Ekonom: Utang Pemerintah Sentuh Rp 6.000 T, Sudah Level Membahayakan

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat posisi utang pemerintah hingga April 2021 berada di posisi Rp 6.527,29 triliun.

oleh Tira Santia diperbarui 24 Jun 2021, 12:15 WIB
Petugas menata tumpukan uang kertas di Cash Center Bank BNI di Jakarta, Kamis (6/7). Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) pada sesi I perdagangan hari ini masih tumbang di kisaran level Rp13.380/USD. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat posisi utang pemerintah hingga April 2021 berada di posisi Rp 6.527,29 triliun. Posisi utang ini setara dengan 41,18 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Ekonom sekaligus Direktur Celios (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira mengatakan kondisi utang pemerintah Indonesia sudah masuk level membahayakan.

“Kondisi utang Pemerintah Indonesia ini sudah dalam level membahayakan atau mengkhawatirkan dilihat dari beberapa indikator,” kata Bhima kepada Liputan6.com, Kamis (24/6/2021).

Hal itu terlihat dari debt to service ratio (DSR) atau kemampuan membayar utang Pemerintah dibanding penerimaan negara sudah di atas 50 persen pada 2020. Maka mengakibatkan Pemerintah harus membayar bunga utang yang lebih mahal untuk mendapatkan bunga pinjaman yang baru.

“Kenapa begitu? karena kalau kita melihat tren dari beban bunga utang yang harus dibayarkan itu jika dibandingkan dengan penerimaan pajak 2021 saja sudah mencapai 25 persen atau 19 persen dari penerimaan negara total ada pajak dan PNBP,” jelasnya.

Untuk penerimaan pajak saja, kata Bhima, seperempat dari penerimaan pajak sudah habis untuk membayar bunga utang sebesar Rp 373 triliun per tahun. Sehingga akan menjadi beban bukan hanya pada APBN tahun berjalan tapi sudah menjadi beban perekonomian dalam jangka panjang.

Bahkan Pemerintah menerbitkan surat utang yang tenornya jatuh tempo pada 2070, artinya sepanjang 50 tahun ke depan Indonesia masih akan terus melanjutkan pembayaran utang untuk menutup utang yang sedang jatuh tempo, kata Bhima.

Bhima menjelaskan, ternyata utang tersebut belanja paling besarnya bukan untuk belanja kesehatan, melainkan untuk belanja yang sifatnya birokratis seperti belanja pegawai dan belanja barang.

“Itu menjadi pemborosan tidak efektif ditambah program-program Work From Bali yang dilakukan oleh Kemenko Marves untuk mendorong pariwisata tapi programnya justru malah blunder. Selain menambah penularan covid-19 yang berikutnya lagi utang digunakan untuk perjalanan dinas untuk waktu yang tidak tepat, padahal bisa Work From Home,” ungkapnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Renegosiasi

Tumpukan uang kertas pecahan rupiah di ruang penyimpanan uang "cash center" BNI, Kamis (6/7). Tren negatif mata uang Garuda berbanding terbalik dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang mulai bangkit ke zona hijau. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Di sisi lain, meskipun utang digunakan untuk pembiayaan dan pembangunan infrastruktur, menurut Bhima, dalam 6 tahun terakhir terbukti pembangunan infrastruktur tidak menurunkan biaya logistik secara signifikan padahal tujuannya untuk efisiensi logistik.

“Tetapi yang terjadi biaya logistik masih mahal 23,5 persen dari PDB, artinya kita harus melakukan evaluasi total terhadap utang yang dikeluarkan Pemerintah sebelum dan dalam kondisi pandemi covid-19,” ujarnya.

Sehingga jalan agar utang itu tidak semakin membengkak adalah dengan melakukan renegosiasi atau restrukturisasi utang terhadap para kreditur. Sebenarnya Bank Dunia dan IMF juga menyerukan untuk mengurangi beban utang khususnya bagi negara-negara yang kesulitan menghadapi pandemi.

“Indonesia ini bukan negara maju tapi Indonesia merupakan negara berpendapatan menengah ke bawah sehingga Indonesia layak melakukan renegosiasi utang dengan para kreditur, itu yang harusnya dilakukan,” pungkasnya.


Utang Tembus Rp 6.000 Triliun, BPK Khawatir Pemerintah Tak Bisa Bayar

Ketua BPK RI Agung Firman Sampurna memberikan keterangan usai pertemuan dengan DPR di kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (30/6/2020). Dalam pertemuan, DPR meminta BPK melakukan pengawasan, pemeriksaan penggunaan dana dalam penanganan pandemi COVID-19 secara tansparan. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merilis Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2020. Dalam ringkasan eksekutif yang dirilis, BPK mengkhawatirkan utang pemerintah Indonesia yang sudah mencapai lebih dari Rp 6.000 triliun.

Tercatat, jumlah utang yang gigantik ini melebihi rekomendasi rasio utang dari International Debt Relief (IDR) dan International Moneter Fund (IMF).

Dalam penjelasan hasil revisi atas kesinambungan fiskal, BPK mengatakan pandemi Covid-19 meningkatkan defisit, utang dan SILPA yang berdampak pada peningkatan risiko pengelolaan fiskal.

"Tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga melampaui pertumbuhan PDB dan penerimaan negara yang memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang," jelas BPK, dikutip Liputan6.com, Rabu (23/6/2021).

Secara rinci, BPK menyebutkan rasio utang Indonesia melampaui batas yang direkomendasikan IMF dan atau IDR, yaitu rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77 persen, melampaui rekomendasi IMF sebesar 25 hingga 35 persen.

Kemudian, rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06 persen, melebih rekomendasi IDR 4,6 hingga 6,8 persen dan rekomendasi IMF 7 hingga 10 persen.

"Rasio utang terhadap penerimaan tercatat sebesar 369 persen, melampaui rekomendasi IDR sebesar 92 hingga 167 persen dan rekomendasi IMF sebesar 90 hingga 150 persen," tulis BPK.

Adapun saat ini, utang pemerintah tercatat mencapai Rp 6.527,29 triliun atau sekitar 41,18 persen terhadap PDB.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya