Liputan6.com, Jakarta - Kesadaran masyarakat dinilai masih rendah untuk mendaftarkan hak kekayaan intelektual (HAKI) dalam membangun bisnis. Kemenkumham menyebut hanya sekitar 70 ribu pelaku UMKM yang mendaftarkan mereknya dari lebih dari 65 juta pelaku usaha pada 2019 sampai 2021.
"Angka itu terbilang rendah jika dibandingkan dengan negara lain seperti China yang dapat menerima permohonan pendaftaran desain industri mencapai 500 ribu orang setiap tahunnya," kata CEO Kontrak Hukum Rieke Caroline dalam keterangannya, Kamis (24/6/2021).
Advertisement
Padahal, tambah dia, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) sudah menyediakan berbagai fasilitas online dari mulai contact center DJKI, fitur live chat di website DJKI, e-tutorial HKI, e-status HKI, dan sistem lainnya untuk mempermudah pendaftaran HKI. DJKI bahkan meluncurkan Loket Virtual (LokVit-2020) ketika loket pelayanan terpadu harus ditutup akibat penerapan physical distancing.
"Adanya LokVit membuat masyarakat seharusnya tidak lagi memiliki halangan untuk mendaftarkan kreativitasnya di DJKI karena semuanya dapat dilakukan secara online sehingga masyarakat cukup mengunggah data yang dibutuhkan," ujar dia.
Dari sisi regulasi, pemerintah juga banyak mengeluarkan berbagai aturan dan kebijakan yang bertujuan untuk memudahkan pendaftaran serta peningkatan perlindungan HaKI yang dimiliki.
"Namun, rendahnya pemahaman dan minimnya edukasi mengenai HaKI bagi masyarakat tetap menjadi masalah utama yang menyebabkan masyarakat skeptis dan enggan melakukan pendaftaran HaKI. Padahal, legalitas dapat membuat bisnis lebih berkembang dan terhindar dari sengketa yang merugikan," ucap Rieke.
Menurut Rieke, Indonesia sama seperti negara lain di dunia yang menganut prinsip first to file sehingga pelaku usaha harus segera mendaftarkan merek yang dipergunakannya agar menjadi identitas usaha tersebut. Namun belum banyak orang yang paham akan hal ini dan berakhir memiliki sengketa dengan pihak lain.
"Data dari Laporan Tahunan DJKI menunjukan bahwa sepanjang tahun 2019 setidaknya terdapat 47 aduan pelanggaran kekayaan intelektual yang diterima oleh DJKI. Jumlah aduan yang masuk terdiri dari pelanggaran merek (34 aduan), disusul aduan pelanggaran hak cipta (7 aduan), paten (2 aduan), dan desain industri (4 aduan). Angka tersebut naik dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya mencapai 36 aduan," terang dia.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Pelanggaran Sengketa HAKI Masih Tinggi
Dikutip dari website Direktori Putusan Mahkamah Agung selama 2020 kasus sengketa merek yang di register ke pengadilan mencapai 126.675 kasus. Jumlah itu menandakan bahwa pelanggaran dan sengketa HaKI di Indonesia memiliki angka yang tinggi.
"Belum lama ini juga viral di media sosial ketika netizen ramai-ramai membuat akun instagram GoTo Financial setelah Gojek dan Tokopedia melakukan merger. Secara bersamaan, netizen membuat akun untuk mengamankan nama tersebut dan akan menjualnya hingga puluhan juta apabila GoTo Financial hendak menggunakan nama tersebut," ujar Rieke.
Kasus ini, dia menambahkan, tentu dapat diatasi dengan mudah dan GoTo tidak perlu membayar nama tersebut apabila GoTo telah mendaftarkan dan memperoleh HaKI atas GoTo Financial.
"Berdasarkan hal tersebut, HaKI telah menjadi bagian penting dalam kehidupan sehari-hari," ujar dia.
Salah satu bentuk untuk membantu meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya legalitas adalah dengan hadirnya Kontrak Hukum. Kontrak Hukum memberikan edukasi dan layanan legal terpercaya, termudah, dan terjangkau untuk mengembangkan bisnis di Indonesia.
"Komitmen dari Kontrak Hukum untuk memberikan akses informasi serta layanan jasa hukum secara terbuka dan seluas-luasnya diharapkan dapat membantu mewujudkan perlindungan HaKI bagi seluruh lapisan masyarakat," ujar dia.
Advertisement