Liputan6.com, Jakarta - Sederet nama model transgender mulai "menjejakkan kaki" secara mantap di Asia. Kultur modeling sekarang sangat berbeda dengan beberapa dekade lalu, ketika wanita cisgender kulit putih mendominasi industri ini.
Perubahannya memang belum masif nan dramatis. Tapi, sampul majalah Vogue Thailand edisi Juni 2021 dan kemitraan model transgender Tiongkok, Jin Xing, dengan Dior, menunjukkan bahwa itu bergerak ke arah sana, melansir laman SCMP, Sabtu (19/6/2021).
Karena argumen yang mendukung pengakuan trans semakin keras, itu perlahan tidak mengarah pada kontroversi. "Pendekatannya tidak pernah tentang menciptakan kontroversi, melainkan untuk memberi transgender pengakuan yang layak, dan itu sudah lama tertunda," kata Kullawit Laosuksri, pemimpin redaksi Vogue Thailand.
Baca Juga
Advertisement
Di isu teranyar majalah itu, mereka memperlihatkan figur tiga model transgender, yaitu Moji, Blossom, dan Sunshine. "Saya ingin edisi Juni tidak hanya mewakili komunitas, tapi benar-benar menampilkan bakat, wajah, dan kepribadian dengan cara yang merayakan perjalanan, serta kemanusiaan mereka masing-masing," ucap Laosuksri.
Ini mungkin bukan keputusan yang kontroversial bagi Laosuksri, tapi lebih pada perspektif untuk menyoroti tidak sedikit pria dan wanita transgender memiliki hak yang jauh lebih sedikit, serta seringkali masih hidup dalam ketakutan.
"Thailand adalah negara yang berakar pada agama Buddha, dan kepercayaan mendasar itu telah membentuk masyarakat kita berusaha menerima setiap makhluk apa adanya tanpa penghakiman," katanya. Penerimaan satu sama lain bahkan tidak boleh didiskusikan, ucap Kullawit.
"Belakangan ini, kita telah melihat wanita trans dari perjalanan yang berbeda memimpin posisi teratas berdasarkan bakat mereka dan sampul majalah Vogue (Thailand) telah mendapat dukungan luas di Thailand, dan telah dibagikan ribuan kali di media sosial dengan cara yang sebagian besar positif," ungkapnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Ruang bagi Transgender di Dunia Fesyen
Pada Maret lalu, Dior mengumumkan kerja sama dengan ikon transgender China, Jin Xing, untuk lini parfum khasnya, Dior J'adore. Xing adalah seorang penari, koreografer, dan presenter televisi dengan lebih dari 13 juta pengikut di media sosial China, Weibo.
Penunjukannya untuk memimpin kampanye #diorstandwithwomen bersama aktris Li Bingbing adalah "langkah maju yang penting untuk hak trans." Kendati responsnya tidak semasif Thailand, tanggapan pengangkatan ini tetap dinilai cukup positif.
Sementara itu, di kultur Barat, industri fesyen sebagian besar masih terbagi menurut garis pria dan wanita. Ya, model seperti Theodora "Teddy" Quinlivan telah sukses antara lain lewat kemunculannya di kampanye Chanel dan Jay Espinosa telah muncul di fashion show Louis Vuitton, tapi tidak satupun model transgender muncul di sampul Vogue.
Pada 2016, agensi model trans Slay Model Management dibuka untuk "memperbaiki" ini. "Model kami telah muncul di Majalah Oprah, Elle, Harper’s Bazaar Vietnam, Vogue Bride, Vogue Italia, Vogue Germany, dan National Geographic," kata direktur Cecilio Asuncion. "Kami sangat bangga dengan langkah yang telah dibuat model kami."
Advertisement
Amerika Serikat Masih Jadi Pusat Gerakan?
Asuncion berpendapat bahwa, sementara Asia menampilkan model transgender dengan cara yang semakin menonjol, Amerika masih jadi pusat gerakan. "Saya pikir AS masih merupakan pasar yang lebih besar dalam penggunaan model trans," katanya.
"Secara hukum, pasar Asia masih harus melakukan sejumlah pembaruan terhadap masalah sistemis yang berdampak pada komunitas trans, seperti perubahan penanda gender pada kartu identitas," imbuhnya.
Namun, pada tahap ini, tidak masalah wilayah mana yang mendorong perubahan sikap, yang penting hal itu terjadi. Lebih penting lagi, industri fesyen didorong memastikan bahwa model transgender tidak digunakan untuk "menghasilkan uang selama beberapa tahun," tapi karena pendekatan baru yang inklusif.
Infografis Tarik Ulur RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Advertisement