Liputan6.com, Jakarta - Hingga pertengahan 2021, virus Corona penyebab COVID-19 masih enggan hengkang dari muka Bumi. Varian-varian hasil mutasi virus SARS-CoV-2 "menjajah" berbagai negara hingga hari ini. Menantang negara-negara menemukan strategi tepat untuk menaklukkan lawan tak kasat mata.
Bersenjatakan sifatnya yang terus bermutasi, virus Corona menginvasi Bumi. Mutasi SARS-CoV-2 membuatnya jadi lawan tangguh karena menghasilkan varian yang lebih cepat menyebar hingga tingkat keparahan infeksi yang lebih tinggi.
Advertisement
Terbaru, dunia dibuat resah dengan varian Delta COVID-19 asal India. Menteri Kesehatan Inggris Matt Hancock mengatakan, varian ini kemungkinan 40 persen lebih menular dibandingkan varian Alfa.
Diketahui, varian Delta saat ini menjadi galur COVID-19 yang dominan di Inggris. Kondisi yang sama dikhawatirkan para ahli di Amerika Serikat akan terjadi di Negeri Paman Sam.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut, varian Delta COVID-19 yang memiliki nama ilmiah B.1.617.2 telah menyebar ke lebih dari 60 negara dari lokasi pertama ditemukan yakni di India. Begitu pun di Indonesia, varian tersebut telah terdeteksi. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada Minggu, 13 Juni 2021, mengonfirmasi temuan 28 kasus virus Corona varian Delta di Kudus, Jawa Tengah. Temuan tersebut merupakan hasil Whole Genome Sequencing (WGS).
Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin menyebut, banyak Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang pulang dari India. Dahulu varian Delta dikenal dengan sebutan varian India.
"Memang sudah terkonfirmasi di Kudus adalah varian baru (varian Corona Delta). Ya, masuknya karena banyak pekerja migran kita, terutama yang datang dari pelabuhan," kata Budi dalam Seminar Online Perlindungan Hukum Dalam Pelayanan Kedokteran Yang Berkualitas pada Minggu, 13 Juni 2021.
"Biasanya kalau udara (bandara) sudah kita jaga dengan baik. Kalau pelabuhan laut kan banyak di Indonesia. Dan banyak PMI kita yang datang dari India, sehingga masuknya (varian Delta) dari sana," Menkes melanjutkan.
Temuan varian Delta di Kudus menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya lonjakan kasus COVID-19 di Indonesia selama satu minggu terakhir.
Dalam konferensi pers Senin, 14 Juni 2021, Menkes Budi mengungkapkan bahwa varian Delta COVID-19 sudah terkonfirmasi berada di beberapa wilayah.
"Beberapa daerah seperti Kudus, kemudian DKI Jakarta, dan juga di Bangkalan, memang sudah terkonfirmasi varian Delta-nya atau B.1617.2 atau juga varian dari India, mendominasi," kata Budi Gunadi.
Simak Juga Video Berikut Ini
Lebih Mudah Menular dan Timbulkan Gejala Parah
Budi Gunadi Sadikin, dalam sebuah kesempatan menyebut bahwa varian Delta 'India' yang sudah masuk Kudus memiliki kemampuan menular yang sangat cepat. Pernyataan itu dikuatkan Guru Besar sekaligus Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Profesor Dr dr Ari Fahrial Syam SpPD-KGEH juga menyampaikan bahwa hal yang sama.
"Barusan lihat di website Gisaid untuk update kasus mutasi ternyata dalam 4 minggu terakhir terjadi peningkatan 51,4 persen dari varian Delta India di Indonesia," kata Ari dalam sebuah pernyataan resmi yang diterima Health Liputan6.com pada Senin, 14 Mei 2021.
Mengenai cepatnya peningkatan kasus COVID-19 akibat varian Delta juga menjadi perhatian Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI sekaligus Guru Besar FKUI Profesor Tjandra Yoga Aditama. Tjandra turut memantau perkembangan varian Delta di Inggris maupun Kudus. Menurutnya, hasil perkembangan terakhir varian Delta yang disampaikan otoritas kesehatan masyarakat di Inggris perlu digunakan sebagai bahan antisipasi di Tanah Air.
Mengutip tulisan Tjandra dalam Kolom Pakar Liputan6.com, laporan Inggris ini berdasar data yang besar, 42.323 kasus varian Delta yang ditemukan di negara itu. Angka ini menunjukkan kenaikan 70 persen dari minggu sebelumnya, atau naik 29.892 kasus hanya dalam waktu satu minggu saja, peningkatan yang amat besar. Bahkan, data terakhir Inggris menunjukkan bahwa lebih dari 90 persen kasus baru COVID-19 di negara itu kini adalah varian Delta ini, menggantikan varian Alfa (B.1.1.7) yang semula dominan di Inggris.
"Kalau pola ini juga akan terjadi di negara kita, maka tentu bebannya akan berat jadinya," tulis Tjandra.
Otoritas kesehatan masyarakat Inggris melaporkan varian Delta ternyata 60 persen lebih mudah menular dibandingkan varian Alfa. "Waktu penggandaannya (doubling time) berkisar antara 4,5 sampai 11,5 hari. Akan baik kalau juga ada data tentang berapa besar (doubling time) dari varian Delta yang kini ada di negara kita, termasuk tentunya laporan terakhir dari Kudus ini," tulis Tjandra.
Sementara itu, Prof Ari Fahrial menyebut bahwa varian Delta dapat menimbulkan gejala yang lebih parah. Yang dapat meningkatkan risiko terjadinya hilang pendengaran, nyeri ulu hati, dan mual.
Pasien yang tertular virus Corona varian Delta pun harus dirawat di rumah sakit dan memerlukan suplementasi oksigen.
Tidak hanya itu, varian Delta India juga bisa menimbulkan berbagai komplikasi.
"Kemampuan varian Delta ini menginfeksi lebih mudah dan cepat. Jika kita berada dalam satu ruangan dengan orang dengan varian Delta ini, dan orang tersebut bersin atau berbicara, virus akan lebih cepat berpindah," katanya.
Ari lalu mengingatkan agar tidak mengendurkan protokol kesehatan COVID-19.
"Semoga kita terhindar dari varian Delta yang berbahaya ini," ujarnya.
Advertisement
Dikhawatirkan Pengaruhi Kemanjuran Vaksin
Varian Delta dari virus SARS-CoV-2 banyak dikhawatirkan akan mempengaruhi efektivitas vaksin yang digunakan saat ini. Terkait hal ini, Satgas COVID-19 pun angkat bicara.
Pernyataan itu disampaikan oleh Wiku Adisasmito, Juru Bicara Satgas COVID-19 dalam konferensi pers pada Selasa (15/6/2021).
Wiku mengatakan, pada prinsipnya setiap virus akan mengalami mutasi untuk bertahan hidup.
"Proses mutasi ini bisa berlangsung terus menerus apabila potensi untuk menularnya tersedia atau penularannya tetap terjadi," kata Ketua Tim Pakar Satgas COVID-19 ini.
Terkait mutasi tersebut, Wiku mengatakan bahwa secara keseluruhan vaksin COVID-19 yang digunakan saat ini masih efektif.
"Karena efektivitas di atas 50 persen masih terpenuhi, dan tentunya penelitian lebih lanjut harus selalu dilakukan, dimonitor, agar betul-betul vaksin yang digunakan adalah vaksin yang efektif," kata Wiku.
Wiku menambahkan, pertanyaan mengenai efektivitas vaksin COVID-19 terhadap varian Delta maupun varian-varian virus Corona lain juga menjadi pertanyaan masyarakat di seluruh dunia.
"Artinya semua pasti melihat kondisi ini dan memastikan bahwa vaksinasi yang dilakukan betul-betul bisa memberikan proteksi kolektif atau herd immunity dari masyarakat yang divaksin," ujarnya.
Dalam laporan Public Health England (PHE) tertanggal 11 Juni 2021, seperti yang disampaikan Mantan Direktur WHO Asia Tenggara dan Mantan Dirjen P2P & Ka Balitbangkes Prof Tjandra Yoga Aditama, varian Delta berpengaruh menurunkan efektivitas vaksin dibandingkan varian Alfa.
Pada mereka yang baru dapat vaksin satu kali maka terjadi penurunan efektivitas perlindungan terhadap gejala sebesar 15 persen sampai 20 persen. Tentu saja efektivitas akan lebih membaik kalau vaksinasi sudah dilakukan dua kali, tetapi dilaporkan juga bahwa walaupun sudah dua kali maka tetap ada penurunan efektivitas akibat varian Delta dibandingkan dengan varian Alfa.
Kata Pakar Soal Pengendalian Varian Delta
Menghadapi invasi varian Delta, Menkes Budi mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo telah meminta agar implementasi protokol kesehatan sesuai PPKM mikro untuk dijalankan secara disiplin, serta dilakukan akselerasi vaksinasi.
""Karena ini penularannya lebih cepat, walaupun tidak lebih mematikan, ini perlu benar-benar kedua hal tadi, dipercepat. Implementasinya di lapangan dan akselerasi vaksinasi."
Sementara itu, Direktur Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman Amin Soebandrio mengatakan varian Delta lebih mudah menular, tapi prinsip pengendaliannya sama dengan varian lain.
“Kalau prinsip pengendaliannya sebetulnya sama dengan yang lainnya, jadi tidak ada perbedaan, prinsipnya 5M dan 3T,” ujar Amin kepada Health Liputan6.com melalui sambungan telepon.
Prinsip 5M dan 3T yang dimaksud Amin sama dengan prinsip protokol kesehatan yang sudah diterapkan sejak lama yakni mencuci tangan dengan sabun, memakai masker, menjaga jarak, mengurangi mobilitas, dan menghindari kerumunan. Serta melakukan testing, tracing, dan treatment.
Guna mencegah penyebaran varian Delta ke daerah lain di Indonesia, Amin mengimbau masyarakat untuk tidak melupakan 2M tambahan yakni menghindari kerumunan dan mengurangi mobilitas.
