Penetapan Zonasi COVID-19 Perlu Data Kuat, Masih Kurang Valid?

Lonjakan penyebaran COVID-19 kembali terjadi. Per Sabtu (19/6/2021), 12.906 kasus aktif COVID-19 terjadi di Indonesia. Zonasi COVID-19 tak berdampak pada penurunan kasus.

oleh Sigit Tri Santoso diperbarui 20 Jun 2021, 16:20 WIB
Tenaga kesehatan mengenakan alat pelindung diri (APD) lengkap di zona merah Rumah Sakit Darurat (RSD) Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta, Senin (23/11/2020). Total kasus konfirmasi COVID-19 di Indonesia hari ini mencapai angka 502.110 usai penambahan harian sebanyak 4.442. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta Lonjakan penyebaran COVID-19 kembali terjadi. Per Sabtu (19/6/2021), 12.906 kasus aktif COVID-19 terjadi di Indonesia. Zonasi COVID-19 tak berdampak pada penurunan kasus.

Lonjakan-lonjakan kasus aktif COVID-19 selalu terjadi di libur panjang. “Sejarah berulang. Lonjakan Lebaran tahun lalu, libur akhir tahun terjadi lagi,” ujar Dr. Iqbal Elyazar, Peneliti Eijkman-Oxford Clinical Research Unit dalam konferensi pers bertajuk Desakan Emergency Response Prioritaskan Keselamatan Rakyat di Tengah Pandemi, yang digelar Lapor COVID-19 dan CISDI, Minggu (20/6/2021).

Iqbal tidak hanya menyoroti soal lonjakan kasus, namun juga tentang validitas data. Menurutnya, validitas data sangat penting dalam pengendalian pandemi COVID-19. “Dari data yang benar maka akan dibuat analisis dan interpertasinya.”

Bila tidak ada data yang valid dan transparan, menurutnya, akan sulit menguatkan narasi yang dibangun terkait perkembangan COVID-1 9. Misalnya terkait penentuan zonasi sebaran COVID-19. “Tidak pernah lihat data itu,” ungkapnya.

 

Simak Video Pilihan Berikut Ini:


Zonasi COVID-19 dan Validitas Data

Zonasi COVID-19 menunjukkan tingkat sebaran virus Corona di suatu wilayah tertentu. Namun zonasi yang diwakilkan dengan warna merah, oranye, kuning dan hijau itu tidak memberikan kejelasan yang nyata. “Kesannya terkendali,” ujar Iqbal.

Namun ia mempertanyakan validitas data tersebut. Apakah zonasi itu mewakil data dari beberapa unsur yang dapat menyimpulkan suatu kondisi dan ukuran dampaknya. “Valid atau tidak. Tidak diperlihatkan data jumlah testingnya,” jelas Iqbal.

Data, menurutnya bisa datang dari berbagai sumber. Misal untuk data kematian. “Data bisa dari rumah sakit, dinas pemakaman dan juga dukcapil.” Semua ini akan dibandingkan dan dilaporkan ke publik. “Jangan under reported, (tidak dilaporkan).”

Data lain yang penting untuk penentuan zonasi menurutnya adalah jumlah vaksinasi. “Bahkan perlu juga diketahui berapa yang sudah divaksinasi tapi tetap terkena COVID-19,” tambah Iqbal. “Narasi zonasi tidak perlu lagi.”


Data Masih Kurang

Sebelumnya pada kesempatan yang sama, Ahli Kesehatan Masyarakat, Hermawan Saputra, juga menyoroti soal kertersediaan data. 

Menyikapi lonjakan kasus yang masih terus meningkat, Hermawan meminta pemerintah mau bersikap radikal memutus rantai penyebaran COVID-19. Banyak hal yang dianggap masih kurang. Contohnya pembenahan di segala sisi yang terkait surveilans. “Surveilans masih lemah, dari 100 ribu data spesimen hanya 50 persen lab yang bisa kasih data harian.”

Selain itu bila lonjakan penyebaran virus Corona masih besar yang dikarenakan mobilitas masyarakat, Hermawan meminta pemerintah untuk melakukan lockdown regional. “Rekomendasi kedua, lockdown regional.”


Infografis

Infografis 29 Daerah di Indonesia Masuk Zona Merah Covid-19. (Liputan6.com/Trieyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya