Ekonom: IPO Jadi Exit Strategy Perusahaan Startup

Ekonom Indef, Bhima Yudhistira menilai tahun ini merupakan momentum bagi startup untuk mencatatkan saham di BEI.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 24 Jun 2021, 17:48 WIB
Karyawan berjalan di depan layar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (22/1/2021). Indeks acuan bursa nasional tersebut turun 96 poin atau 1,5 persen ke 6.317,864. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Perusahaan rintisan (startup) untuk menawarkan saham perdana atau initial public offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia (BEI) menjadi perdebatan tersendiri di kalangan investor hingga pengamat.

Lantaran ada sudut pandang konvensional yang lebih mempertimbangkan kinerja Perusahaan, ada pula yang melihat dari sisi capital gain atau keuntungan.

Seperti diketahui, Bursa Efek Indonesia (BEI) tengah mempersiapkan alternatif aturan baru untuk mengakomodir perusahaan rintisan (startup) unicorn untuk melantai di papan utama. Alternatif aturan tersebut akan termaktub dalam revisi Peraturan Bursa I-A.

Secara garis besar, aturan yang diubah yakni terkait  persyaratan yang mewajibkan calon perusahaan tercatat untuk sudah membukukan laba usaha, paling tidak dalam kurun satu tahun terakhir untuk dapat tercatat di papan utama. Sementara aturan tersebut tidak fit dengan karakteristik perusahaan yang terus berkembang belakangan, termasuk tetapi tidak terbatas kepada tech companies. 

Misalnya, perusahaan yang karakteristiknya masih fokus meningkatkan pangsa pasar dan belum laba, tetapi valuasinya besar dan berpotensi untuk jadi salah satu peraih dana terbesar di pasar modal Indonesia. 

Meski begitu, di tengah situasi ekonomi yang tidak pasti akibat pandemi COVID-19, Ekonom Indef, Bhima Yudhistira menilai tahun ini merupakan momentum bagi startup untuk mencatatkan saham di BEI.

"Justru sekarang momennya, karena 2022 atau 2023 keadaannya sudah sangat berubah. Tapering off jelas. Investor itu perilakunya akan mencari aset-aset yang lebih aman, entah aset di luar negeri bahkan surat utang yang aman di negara berkembang pun juga bukan pilihan kalau dalam kondisi tapering off memicu taper tantrum,” kata dia dalam diskusi virtual, Kamis (24/6/2021).

Sementara ia mengakui, emiten yang akan melantai dari perusahaan digital dipersepsikan dalam kategori tinggi risiko. Hal inilah yang menurut Bhima memicu perdebatan. Antara yang mempertimbangkan profit dan yang mempertimbangkan capital gain.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini


Exit Strategy

Pekerja mengamati pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di salah satu perusahaan Sekuritas, Jakarta, Rabu (14/11). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil bertahan di zona hijau pada penutupan perdagangan hari ini. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Bhima menuturkan, maraknya rencana IPO startup ini merupakan konsekuensi dari pendanaan secara tertutup lewat modal ventura yang menurun selama pandemi. "Sehingga mau tidak mau, exit strategi mencari pendanaan secepat mungkin,” kata dia.

Adapun penurunan itu, kata Bhima, disebabkan beberapa situasi yang secara teknis kurang efektif dilakukan selama pandemi. Seperti pertemuan secara daring yang dinilainya kurang mengakomodir.

Bhima mewanti-wanti terjadinya dotcom bubble. Yakni gelembung spekulasi yang terjadi antara tahun 1998–2000 ketika bursa saham di negara-negara industri mengalami kenaikan nilai ekuitas secara tajam berkat pertumbuhan industri sektor Internet dan bidang-bidang yang terkait.

"Banyak yang semangat IPO. Tapi ketika startup-nya setelah mendapat suntikan dana publik ternyata performanya tidak terlalu bagus, maka itu akan mengakibatkan koreksi yang berdampak pada semua bursa saham," ujar Bhima.

 


BEI Godok Aturan

Pekerja mengamati pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di salah satu perusahaan Sekuritas, Jakarta, Rabu (14/11). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil bertahan di zona hijau pada penutupan perdagangan hari ini. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, saat ini, Bursa masih terus menggodok aturan baru untuk mengakomodir penawaran saham perdana (Initial Public Offering/IPO) perusahaan rintisan atau startup. Adapun aturan itu nantinya akan tertuang dalam Revisi Peraturan Bursa No I-A.

Secara garis besar, aturan yang diubah yakni terkait  persyaratan yang mewajibkan Calon Perusahaan Tercatat untuk sudah membukukan laba usaha, paling tidak dalam kurun satu tahun terakhir untuk dapat tercatat di Papan Utama. Sementara, Direktur Penilaian Perusahaan BEI, I Gede Nyoman Yetna menjelaskan aturan tersebut tidak fit dengan karakteristik perusahaan yang terus berkembang belakangan, termasuk namun tidak terbatas kepada tech companies. 

"Dalam rancangan Peraturan Bursa I-A yang sedang dalam proses revisi, kami melakukan penyesuaian pengaturan sehingga Calon Perusahaan Tercatat, termasuk unicorn, dapat menggunakan 5 alternatif persyaratan,” kata Nyoman.

Lima persyaratan tersebut yaitu:

1. Net Tangible Asset dan Laba Usaha

2. Agregat Laba Sebelum Pajak 2 tahun terakhir dan Nilai Kapitalisasi Pasar;

3. Pendapatan dan Nilai Kapitalisasi Pasar;

4. Total Aset dan Nilai Kapitalisasi Pasar;

5. Operating Cashflow Kumulatif 2 tahun terakhir dan Nilai Kapitalisasi Pasar.

 

"Alternatif-alternatif persyaratan tersebut kita sesuaikan dengan best practice yang diterapkan di Bursa lain dan harapan kami tentunya dapat membuka kesempatan yang lebih lebar bagi perusahaan-perusahaan Indonesia untuk dapat tercatat di Bursa Efek Indonesia, dengan tetap mempertahankan kualitas perusahaan yang eligible untuk tercatat di Papan Utama,” kata Nyoman.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya