, ia mendorong adanya kenaikan pajak penghasilan (PPh) untuk orang kaya.
"Salah satunya reformasi perpajakan komprehensif berkeadilan adalah melalui kenaikan PPh pribadi orang kaya 35 persen, dibarengi dengan penurunan PPh badan/perusahaan dari 25 persen menjadi 10-15 persen," ujarnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Tenang, Sekolah hingga Perguruan Tinggi Tak Akan Dikenakan PPN
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo menyatakan, rencana penarikan pajak pertambahan nilai (PPN) pendidikan belum tentu akan dikenai pada semua objek, termasuk sekolah dan perguruan tinggi swasta (PTS).
Dia menyebutkan, institusi pendidikan negeri mulai dari PAUD, SD-SMA hingga universitas negeri termasuk lembaga nirlaba, sehingga pembiayaannya ditanggung pemerintah dan semustinya tidak kena PPN.
"Kalau sekolah negeri itu kan enggak ada objeknya, kan gratis. Kalau gratis yang mau dikenai apa, kan enggak ada," ujar Yustinus kepada Liputan6.com, Jumat (11/6/2021).
Yustinus mengatakan, objek pajak atas tarif PPN pendidikan saat ini masih harus terus diklasifikasikan. Pemerintah disebutnya ingin menyasar objek pajak yang tepat, dalam hal ini produk atau jasa yang dikonsumsi oleh kelompok atas dan mampu.
"Seperti PTS kenapa tidak? Kalau memang PTS-nya yang diberikan untuk kelompok menengah bawah, lalu dia memberi subsidi juga, itu kan tidak mungkin dikenai PPN pendidikan," terangnya
"Kalau misalnya perguruan tinggi yang mengutip biaya kuliah sangat mahal itu wajar kalau pengguna jasanya dipungut PPN," dia menambahkan.
Sebagai contoh, ia lantas mengutip perguruan tinggi negeri (PTN) yang menyediakan jalur khusus atau kelas internasional dengan harga komersial. Menurut dia, akan terasa adil jika mahasiswa yang mengambil jalur tersebut dikenai PPN pendidikan, sementara masyarakat yang dari jalur biasa seperti SBMPTN bisa terbebas.
"Jadi PPN itu harus jadi instrumen untuk pemerataan," pungkasnya.
Advertisement