Polisi Jadi Tersangka Pemerkosaan, Polda Maluku Utara: Tak Ada Toleransi

Rekonstruksi kasus pemerkosaan telah dilakukan. Dalam waktu dekat, Polda Maluku Utara bakal menyerahkan berkas perkara ke Kejaksaan.

oleh Yopi Makdori diperbarui 23 Jun 2021, 15:37 WIB
Garis polisi. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Polda Maluku Utara (Malut) menyatakan, pihaknya tidak menoleransi tindak pemerkosaan yang dilakukan anggotanya terhadap remaja putri di Polsek Jailolo Selatan, Desa Sidangoli, Kabupaten Halmahera Barat (Halbar), Provinsi Maluku Utara.

"Jadi bukan hanya penetapan tersangka, jadi pihak Polda Malut itu tidak memberikan toleransi terhadap oknum anggota yang telah melakukan pelanggaran," ujar Kabid Humas Polda Maluku Utara Kombes Adip Rojikan, Rabu (23/6/2021).

Adip mengatakan, saat ini pihaknya telah menetapkan anggotanya, Briptu II sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemerkosaan tersebut. Anggota polisi itu juga telah ditahan.

Dia memaparkan, rekonstruksi kasus pemerkosaan juga telah dilakukan. Dalam waktu dekat, Adip mengaku pihaknya bakal menyerahkan berkas perkara ke Kejaksaan.

"Sudah dilakukan rekonstruksi dan dalam waktu dekat, terhadap yang bersangkutan berkasnya akan diselesaikan dan dikirim ke jaksa. Dan dengan perbuatan seperti ini, Polda Malut tidak akan memberikan toleransi sama sekali," pungkas Adip.

Briptu II diduga memerkosa seorang remaja perempuan di Polsek Jailolo Selatan, Desa Sidangoli, Kabupaten Halmahera Barat (Halbar), Provinsi Maluku Utara.

Pemerkosaan ini bermula kala korban bersama rekannya tiba di Sidangoli pada Minggu 13 Juni 2021 dan bermalam di penginapan. Kemudian mereka didatangi oknum polisi dan segera membawa keduanya ke polsek tanpa alasan yang jelas. Mereka diangkut menggunakan mobil patroli, dan diperiksa dalam ruangan terpisah.

Saksikan video pilihan di bawah ini:


ICJR Minta Oknum Polisi Diduga Perkosa Remaja di Maluku Utara Dihukum Berat

Ilustrasi Garis Polisi (Freepik/Kjpargeter)

Merespons kasus pemerkosaan tersebut, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) meminta supaya pelaku harus diusut secara komprehensif, baik tindakan di luar kewenangan yang dilakukan. Terlebih tindakan pemerkosaan terhadap anak yang dilakukannya.

"Pemberatan pidana terhadap pelaku yang merupakan aparatur negara harus diaplikasikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, mengingat peran sentral pelaku yang seharusnya memberikan rasa aman kepada korban," kata Peneliti ICJR, Maidina Rahmawati dalam keterangan tulis, Rabu (23/6/2021).

ICJR juga meminta pemerintah serta DPR RI untuk segera membatasi kewenangan polisi lewat pengubahan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

"ICJR mendorong Pemerintah dan DPR serta lembaga independen lain seperti Komnas HAM dan Ombudsman untuk melakukan audit kepada kewenangan besar kepolisian yang minim mekanisme pengawasan. KUHAP harus segera diubah untuk memperkuat pengawasan dan kontrol atas kewenangan Polisi, termasuk menghapuskan tempat-tempat penahanan di kantor-kantor polisi," desak Maidina.

Untuk jangka panjang, menurut Maidina penting untuk pemerintah dan DPR menyisir pasal-pasal karet di Rancangan KUHP yang berpotensi memperbesar kewenangan Kepolisian dalam kondisi pengawasan yang sangat minim di KUHAP.

Maidina juga menilai, kasus tersebut bisa terjadi tidak lepas dari glorifikasi yang dilakukan oleh media dan pihak humas Kepolisian yang merasa berhak untuk melakukan tindakan terhadap masyarakat, baik takut terhadap situasi yang dihadapinya maupun takut terhadap anggota kepolisian yang sering kali mengancam tanpa dasar.

Padahal kewenangan kepolisian untuk mengekang kebebasan orang dibatasi dalam KUHAP. Penangkapan hanya dapat dilakukan terhadap tersangka, dan hanya apabila telah terbit surat perintah penangkapan yang didasari adanya bukti permulaan yang cukup.

"Anggota kepolisian jelas tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan atau upaya paksa begitu saja sesuai perintahnya tanpa dasar yang jelas dan sesuai undang-undang," tegas Maidina.

Menurut Maidina, kasus ini juga menjadi penguat untuk menghapuskan tempat-tempat penahanan di kantor kepolisian. Tempat penahanan ini sering menjadi sarang penyiksaan dan tindakan melanggar hukum lainnya yang dilakukan oleh aparat.

Legitimasi adanya tempat penahanan di Kantor Kepolisian bersifat sementara. Dalam penjelasan Pasal 22 KUHAP bahwa tempat penahanan di kantor kepolisian hanya dibenarkan ketika tidak ada Rutan.

"Sesuai dengan standar Hak Asasi Manusia tempat penahanan harus dibedakan dari institusi yang melakukan penahanan untuk menjamin adanya pengawasan bertingkat," kata dia.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya