Bacakan Duplik, Rizieq Shihab Singgung Rapat Komisi III DPR dengan Jaksa Agung soal Disparitas Hukum

Rizieq pun membawa pernyataan Arsul Sani ketika rapat bersama Jaksa Agung yang menyinggung perkaranya dan Syahganda Nainggolan seperti dikejar untuk dihukum pidana penjara, lantaran berseberangan dengan pemerintah.

oleh Liputan6.com diperbarui 17 Jun 2021, 21:05 WIB
Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto menjadi saksi dalam persidangan kasus Rizieq Shihab. (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Terdakwa Rizieq Shihab menyinggung soal hasil rapat antara Jaksa Agung ST Burhanuddin dengan Komisi III DPR RI yang menyebut dalam proses penegakan hukum jangan sampai terjadi disparitas hukum atau penerapan hukum yang tidak seimbang bagi para orang yang kontra dengan pemerintah.

"Sedang anggota Komisi III DPR RI yang lain Asrul Sani dari Fraksi PPP menyoroti adanya perbedaan penanganan hukum antara orang yang pro pemerintah dengan kalangan yang berseberangan dengan penguasa, sehingga terjadi disparitas dalam tuntutan pidana," kata Rizieq Shihab dalam duplik saat sidang di PN Jakarta Timur, Kamis (17/6/2021).

Rizieq pun membawa pernyataan Arsul Sani ketika rapat bersama Jaksa Agung yang menyinggung perkaranya dan Syahganda Nainggolan seperti dikejar untuk dihukum pidana penjara, lantaran berseberangan dengan pemerintah.

"Sedangkan dalam kasus yang sama, tapi terdakwa bukan dari kelompok yang berseberangan dengan pemerintah, maka tuntutan hukum tidak seperti itu. Karena itu Asrul Sani mengatakan muncul kesan bahwa Kejaksaan tidak murni lagi menjadi penegak hukum, tapi menjadi alat kekuasaan dalam penegakan hukum," ujar Rizieq.

"Menjawab itu Jaksa Agung ST Burhanuddin mengakui adanya perbedaan tuntutan hukum dalam penanganan perkara dan menyadari hal itu sebagai suatu kelemahan, dan Jaksa Agung RI juga mengakui belum bisa mengawasi Disparitas ini. Karena itu Jaksa Agung RI menugaskan Jampidum Fadil Zumhana untuk menangani Disparitas ini," tambahnya.

Oleh sebab itu, Rizieq menyindir jaksa agar berlaku adil, dan jangan diskriminasi serta memberlakukan disparitas hukum atau penerapan hukum yang tidak seimbang.

"Sekedar nasihat untuk JPU yang adil dan beradab, ketahuilah bahwa prinsip pengabaian keadilan dan prinsip pembenaran diskriminasi dengan alasan apa pun adalah kezaliman luar biasa yang merusak prinsip dan norma serta nilai Kemanusiaan yang adil dan beradab," kata Rizieq Shihab.

Selain itu dalam dupliknya, Rizieq juga mempertanyakan soal pelanggaran protokol kesehatan sebabkan kerumunan yang dilakukan presiden, pejabat negara, publik figur, sampai di gerai McDonald's yang tidak diproses pidana.

"Semuanya cukup dengan dialog dan mediasi serta dimaafkan, sementara bagi RS UMMI yang telah berjasa membantu ribuan pasien Covid, bahkan pemerintah berutang miliaran rupiah kepada RS UMMI selama pandemi, belum lagi ratusan ribu pasien yang dibantu RS UMMI sejak berdiri, hanya karena dianggap melanggar prokes langsung diproses hukum dan dipidanakan serta diseret ke pengadilan," ujar Rizieq.

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Komisi III Singgung Disparitas Hukum

Sebelumnya, Anggota Komisi III DPR Arsul Sani yang menyebut ada disparitas penuntutan perkara tindak pidana umum. Disparitas itu kata Arsul, terjadi dalam kasus yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi. Orang yang berperkara berbeda sikap politik dengan pemerintah.

Misalnya dalam kasus mantan pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Muhammad Rizieq Shihab, salah satu petinggi KAMI Syahganda Nainggolan hingga aktivis Ratna Sarumpaet. Menurut dia, dalam perkara beda politik itu tuntutan akan diberikan hukuman maksimal. Namun, tuntutan itu berbeda jika yang berperkara itu bukan dalam posisi politik berseberangan dengan pemerintah.

"Ini perkara-perkara ini dituntut maksimal 6 tahun, padahal saya lihat perkara yang didakwakan pasalnya sama, kemudian dikaitkan dengan status penyertaannya pasal 55 juga sama. Tetapi tuntutannya beda kalau yang melakukan adalah bukan orang-orang yang dalam tanda kutip posisi politiknya berseberangan dengan pemerintah atau dengan penguasa," kata Arsul kepada Jaksa Agung ST Burhanuddin saat rapat kerja dengan Komisi III DPR, Selasa (14/6/2021).

Arsul membandingkan dengan kasus Sunda Empire yang tuntutannya tak diberikan maksimal. Menurutnya, hal ini menjadikan Kejaksaan Agung dipandang publik seakan alat kekuasaan untuk melakukan penegakan hukum.

"Nah yang jadi soal juga, ini kemudian menimbulkan kesan bahwa Kejaksaan Agung juga dalam tanda kutip tidak lagi murni menjadi alat negara yang melakukan penegakan hukum tetapi juga menjadi alat kekuasaan dalam melakukan penegakan hukum," kata Waketum PPP ini.

Menjawab hal itu, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengaku belum bisa mengawasi adanya perbedaan atau disparitas dalam menangani suatu perkara tindak pidana. Oleh karenanya, ke depan pihaknya akan melakukan pengawasan terkait hal itu.

"Kita kan baru perubahan di dalam pelaksanaan, kita memberikan kewenangan untuk penunjukkan ke daerah-daerah atau untuk tertentu. Dan ini adalah satu hal kelemahan bagaimana kita belum bisa mengawasi adanya disparitas ini, dan ini akan kami jadi program kami," kata Burhanuddin saat rapat kerja dengan Komisi III DPR RI, Senin (14/6).

Lalu, terkait yang disampaikan anggota Komisi III DPR Arsul Sani yang menyebut adanya disparitas penuntutan perkara tindak pidana umum. Burhanuddin mengaku, tidak akan terjadi lagi adanya perbedaan yang akan dilakukan oleh pihaknya dalam hal ini Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum).

"Agar nanti Jampidum tidak terjadi lagi disparitas, walaupun kami memberikan kewenangan ke daerah. Tetapi pengawasan ada tetap pada kita, jangan sampai ada disparitas terjadi lagi," tegasnya. 

Reporter: Bachtiarudin Alam

Sumber: Merdeka

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya