Liputan6.com, Jakarta - Kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) direncanakan Pemerintah pada 2022. Meski demikian, pembahasannya masih menjadi wacana internal di Kementerian Keuangan.
Melihat hal tersebut, Kartika Sutandi, CFA, Co Founder Jarvis Asset Management menyebut, hal ini menjadi salah satu pendorong ekonomi Indonesia yang akan berpengaruh ke bursa saham.
"Paling konsen kita PPN, meskipun itu belum keluar, masih dibahas, tapi kalau itu jalan, mau bentuknya apapun itu akan menghambat," katanya secara virtual, Sabtu (19/6/2021).
Baca Juga
Advertisement
Kartika menegaskan, PPN yang naik juga akan membuat harga barang mengalami kenaikan, sehingga daya beli masyarakat akan melambat.
"Intinya PPN kalau naik itu pasti slowdown ekonomi kita, karena harga barang naik. Terlebih ini kalau covid-19 naik lagi. Ekonomi akan jelek lagi," ujarnya.
Salah satu sektor ekonomi yang akan terdampak dari kenaikan PPN ialah, sektor konsumer. Hal ini tak terlepas dari kebutuhan keseharian masyarakat.
"Selain itu pembebasan pajak rumah dan mobil temporary hanya tahun ini, kalau tahun depan PPN sudah diadakan kembali. Ini kembali lagi investor sendiri yang tinggal melihat mau bagaimana," tuturnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
DJP Kirim Surat Cinta ke Wajib Pajak soal PPN Sembako, Apa Isinya?
Sebelumnya, Pemerintah berencana mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas sembako dan jasa pendidikan di Indonesia. Munculnya berbagai informasi mengenai rencana tersebut, akhirnya membuat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memberikan penjelasan langsung kepada para wajib pajak.
DJP mengirimkan email berisi penjelasan mengenai rencana tersebut.
"Berkenaan dengan maraknya pemberitaan mengenai pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas sembako maupun jasa pendidikan di Indonesia, dengan ini disampaikan bahwa berita yang beredar merupakan informasi yang tidak berasal dari sumber resmi pemerintah," demikian penjelasan dari Direktorat Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, seperti dikutip pada Sabtu, 19 Juni 2021.
Pihak DJP menjelaskan, saat ini pemerintah sedang fokus terhadap upaya penanggulangan Covid-19 dengan melakukan berbagai upaya untuk melindungi masyarakat dan menolong dunia usaha agar dapat bangkit dan pulih akibat pandemi.
Kemudian, di tengah situasi pelemahan ekonomi akibat pandemi, pemerintah memandang perlu menyiapkan kerangka kebijakan perpajakan, di antaranya usulan perubahan pengaturan PPN.
Ada pun poin-poin penting usulan perubahan di antaranya adalah pengurangan berbagai fasilitas PPN, karena dinilai tidak tepat sasaran dan untuk mengurangi distorsi. Kemudian juga rencana penerapan multitarif, dengan mengenakan tarif PPN yang lebih rendah daripada tarif umum misalnya atas barang-barang yang dikonsumsi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah, dan tarif PPN yang lebih tinggi daripada tarif umum untuk barang-barang yang tergolong mewah yang dikonsumsi masyarakat berpenghasilan tinggi.
"Bahkan untuk jenis barang tertentu akan dikenai PPN Final untuk tujuan kesederhanaan dan kemudahan," jelas DJP.
Rencana ini akan dibahas lebih lanjut bersama DPR dan disebut akan mendengarkan masukan dari seluruh pemangku kepentingan agar lebih baik dan adil, dengan tetap mengedepankan prinsip keadilan, dan gotong-royong.
"Serta meningkatkan kontribusi kelompok yang mampu dengan kompensasi dan subsidi yang lebih tepat sasaran," demikian mengutip penjelasan DJP.
Advertisement
Sri Mulyani: PPN Sembako untuk Beras Impor hingga Daging Wagyu
Sebelumnya, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa pemerintah tidak akan mengenakan PPN sembako yang menjadi kebutuhan masyarakat umum. Hal ini menjawab kekhawatiran bagi para pedagang kecil yang berjualan, khususnya di pasar taradisonal.
"Ibu pedagang bumbu menyampaikan kekhawatirannya membaca berita tentang pajak sembako yang dikhawatirkan menaikkan harga jual. Saya jelaskan pemerintah tidak mengenakan pajak sembako yang dijual di pasar tradisional yang menjadi kebutuhan masyarakat umum," jelasnya dia seperti dikutip dari laman facebooknya, Selasa, 15 Juni 2021.
Sri Mulyani menekankan, pajak tidak asal dipungut untuk penerimaan negara, namun disusun untuk melaksanakan azas keadilan. Misalnya beras produksi petani kita seperti Cianjur, rojolele, pandan wangi, dll yang merupakan bahan pangan pokok dan dijual di pasar tradisional tidak dipungut pajak (PPN).
Namun beras premium impor seperti beras basmati, beras shirataki yang harganya bisa 5-10 kali lipat dan dikonsumsi masyarakat kelas atas, seharusnya dipungut pajak.
Demikian juga daging sapi premium seperti daging sapi Kobe, Wagyu yang harganya 10-15 kali lipat harga daging sapi biasa, seharunya perlakukan pajak berbeda dengan bahan kebutuhan pokok rakyat banyak.
"Itu asas keadilan dalam perpajakan yang lemah dibantu dan dikuatkan dan yang kuat membantu dan berkontribusi," jelas Sri Mulyani.
Insentif Pemerintah
Sri Mulyani melanjutkan, dalam menghadapi dampak Covid-19 yang berat, saat ini pemerintah justru memberikan banyak insentif pajak untuk memulihkan ekonomi. Pajak UMKM, pajak karyawan (PPH 21) dibebaskan dan ditanggung pemerintahan.
Pemerintah juga membantu rakyat melalui bantuan sosial, bantuan modal UMKM seperti yang telah diterima pedagang sayur di Pasar Santa tersebut, diskon listrik rumah tangga kelas bawah, internet gratis bagi siswa, mahasiswa dan guru.
Pemerintah juga memberikan vaksin gratis dan biaya rawat gratis bagi yang terkena Covid. Inilah fokus pemerintah saat ini, yaitu melindungi rakyat, ekonomi dan dunia usaha agar bisa tidak hanya bertahan namun pulih kembali secara kuat. Semangat para pedagang untuk bangkit sungguh luar biasa.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Advertisement