Wamenkumham: Jutaan Telah Dihukum dengan KUHP yang Tak Ada Kepastian, Karena itu Perlu Revisi

Eddy mengatakan, pemerintah tidak pernah menetapkan tafsir KUHP Soesilo atau Moeljatno yang harus digunakan dalam menghukum seseorang. Menurut Eddy, itu sama saja menimbulkan ketidakpastian hukum.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 14 Jun 2021, 13:39 WIB
Mural bertulis '#TolakRKUHP' terpampang pada dinding di Jalan Pemuda, Rawamangun, Jakarta, Selasa (1/10/2019). Mural tersebut respons dari seniman Jakarta terhadap RUU KUHP yang dinilai mencederai tatanan demokrasi. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusi (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej menyebut perlu penyempuraan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Maka dari itu, KUHP perlu diubah atau direvisi demi kepastian hukum terhadap masyarakat Indosesia.

"Mengapa KUHP ini adalah suatu hal yang urgent untuk segera disahkan? Sebab, kita hidup selama hampir 76 tahun dengan menggunakan KUHP yang tidak pasti," ujar Eddy dalam Diskusi Publik RUU KUHP di Jakarta Selatan, Senin (14/6/2021).

Eddy menyebut, KUHP yang digunakan di Indonesia ini merupakan warisan dari Belanda. Maka dari itu, dia menyebut, ada dua penafsiran berbeda dalam KUHP tersebut, yakni tafsir Soesilo dan tafsir Moeljatno.

Selain itu, pemerintah Indonesia juga tidak pernah menetapkan tafsir KUHP Soesilo atau Moeljatno yang harus digunakan dalam menghukum seseorang. Menurut Eddy, itu sama saja menimbulkan ketidakpastian hukum.

"Padahal, KUHP yang berlaku di ruang-ruang sidang pengadilan itu telah dipakai untuk menghukum bukan satu, dua orang, bukan puluhan, ratusan, atau ribuan orang, tetapi jutaan orang dihukum dengan menggunakan KUHP yang tidak pasti," kata Eddy.

Menurut Eddy, ada beberapa perbedaan dalam KUHP yang diterjemahkan Soesilo dengan KUHP terjemahan Moeljatno. Lantaran ada perbedaan penafsiran dalam dua buku tersebut, maka wajar jika kerap terjadi perdebatan di dalam ruang sidang.

"Kalau mau sidang, itu seharusnya dia (terdakwa) mengajukan interupsi, tanyakan kepada hakim dan jaksa, KUHP yang mau dipakai ini KUHP yang mana. Mengapa saya menyatakan demikian? Karena ada perbedaan-perbedaan terjemahan yang sangat signifikan yang tidak pernah kita sadari," kata Eddy.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Perbedaan Tafsir Harus Diperjelas

Eddy mencotohkan perbedaan makna dalam Pasal 110 KUHP tentang Pemufakatan Jahat. Dalam KUHP terjemahan Moeljatno dikatakan permufakatan jahat untuk melakukan makar sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 104 hingga Pasal 108 KUHP dipidana dengan pidana yang sama dengan kejahatan itu dilakukan.

"Dipidana dengab pidana yang sama dengan kejahatan yang dilakukan itu berarti pidana mati," kata Eddy.

Sementara, Pasal 110 KUHP terjemahan Soesilo, menurut Eddy, pasal tersebut berbunyi bahwa permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 104 sampai dengan Pasal 108 KUHP dipidana dengan pidana maksimum 6 tahun.

"Ini perbedaan sangat signifikan. Ini serius. Belum lagi berbagai macam unsur, berbagai macam elemen dalam pasal-pasal yang digunakan," kata Eddy.

"Sehingga kalau kita menunda KUHP untuk disahkan, itu berarti suara-suara yang menginginkan status quo dan ingin bahwa kita tetap berada dalam ketidakpastian hukum dan menghukum orang dengan KUHP yang tidak pasti. Ini yang perlu kita sadari bersama," kata Eddy.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya