Digitalisasi Musik Tradisional, Antara Kesempatan dan Tekanan pada Budaya

Era digital memberi kesempatan lebih luas bagi musisi daerah untuk karyanya dinikmati dan dihargai lebih, tapi tidak sesederhana itu untuk musik tradisional atau musik etnik.

oleh Dinny Mutiah diperbarui 21 Jun 2021, 20:13 WIB
Wisatawan asing berlatih menjadi Nayaga saat lokakarya "Suara Dari Masa Lalu" di Museum Nasional, Jakarta, Minggu (22/12/2019). Lokakarya ini bertujuan mengenalkan sejarah gamelan dan mengajak generasi muda atau milenial mampu melestarikan musik tradisional Indonesia. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Musik tradisional merupakan bagian dari budaya. Musik akan berkembang dan terus hidup bila masyarakat setempat melestarikannya. Namun, era digital memberi tantangan tersendiri.

Bagi Bayu Randu, distributor musik Music Blast, digitalisasi memberi kesempatan musisi lokal untuk berkarya dan menampilkan karyanya ke khalayak luas. Ia membandingkannya dengan situasi sebelum 2015, banyak musisi lokal tak bisa berkembang maksimal kalau tidak ke ibu kota lantaran studio yang layak hanya tersedia di kota-kota besar.

"Musisi lokal saat ini tak lagi menghadapi masalah itu, terima kasih untuk teknologi digital," kata Bayu dalam G-CINC Expert Series: Resilient Ecosystem, Stronger Crescendo, Senin (21/6/2021).

Ia menyatakan digitalisasi memungkinkan ada kesetaraan dalam distribusi musik. Namun, hal itu masih jadi tantangan tersendiri bagi musik tradisional, khususnya yang menggunakan instrumen musik tradisional.

"Ada ribuan instrumen musik tradisional di Indonesia, beberapa sudah punah. Gorontalo misalnya, ada instrumen yang disebut tahuri, yang punah karena materialnya tidak lagi tersedia. Terbuat dari cangkang kerang," ia mencontohkan.

Lantaran ketiadaaan bahan baku, instrumen musik itu pun hilang. Akibatnya, tak ada lagi budaya memainkan musik menggunakan tahuri. "Ini masalah besar dan jadi tanggung jawab kita," ujar Bayu.

Contoh lainnya menyangkut soal gamelan. Ia mengaku hak cipta musik gamelan justru dimiliki oleh perusahaan Amerika Serikat. Maka, yang ingin menggunakan musik tersebut harus membayar lisensi bernilai Rp3 juta kepada perusahaan itu. "Itu ironis," ucapnya.

Berangkat dari hal itu, ia pun menginisiasi Soundsekerta yang bertujuan mengarsipkan musik instrumental tradisional di Indonesia. Ia menargetkan 200 musik instrumen tradisional bisa terekam di situ.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Wawasan Digitalisasi Musik

Ilustrasi alat musik tradisional Bali. (Gambar oleh Nicolaus Erwin dari Pixabay)

Bayu juga menyinggung soal kurangnya wawasan tentang musik digital yang dimiliki para musisi tradisional. Banyak kasus yang diakibatkan ketidaktahuan, musisi kehilangan sumber penghasilan.

"Musisi tradisional yang buat rekaman, mereka bisa monetisasi di Spotify, Youtube. Manfaatkan satu plastform agregrator. Tapi jadi masalah, satu kasus misalnya, musik Gus Teja dipakai Louis Vuitton tanpa izin. Akhirnya, ini bisa diselesaikan dengan bantuan publisher," jelas Bayu.

Lalu, bagaimana dengan musisi tidak punya karya? Bayu menyatakan mereka bisa join ke LMK. "Misal, ngisi lagu Noah pakai karinding apa dibayar sekali lalu udah? Ternyata enggak, mereka bisa dapat royalti," kata dia.

Pengetahuan itu tidak harus selalu dimiliki musisinya, tetapi lingkungan atau komunitasnya bisa membantu. Bila tidak ada komunitas yang bisa membantu, pemerintah daerah lah yang dianggapnya harus ikut bertanggung jawab.

"Ambon sebagai contoh kota musik, yang bertanggung jawab pemda. Sebaiknya di semua daerah, informasi seperti ini, pemda bertanggung jawab," ujarnya.


Menantang Secara Budaya

Salah satu dari lima tifa raksasa yang diarak masyarakat adat dalam parade Festival Tifa di Merauke. (KabarPapua.co/Abdel Syah)

Sementara itu, Direktur Ambon Music Office (AMO) Ronny Lopies berpandangan berbeda. Ia menyebut agak sulit menerapkan digitalisasi di musik etnik meski tidak menutup mata atas kehadiran digitaliasi ini.

"Musik etnik itu berhubungan dengan kearifan lokal. Kita harus pintar mengembangkan musik etnik yang berakar dari budaya lokal. Tetapi, digital bisa mengubah karakter musik etnik," ujarnya.

Maka, ia meminta agar ada kehati-hatian saat mendefinisikan musik etnik ke ranah digitalisasi. Bagaimana pun, musik etnis berhubungan dengan kearifan lokal.

"Ambon UNESCO's City of Music itu lebih banyak proporsi kepada culture. Harus hati-hati proses manajemennya," ia mengingatkan.

Ambon menjajaki pembentukan sister city dengan Havana terkait pengembangan musik di kota masing-masing. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno menyebut kolaborasi antara kedua kota semestinya menjadi contoh untuk kerjasama industri musik mendatang. 

"Keduanya UNESCO'S City of Music, dan keduanya merupakan contoh gambaran bagaimana musik menggerakkan dan mengubah masyarakat secara luas. Lanskap musik Indonesia kurang bernyawa tanpa Ambon, seperti juga Kuba tanpa Havana," ujar Menparekraf dalam sambutannya.


Pro-Kontra RUU Permusikan

Infografis Pro dan Kontra RUU Permusikan. (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya