Sidang Lanjutan Penyuap Nurdin Abdullah, Edy Rahmat Akui Terima Uang Hadiah dan Urus Proyek

Begini kronologi detil kasus suap dan gratifikasi yang menjerat Gubernur Sulsel Nonaktif Nurdin Abdullah.

oleh Eka Hakim diperbarui 18 Jun 2021, 22:43 WIB
Sidang lanjutan Agung Sucipto, penyuap Nurdin Abdullah (Liputan6.com/Eka Hakim)

Liputan6.com, Makassar - Sidang agenda pemeriksaan saksi dalam perkara dugaan suap proyek lingkup Pemprov Sulsel tahun anggaran 2020-2021 yang mendudukkan Agung Sucipto sebagai terdakwa kembali digelar di Pengadilan Negeri Tipikor Makassar, Kamis (17/6/2021). Agung Sucipto vmenjadi terdakwa dalam kasus suap dan gratifikasi yang menjerat Gubernur Sulsel Nonaktif Nurdin Abdullah.

Pada sidang kali ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan enam orang saksi masing-masing Hari Syamsuddin, Abdul Rahman, Irfandi, Ikmawati, Mega Putra Pratama dan Edy Rahmat.

Hari Syamsuddin yang tampak memberikan keterangan lebih awal dalam persidangan yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim, Ibrahim Palino mengatakan cukup mengenal terdakwa Agung Sucipto. Ia mengenal Agung sejak tahun 1970an. 

"Saya teman sekolahan (SMP) di Kabupaten Bulukumba," kata Hari.

Agung, setahu Hari, memiliki dua perusahaan yang bergerak di bidang kontraktor jalan. Kedua perusahaannya itu bernama PT. Agung Perdana Bulukumba dan Cahaya Serpang Bulukumba dan sering mengerjakan proyek lingkup Provinsi Sulsel.

"Setahu saya dia terakhir kerja proyek pembangunan jalan Palampang- Munte," jelas Hari.

Saat JPU KPK menanyakan pekerjaan saksi, Hari pun menjelaskan jika dirinya juga seorang kontraktor dan memiliki perusahaan bernama PT. Purnama Karya Nugraha. 

"Saya juga sering kerja proyek pemerintah. Di antaranya ada di Kabupaten Sinjai dan Kabupaten Jeneponto," tutur Hari.

Khusus mengenai proyek irigasi di Kabupaten Sinjai, Hari mengatakan sepengetahuannya itu baru status usulan belum ada realisasi.

Saat itu, ia mendengar informasi dari berita online terkait adanya rencana usulan pekerjaan yang dimaksud oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sinjai ke Pemprov Sulsel. Ia lalu mencoba meminta bantuan ke terdakwa Agung Sucipto. Karena setahu dia, Agung banyak mengenal orang-orang di lingkup Pemprov Sulsel.

Saat ditanya oleh JPU KPK mengenai uang yang diberikan ke Agung apakah berkaitan dengan pengurusan proyek irigasi di Kabupaten Sinjai, Hari mengatakan tidak ada. Uang yang nilainya Rp1.000.000.050 yang ia berikan ke Agung murni berstatus pinjaman.

Awalnya, kata Hari, Agung meminta uang kepadanya senilai Rp1,5 miliar. Namun belakangan ia hanya memberikan Agung sebesar Rp1.000.000.050. 

"Saya bilang ke Agung kalau uangnya belum ada tapi ini sedang mengurus pencairan kredit. Itu pun kalau sudah ada, saya hanya bisa beri Rp1 miliar tapi Agung minta dicukupkan menjadi Rp1.000.000.050," terang Hari.

Kemudian pengajuan kredit yang diajukan oleh Hari akhirnya disetujui dan pencairannya pun berlangsung pada malam harinya tepatnya tanggal 26 Februari 2021. Kredit dari sebuah bank pelat merah cair sebesar Rp5 miliar.

"Dari uang itu saya suruh Abdul Rahman sisihkan senilai Rp1.000.000.050 dan serahkan ke Agung," terang Hari.

Abdul Rahman, Direktur PT. Purnama Karya Nugraha yang kemudian diberikan kesempatan berikutnya memberikan keterangan dalam persidangan mengatakan betul dirinya telah menyerahkan uang kepada Agung di Fire Flies di Jalan Pattimura Makassar. Selain uang, terlebih dahulu ia menyerahkan lebih awal kopian proposal pekerjaan proyek irigasi di Kabupaten Sinjai kepada Agung.

"Setelah dari bank, saya lalu diperintahkan Pak Hari ke Fire Flies. Di sana saya serahkan kopian proposal proyek irigasi yang diminta Pak Agung. Setelah itu saya keluar ke mobil dan mengambil uang dari mobil dan menyerahkannya ke sopir Pak Agung bernama Nuryadi. Setelah itu saya tinggalkan lokasi. Pak Agung dan Pak Hari masih bersama di dalam Fire Flies," jelas Rahman.

Ia mengatakan uang yang ia serahkan ke Agung melalui sopirnya, Nuryadi saat di Perparkiran Fire Flies, nilainya berjumlah Rp1.000.000.050.

"Kopian proposal pekerjaan irigasi itu saya dapat dari pesan singkat yang masuk ke handpone saya. Saya tidak tahu siapa yang kirim. Memang saya pernah suruh staf, Arif untuk mencari kopian proposal di Kantor Bappeda. Sebatas itu saja saya tahu," terang Rahman.

Ia mengaku proposal proyek irigasi Kabupaten Sinjai yang ia dapatkan itu sepertinya palsu. Proposalnya, kata dia, seperti proposal yang discan. Ada tandatangan bupati tapi tak berstempel.

"Di proposal itu tertulis pagu pekerjaan senilai Rp25 miliar. Tapi proposal itu kayak discan," ucap Rahman.

 

Simak juga video pilihan berikut:


Pengakuan Saksi Lain

Sidang lanjutan Agung Sucipto, penyuap Nurdin Abdullah (Liputan6.com/Eka Hakim)

Saksi berikutnya, Irfandi. Di dalam persidangan, bekas tenaga honorer di Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kabupaten Bantaeng itu membeberkan adanya fakta penerimaan uang oleh Sekretaris Dinas (Sekdis) PUTR Provinsi Sulsel, Edy Rahmat dari seorang kontraktor.

Saat itu Irfandi mengaku sedang berada di Rumah Dinas Sekdis PUTR Provinsi Sulsel. Kemudian Edy memintanya untuk ditemani ke Rumah Makan Nelayan, Makassar.

"Usai waktu Isya, saya temani Pak Edy ke Rumah Makan Nelayan. Saya yang menyetir mobil ke sana gunakan mobil innova warna hitam," kata Irfandi. 

Setelah tiba di Rumah Makan Nelayan, Edy Rahmat lalu turun dari mobil dan bergegas masuk ke dalam. Selang beberapa menit, Edy lalu menghubungi Irfandi agar turut masuk ke dalam.

"Saya disuruh masuk sama Pak Edy untuk makan. Setelah makan, saya langsung disuruh kembali ke mobil menunggu," ucap Irfandi.

Saat menunggu di mobil, tiba-tiba datang seseorang mengetuk kaca mobil dan menanyakan Edy Rahmat. 

"Saya bilang Pak Edy ada di dalam. Orang itu pun masuk ke dalam," ucap Irfandi.

Setelah lama menunggu di mobil, Edy Rahmat lalu menghubungi Irfandi agar segera meninggalkan lokasi dan mengikuti mobil sedan BMW berwarna hitam. Edy Rahmat ada dalam mobil sedan BMW tersebut.

"Saya lalu ikuti mobil sedan itu dan di tengah perjalanan mobil sedang berhenti di Taman Macan, saya turut berhenti dan Pak Edy lalu turun dari mobil sedan tadi dan pindah ke mobil semula. Koper hijau dan tas ransel turut dipindahkan dari mobil sedan ke mobil yang saya bawa," ungkap Irfandi.