“Sebetulnya sejak awal sudah diwanti-wanti, kita selain melakukan 3M itu kita harus melakukan 2 lagi yaitu menghindari kerumunan dan mengurangi mobilitas atau perjalanan.”
Amin mengamati, akhir-akhir ini masyarakat banyak melakukan acara-acara ritual, pengajian, dan acara-acara serupa. Kerumunan semacam ini dapat meningkatkan kesempatan penularan COVID-19.
“Ini sebetulnya sudah pengalaman dari sejak dulu bahwa setiap ada kerumunan besar disertai pergerakan manusia itu pasti akan menyebabkan munculnya klaster dan peningkatan jumlah.”
Maka dari itu, Amin mengimbau agar setiap orang perlu mengurangi risiko terjadinya klaster baru dengan tidak bepergian ke suatu tempat dan berkerumun di tempat tersebut.
Senada dengan Amin, Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia, Masdalina Pane mengatakan apa pun jenis variannya, cara pengendalian dalam pandemi COVID-19 tetap sama. Namun Masdalina menyoroti kebijakan kekarantinaan yang dinilainya keliru.
"Sebenarnya, apapun jenis variannya (varian virus Corona), intervensinya tetap sama yakni tracing, testing, dan containment (isolasi/karantina) tetapi ketika ada Permenkes yang melepaskan mereka di hari kelima (karantina) itu kesalahan," kata Masdalina saat dihubungi Liputan6.com ditulis Selasa (15/6/2021.
Hanya saja ada dua hal yang menjadi sorotan Masdalina terkait upaya 3T. Ia menjelaskan bahwa dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor Hk.01.07/Menkes/4641/2021 tentang Panduan Pelaksanaan Pemeriksaan, Pelacakan, Karantina, dan Isolasi dalam Rangka Percepatan Pencegahan Dan Pengendalian COVID-19 disebutkan bahwa karantina di komunitas hanya lima hari. Lalu, pemeriksaan orang yang kontak erat dilakukan di hari pertama.
"Itu salah, harusnya diperiksa di hari kelima atau keenam," katanya."Ini sama sekali menyalahi dalam pengendalian."
Berikutnya Masdalina juga mengkritisi aturan Surat Edaran dari Satgas COVID-19 tentang protokol kesehatan perjalanan internasional di masa pandemi COVID-19 yang terbit Februari 2021. Di surat itu disebutkan bahwa karantina orang yang datang dari luar negeri dilakukan selama lima hari.
"Padahal WHO mengatakan 14 hari, bahkan beberapa negara mengkarantina 14 hari. Di beberapa negara malah tidak diperbolehkan masuk negaranya, seperti Amerika Serikat yang tidak mengizinkan warga Asia Selatan termasuk India masuk wilayahnya," kata Masdalina.
"Nah, kita malah membuka lebar pintu masuk hanya dengan karantina 5 hari," katanya tegas.
Dengan cara protokol pengendalian COVID-19 yang seperti ini Masdalina tidak heran bila melihat ada kenaikan kasus di DKI Jakarta seperti saat ini. Ia juga tidak heran bila varian baru Corona termasuk Delta yang menyebar di Jakarta.
Soal kenaikan di Kudus dan Bangkalan, disebutkan bahwa hal itu terjadi karena kedatangan pekerja migran Indonesia dari luar negeri lewat jalur laut.
"Nah, itu yang harus jadi perhatian. Apakah mereka melewati (proses) karantina atau tidak."
Advertisement
Inggris Pilih Lockdown
Tiap negara memiliki strategi sendiri dalam menghadapi COVID-19, utamanya varian Delta. Perdana menteri Inggris, Boris Johnson, memutuskan untuk melanjutkan lockdown demi menghadang kehadarian virus Corona varian Delta dari India
"Saya pikir bijak untuk menunggu sedikit lagi," ujar PM Boris Johnson seperti dikutip AP News, Selasa (15/6/2021).
"Dengan menjadi waspada, kita kini memiliki peluang untuk menyelamatkan ribuan nyawa selama empat pekan ke depan dengan memvaksinasi lebih banyak jutaan orang lainnya," kata PM Johnson.
Keputusan lockdown ini akan berlangsung hingga 19 Juli 2021 mendatang. Program vaksinasi ini penting untuk mencegah varian Delta yang menular antara 40 hingga 80 persen.
PM Johnson berkata per 19 Juli 2021, dua per tiga populasi orang dewasa akan sudah divaksinasi dua dosis, termasuk warga usia 50 tahun ke atas. Warga usia 18 tahun ke atas juga akan ditawarkan vaksinasi.
Analisis dari Public Health England menunjukan bahwa dua dosis vaksin COVID-19 sangat efektif melawan varian delta. Vaksin Pfizer aktif 96 persen dan AstraZeneca aktif 92 persen.
Pihak Konfederasi Industri Inggris menyesalkan keputusan penundaan pencabutan lockdown ini, tetapi memahami alasan pemerintah.