Liputan6.com, Jakarta - Tim Kuasa Hukum Rizieq Shihab, meminta kepada jaksa penuntut umum agar turut memproses pidana para pejabat negara yang kerap membuat kegaduhan di masyarakat, akibat pernyataan yang dilontarkan mereka membuat keonaran dan kegaduhan.
Hal itu menyusul alasan dari jaksa penuntut umum (JPU) memakai pasal 14 ayat (1) UU 1/46 yang dengan sengaja menyebarkan berita bohong yang mengakibatkan keonaran di kalangan masyarakat.
Advertisement
Dari pernyataan itulah, tim kuasa hukum dalam dupliknya simpulkan seharusnya jaksa turut mempidanakan pejabat yang sering membuat pernyataan membuat gaduh di tengah masyarakat.
"Logika Penuntut Umum sendiri yang menganggap definisi keonaran sekedar keresahan dan pro kontra, maka harusnya penuntut umum menyeret mereka seperti menteri atau pejabat setingkat menteri yang justru dalam kondisi ia menjabat posisi menteri negara atau pejabat setingkat menteri sering membuat kegaduhan dan keresahan akibat pernyataan bohong dan tidak bertanggung jawab," kata salah satu pengacara HRS saat membacakan duplik di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Kamis (17/6/2021).
Lantas dalam dupliknya, Tim Kuasa Hukum menyinggung contoh-contoh pernyataan dari para pejabat yang dinilai membuat kegaduhan. Seperti pernyataan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly yang menyinggung daerah Tanjung Priok yang kerap timbulkan penyakit sosial.
"Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly yang mengatakan 'Yang membuat itu menjadi besar adalah penyakit sosial yang ada. Itu sebabnya kejahatan lebih banyak terjadi di daerah-daerah miskin. Sebelum area (daerah kumuh), bukan di Menteng. Anak-anak Menteng tidak, tapi coba pergi ke Tanjung Priok. Di situ ada kriminal, lahir dari kemiskinan,' kata kuasa hukum.
Atas pernyataan tersebut, tim kuasa hukum menganggap jika apa yang disebut Yasona itu membuat resah warga Tanjung Priok sakit hati dan membantah pernyataan Yasonna Laoly tersebut sehingga membuat gaduh se-Tanjung Priok. Mereka pun menyertakan berita yang menunjukkan pernyataan Yasonna itu.
Contoh kedua, terkait Mantan Menteri Kesehatan, Terawan saat masih menjabat sebagai menteri sering membuat pernyataan-pernyataan kontroversial dengan seperti menyepelekan penyebaran virus ini pada saat awal pandemi Covid-19.
"Berbagai pernyataan seperti menolak dugaan ahli dari Harvard yang menduga Covid-19 sudah masuk ke Indonesia, mengatakan Covid-19 bisa sembuh dengan doa, mengatakan Covid-19 penyakit yang bisa sembuh sendiri," ujarnya.
"Akan tetapi sikap Terawan yang menyepelekan penyebaran Covid-19 itu berujung dengan hadiah dari Presiden Jokowi yang menetapkan status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat sebagai Bencana Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 dan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020. Atas pernyataan-pernyataan Terawan itu pun membuat kegaduhan seantero Nasional," tambahnya.
Kemudian, lanjut kuasa hukum, pernyataan keempat yang dilontarkan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, Yudian Wahyudi yang menyatakan bahwa 'Jadi kalau kita jujur, musuh terbesar Pancasila itu ya agama' dan juga mengatakan 'Saya mengimbau kepada orang Islam, mulai bergeser dari kitab suci ke konstitusi kalau dalam berbangsa dan bernegara'.
"Sontak membuat gempar seantero Nasional. Sampai-sampai ormas Islam besar seperti NU, Muhammadiyah, PERSIS sampai MUI sebagai wadah bersama ormas-ormas Islam seluruhnya mengkritik keras pernyataan Yudian Wahyudi yang kemudian membuat kegaduhan luar biasa di tengah masyarakat, bahkan timbul keresahan ditengah masyarakat yang khawatir akan kebangkitan paham anti agama di Indonesia," beber kuasa hukum.
Terakhir, pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin Sanitiar yang kala rapat bersama Komisi III DPR RI pada 16 Januari 2020 tahun lalu, menyatakan “Peristiwa Semanggi I, Semanggi II, telah ada hasil rapat paripurna DPR RI yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat”.
"Pernyataan itu menimbulkan kegaduhan dan keresahan ditengah masyarakat, terutama sekali keluarga korban pelanggaran HAM berat dari Peristiwa Semanggi I dan Semanggi II. Pernyataan Jaksa Agung RI tersebut kemudian digugat oleh keluarga Korban peristiwa Semanggi I dan II di PTUN, yang kemudian PTUN memutuskan dengan Nomor Putusan: 99/G/ 2020/PTUN-JKT, bahwa apa yang disebutkan oleh Jaksa Agung RI terkait Perisitiwa Semanggi I dan II, oleh Majelis Hakim PTUN yang mengadili perkara itu dinyatakan sebagai tindakan melawan hukum," katanya.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Ikut Dituntut
Oleh karena itu, Tim kuasa hukum Rizieq menilai seharusnya para pejabat-pejabat di atas yang dinilai turut membuat kegaduhan ikut dijerat pasal 14 ayat 1 UU 1/1946 tentang keonaran seperti Habib Rizieq. Lantaran, pernyataan empat pejabat itu berbahaya.
"Tapi kemudian faktanya penuntut umum tidak pernah berani menyeret mereka yang bercokol pada tampuk kekuasaan, tapi dengan senang hati melakukan penuntutan kepada Habib Rizieq Syihab, kenapa? Karena Habib Rizieq Syihab kritis terhadap kebijakan dzalim penguasa yang tidak berpihak terhadap rakyat," ujarnya.
Untuk diketahui jika Rizieq telah dituntut 6 tahun penjara karena dianggap menyiarkan berita bohong serta menutupi hasil swab test yang dilakukan di RS UMMI Bogor. Dia juga didakwa menghalangi upaya satgas Covid-19 kota Bogor dalam menanggulangi penyebaran pandemi Covid-19.
Pertama, Rizieq bersama Hanif serta Andi Tatat turut terancam hukuman maksimal pidana penjara selama 10 tahun dalam perkara hoaks tes swab RS Ummi tersebut. Sebagaimana dakwaan primair Pasal 14 ayat (1) dan (2) serta Pasal 15 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP dalam perkara tersebut.
Sementara itu, dalam dakwaan kedua, Rizieq diduga dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah. Ia disangkakan Pasal 14 Ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Terakhir, dalam dakwaan ketiga, ia didakwakan melanggar Pasal 216 Ayat 1 KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Reporter: Bachtiarudin Alam
Sumber: Merdeka
Advertisement