Setelah itu, Edy Rahmat memerintahkan Irfandi segera jalan meninggalkan lokasi kemudian menuju ke kawasan kuliner Lego-lego. Tiba di Lego-lego, Edy lalu turun dari mobil dan naik ke sebuah mobil HRV berwarna hitam yang lebih awal terparkir di kawasan Lego-lego.

"Saya tidak tahu siapa di dalam mobil HRV itu. Pak Edy masuk ke mobil itu hanya sebentar lalu kembali ke mobil. Setelah itu kami pulang ke Rumah Dinas Sekdis PUTR," jelas Irfandi.

Setiba di rumah dinas, Edy lalu menurunkan koper berwarna hijau yang berisi uang senilai Rp2 miliar dan ras ransel berisi Rp500 juta ke dalam kamarnya. Sedangkan proposal proyek irigasi di Kabupaten Sinjai tetap ditaruh di dalam mobil.

Istri Edy Rahmat, Ikmawati yang turut memberikan kesaksian dalam persidangan tak menampik keberadaan koper hijau dan tas ransel yang berisi uang ditemukan oleh penyidik KPK.

"Saya tidak tahu siapa yang taruh. Koper hijau ada di kamar dan tas ransel itu ada di kamar sebelah tempat simpan pakaian. Semuanya sudah disita sama KPK," ucap Ikmawati dalam persidangan.

Sementara Mega Putra Pratama yang juga memberikan kesaksian dalam sidang Agung Sucipto mengaku sempat mendapat transferan dana ratusan juta. Pertama dana transfer yang masuk ke rekening sebuah bank BUMN miliknya senilai Rp50 juta dan selanjutnya kembali menerima transferan ke rekening yang sama senilai Rp87 juta. 

"Pak Edy minta nomor rekening saya. Dan esoknya masuk transferan segitu. Yah semuanya saya berikan ke Pak Edy," ucap Mega dalam persidangan.

Edy Rahmat yang turut bersaksi diakhir persidangan tak memungkiri adanya pemberian uang dari Agung Sucipto. Selain diakuinya sebagai ucapan terima kasih dari Agung juga ada titipan untuk pengurusan pekerjaan irigasi di Kabupaten Sinjai. Di mana semua yang diterimanya dari Agung senilai Rp2,5 miliar.

"Yang di koper hijau itu nilainya Rp2 miliar dan di tas ransel itu Rp500 juta," Edy menandaskan.

Diketahui dalam kasus dugaan suap perizinan dan pembangunan infrastruktur di lingkup Pemprov Sulsel Tahun Anggaran 2020-2021, KPK telah menetapkan tiga orang tersangka masing-masing Gubernur Sulsel non aktif Nurdin Abdullah dan Sekretaris Dinas PUTR Provinsi Sulsel yang berperan sebagai penerima suap, turut juga seorang kontraktor ternama di Kabupaten Bulukumba, Agung Sucipto sebagai tersangka yang diketahui berperan sebagai pemberi suap. Agung Sucipto merupakan direktur salah satu perusahaan pemenang proyek di lingkup Pemprov Sulsel yang bernama PT. Agung Perdana Bulukumba.

Dari hasil penyidikan, KPK membeberkan jika Nurdin Abdullah diduga menerima suap senilai Rp2 miliar dari Agung Sucipto. Tak hanya itu, ia juga turut diduga menerima gratifikasi dari sejumlah kontraktor yang total nilainya sebesar Rp3,4 miliar. 

Awal kasus ini terungkap setelah tim penindakan KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Nurdin. Dalam OTT tersebut tim penindakan KPK mengamankan uang sebesar Rp2 miliar yang tersimpan di sebuah koper di rumah dinas Sekretaris PUTR Provinsi Sulsel, Edy Rahmat.

Tak hanya itu, dalam penggeledahan yang dilakukan tim penindakan KPK di rumah jabatan dan rumah pribadi Nurdin Abdullah, serta rumah dinas Sekdis Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) Provinsi Sulsel dan Kantor Dinas PUTR, tim KPK turut menyita uang yang berjumlah sekitar Rp3,5 miliar.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya