Liputan6.com, Jakarta Langkah kepolisian menyita buku Hikayat Pohon Ganja dalam kasus dugaan penyalahgunaan ganja oleh musikus Erdian Aji Prihartanto alias Anji menuai kritik. Beberapa kelompok masyarakat sipil menyebut penyitaan buku yang merupakan kumpulan ilmu tersebut adalah langkah mundur kepolisian yang modern.
Padahal, penyitaan buku-buku yang bersifat keilmuan tersebut sebagai barang bukti sama sekali tidak ada kaitannya dengan proses pembuktian dalam ketentuan Undang-Undang Narkotika yang menjerat Anji.
Advertisement
Musisi Anji ditangkap pada 16 Juni 2021 karena mengkonsumsi narkotika jenis ganja. Selain buku, polisi menyita 30 gram ganja dalam penangkapan tersebut.
Menyita Buku Bertentangan dengan Undang-Undang
Kelompok Masyarakat Sipil yang berada dalam Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan menyoroti penyitaan buku tersebut.
Mengutip Pasal 39 ayat (1) KUHAP. Menurut Koalisi, buku yang disita penyidik dalam kasus Anji jelas tidak memenuhi klasifikasi barang-barang yang dapat disita berdasarkan ketentuan dalam KUHAP.
"Seharusnya penyitaan terhadap buktu-buku tersebut tidak perlu dan bertentangan dengan undang-undang," tulis Koalisi Advokasi Narkotika dalam keterangan tertulisnya.
Advertisement
Berisi Ilmu
Sebaliknya, Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan menilai buku-buku semacam itu mengandung keilmuan mengenai tanaman ganja yang dalam berbagai negara telah diakui manfaatnya termasuk pengobatan, dapat menjelaskan secara akurat dan ilmiah bahwa kebijakan narkotika yang diterapkan di negara ini telah salah arah.
Terkait hal ini, Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan mendorong supaya reformasi kebijakan
4 Buku di Kediaman Jeff Smith
Hal tersebut tentu dengan memperhatikan berbagai perkembangan dunia internasional terkait posisi tanaman ganja seperti perkembangan terakhir pada akhir 2020, yakni mengenai perubahan penggolongan ganja dalam Konvensi Tunggal Narkotika berdasarkan rekomendasi WHO setelah mempertimbangkan manfaat medis yang dikandungnyanarkotika yang berbasiskan bukti (evidence-based policy) dapat segara dilakukan oleh Pemerintah dan DPR.
Rupanya langkah ini bukan pertama kali dilakukan polisi, dalam penangkapan artis Jeff Smith, 15 April 2021, polisi juga menyita empat buku yang menurut mereka berkaitan dengan kasus ganja Jeff Smith.
Advertisement
Bisa Dipertanggungjawabkan
Mengutip Dhira Narayana, Ketua Lingkar Ganja Nusantara (LGN), bahwa buku tersebut adalah sebuah pernyataan intelektual dan gagasan LGN yang berdasar hasil science.
Dhira pun menegaskan, semua yang masuk ke dalam buku tersebut valid dan siap dikupas dari sisi hukum dan budaya.
"Buku Hikayat Pohon Ganja adalah pernyataan intelektual Lingkar Ganja Nusantara (LGN). Bahwa gagasan dan tindakan kami (LGN) didasari oleh tatanan ilmu pengetahuan yang berani kami pertanggung-jawabkan di hadapan mahkamah hukum ataupun kebudayaan," kata Dhira di buku yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2011 itu.
Buku Tan Malaka
Polda Banten menyita buku Tan Malaka berjudul Menuju Merdeka 100 Persen dari salah satu mahasiswa yang ditangkap saat menggelar aksi unjuk rasa di depan kampus UIN Sultan Maulana Hasanudin (SMH) Banten, Selasa, 6 Oktober 2020.
Mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Banten itu dikenakan Pasal 212 KUHP, dengan ancaman pidana paling lama 1,4 tahun bulan kurungan penjara.
"Buku (Tan Malaka) kita dapatkan saat kita melakukan penggeledahan tersangka OA. Kita kembangkan, yang bersangkutan kita kenakan pasal 212, menyembunyikan buku itu, salah satu objek penelitian," kata Wakil Direktur (Wadir) Reserse dan Kriminal Umum (Reskrimum) Polda Banten, AKBP Dedi Supriadi, di Mapolda Banten, Kamis (8/10/2020).
Advertisement
Buku Tere Liye
Warganet mengritisi tindakan Kepolisian Resor Banjar, Jawa Barat, yang menjadikan buku Tere Liye sebagai barang bukti aksi vandalisme tiga pemuda di kota tersebut.
Buku yang dimaksud bertajuk "Negeri Para Bedebah" karya Tere Liye. Dalam unggahan di akun Instagram resmi Humas Polda di @humaspoldajabar, menunjukkan sebuah foto polisi yang tengah melakukan konferensi pers penangkapan kelompok pemuda yang malakukan vandalistis.
Dalam foto itu tiga orang polisi tengah menenteng beberapa buku yang salah satunya buku Tere Liye. Di depan ketiga polisi tersebut ada meja yang diatasnya bertuliskan "Barang Bukti".
Di bingkai foto itu, akun resmi Humas Polda Jawa Barat menuliskan "Polres Banjar Bekuk Empat Pelaku Vandalisme".
Posting-an yang diunggah pada Minggu (12/4/2020) itu sontak mendapatkan kritik pedas warganet.
Akun @rafiansyahpratma menuliskan, "Anarko mana yang baca bukunya tere liye pak? anarko mana yang ngerasain kesenjangan rindu sampai serapuh itu?".
Gudang Ilmu
Jauh sebelum abad milenial, penyitaan, pemberangusan, bahkan diskusi-diskusi intelektual yang berasal dari buku dilarang pemerintah. Berbagai alasan muncul ke permukaan terkait tudingan buku jadi biang kerok pelanggaran norma dan aturan yang berlaku.
Sebut saja buku Tetralogi karya Pramoedya Ananta Toer yang berkisah soal nasib anak bangsa di tanahnya sendiri. Kisah-kisah realisme tersebut digambarkan Pram untuk mengetahui bagaimana kejamnya kolonialisme dan penindasan terhadap bangsa sendiri.
Buku kumpulan Cerpen Seno Gumira Ajidarma, Saksi Mata, menggambarkan suasana Dili, Timor Timur sebelum merdeka, bagaimana kejahatan kemanusiaan terjadi di sana dan sulit untuk digambarkan dan disiarkan ke publik karena tekanan rezim berkuasa saat itu.
Advertisement