Liputan6.com, Jakarta - Kabar terbaru tentang haji 2021 datang pemerintah Arab Saudi. Pemerintah Saudi mengeluarkan keputusan resmi bahwa kuota haji 2021 ditetapkan sebanyak 60 ribu jemaah saja. Calon jemaah haji itu terdiri dari warga negara (citizen) dan penduduk (resident) yang ada di dalam negeri.
Faktor COVID-19 menjadi alasan utama pembatasan kuota tersebut. Ini merupakan yang kedua kalinya dalam dua tahun berturut-turut di tengah pandemi global, demikian seperti dikutip dari Arab News, Sabtu (12/6/2021).
Advertisement
Akun Twitter resmi Haramain --kanal informasi urusan Masjidil Haram-- mengatakan bahwa seluruh tamu haji hanya dikhususkan untuk orang "yang berada di dalam Kerajaan Arab Saudi".
Kementerian kesehatan dan Haji mengumumkan pada Sabtu 12 Juni 2021 bahwa total 60.000 jemaah haji akan diizinkan untuk melaksanakan ibadah haji tahun ini dengan syarat.
Syarat itu adalah harus bebas dari penyakit kronis apa pun, berada dalam usia 18 hingga 65 tahun, serta telah divaksinasi terhadap virus sesuai dengan program vaksinasi kerajaan.
Keputusan terbaru ini "didasarkan pada keinginan konstan dari Kerajaan untuk memungkinkan para tamu dan pengunjung di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi untuk melakukan ritual haji dan umrah," kata kementerian kesehatan Arab Saudi.
"Kerajaan mengutamakan kesehatan dan keselamatan manusia," lanjut mereka.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Indonesia Tidak Berangkatkan Jemaah Haji
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menyatakan pemerintah telah menetapkan untuk tidak memberangkatkan jemaah haji ke Tanah Suci pada tahun 2021. Keputusan ini dianggapnya sebagai jalan terbaik untuk calon jemaah haji.
“Keputusan ini pahit. Tapi inilah yang terbaik. Semoga ujian Covid-19 ini segera usai,” kata Menag dalam telekonferensi dengan media di Jakarta, Kamis (3/6/2021).
Yaqut mengungkapkan, hingga hari ini, pemerintah Arab Saudi belum mengundang pemerintah Indonesia untuk membahas dan menandatangani Nota Kesepahaman tentang Persiapan penyelenggaraan ibadah haji tahun 1442 H/2021 M. Bahkan itu juga berlaku di semua negara.
"Ini bahkan tidak hanya Indonesia, tapi semua negara. Jadi sampai saat ini belum ada negara yang mendapat kuota, karena penandatanganan Nota Kesepahaman memang belum dilakukan," tegas dia.
Yaqut menambahkan, kondisi ini berdampak pada persiapan penyelenggaraan ibadah haji. Sebab, berbagai persiapan yang sudah dilakukan, belum dapat difinalisasi.
Untuk layanan dalam negeri, misalnya kontrak penerbangan, pelunasan biaya perjalanan ibadah haji (Bipih), penyiapan dokumen perjalanan, penyiapan petugas, dan pelaksanaan bimbingan manasik, semuanya baru bisa diselesaikan apabila besaran kuota haji sudah diterima dari Saudi.
Demikian pula penyiapan layanan di Saudi, baik akomodasi, konsumsi, maupun transportasi, belum bisa difinalisasi karena belum ada kepastian besaran kuota, termasuk juga skema penerapan protokol kesehatan haji, dan lainnya.
"Itu semua biasanya diatur dan disepakati dalam MoU antara negara pengirim jemaah dengan Saudi. Nah, MoU tentang persiapan penyelenggaraan ibadah haji tahun 1442H/2021M itu hingga hari ini belum juga dilakukan," tuturnya.
"Padahal, dengan kuota 5% dari kuota normal saja, waktu penyiapan yang dibutuhkan tidak kurang dari 45 hari," lanjutnya.
Hal lain yang menjadi pertimbangan adalah dampak dari penerapan protokol kesehatan yang diberlakukan secara ketat oleh Saudi karena situasi pandemi. Pembatasan itu bahkan termasuk dalam pelaksanaan ibadah.
Berkaca pada penyelenggaraan umrah awal tahun ini, pembatasan itu antara lain larangan salat di Hijir Ismail dan berdoa di sekitar Multazam. Shaf saat mendirikan salat juga diatur berjarak. Ada juga pembatasan untuk salat jemaah, baik di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.
"Pembatasan masa tinggal juga akan berdampak, utamanya pada penyelenggaraan Arbain. Karena masa tinggal di Madinah hanya tiga hari, maka dipastikan jemaah haji tidak bisa menjalani ibadah Arbain," terangnya.
Advertisement