Meneropong Prospek Sektor Batu Bara dalam 20 Tahun ke Depan

Sekretaris Perusahaan PT Golden Energy Mines Tbk (GEMS), Sudin Sudirman menuturkan, kebutuhan pasar ekspor akan batu bara masih tinggi,

oleh Dian Tami Kosasih diperbarui 20 Jun 2021, 08:00 WIB
Aktivitas pekerja saat mengolah batu bara di Pelabuham KCN Marunda, Jakarta, Minggu (27/10/2019). Berdasarkan data ICE Newcastle, ekspor batu bara Indonesia menurun drastis 33,24 persen atau mencapai 5,33 juta ton dibandingkan pekan sebelumnya 7,989 ton. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Beberapa negara mulai memikirkan penggunaan energi terbarukan untuk menggantikan batu bara. Hal ini tak terlepas dari emisi gas rumah kaca yang dihasilkan batu bara.

Meski demikian, Sekretaris Perusahaan PT Golden Energy Mines Tbk (GEMS), Sudin Sudirman menegaskan, kajian Asosiasi Pertambangan Batu bara Indonesia (APBI) menyebut sumber daya ini masih memiliki prospek hingga 20 tahun ke depan.

"Masih prospek untuk waktu 10 hingga 20 tahun ke depan sesuai kajian APBI Karena keperluan domestik untuk energi PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap)," katanya kepada Liputan6.com, ditulis Minggu (19/6/2021).

Tak hanya domestik, Sudin juga mengatakan, kebutuhan pasar ekspor akan batu bara masih tinggi, terlebih di negara dengan penduduk yang cukup padat.

"Dan juga perlu dilihat kebutuhan dan komitmen pasar ekspor terutama China, India dan negara Asean lainya," ujarnya.

Saat disinggung mengenai harga batu bara yang melonjak naik dalam beberapa hari. Sudin mengaku hal tersebut juga menjadi keuntungan bagi perusahaan.

"Harga batu bara naik tentu akan memberikan pengaruh positif kepada pendapatan perusahaan, tapi perlu lihat juga realisasi harga karena umumnya kontrak sudah diteken 2-3 bulan sebelumnya," tuturnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini


Negara G7 Bakal Hentikan Pembiayaan di Sektor Batu Bara, Ini Langkah Emiten Tambang

Aktivitas pekerja saat mengolah batu bara di Pelabuham KCN Marunda, Jakarta, Minggu (27/10/2019). Berdasarkan data ICE Newcastle, ekspor batu bara Indonesia menurun drastis 33,24 persen atau mencapai 5,33 juta ton dibandingkan pekan sebelumnya 7,989 ton. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Sebelumnya, beranggotakan Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Prancis, Jerman, Italia dan Jepang, negara yang tergabung dalam Group of Seven (G7) akan menghentikan pembiayaan di sektor pertambangan batu bara.

Menjadi tujuh negara dengan produk domestik bruto (PDB) terbesar secara global, kelompok ini menyebut, batu bara sebagai pembangkit listrik menyumbang emisi gas rumah kaca terbesar.

Melihat ini, Sekretaris Perusahaan PT Golden Energy Mines Tbk (GEMS), Sudin Sudirman mengatakan, hal ini tak akan memberikan pengaruh besar karena negara dengan penduduk padat seperti China dan India masih membutuhkan batu bara.

"Meskipun G7 menghentikan pembiayaan di sektor pertambangan batu bara, tapi selama China, India Dan negara Asia termasuk Asean masih memerlukan batu bara untuk energi di negara masing-masing, maka belum ada pengaruh besar," katanya kepada Liputan6.com, Kamis, 17 Juni 2021.

Selain itu, Sudin menegaskan, pendanaan bisa didapatkan perseroan dari bank di dalam negeri serta beberapa proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

"Karena pendanaan bisa melalui perbankan lokal dan pasar modal, misalnya GEMS juga mendapat pinjaman modal dari Bank Mandiri, dan berapa proyek PLTU DSS disupport oleh perbankan China," ujarnya.

Sesuai kajian Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Sudin juga menuturkan, bila batu bara masih akan dibutuhkan 10 hingga 20 tahun ke depan.

"Sesuai kajian dari APBI , untuk jangka waktu 10-20 ke depan, Indonesia masih membutuhkan energi batu bara, terutama proyek 35ribu MW sudah ada yang berhasil diselesaikan, misalnya proyek PLTU di Induk usaha kamu, PT DSS di Sumsel 6 (2x150), Kendari (2x50) Dan Kalteng (2x100)," tuturnya.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya