Liputan6.com, Jakarta Selaku pelaku usaha yang bergerak di bidang pembiayaan, Manajemen FIFGROUP selalu berkomitmen untuk mengedepankan cara-cara yang sejalan dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku serta berupaya memitigasi terjadinya perbuatan-perbuatan yang berpotensi menjadi pelanggaran ataupun termasuk ke dalam perbuatan melawan hukum.
Hal ini diungkapkan oleh Operation Director FIFGROUP, Setia Budi Tarigan, seiring dengan terjadinya kasus kekerasan yang dilakukan oleh oknum debt collector yang mengaku karyawan FIFGROUP ataupun mitra yang bekerja sama dengan FIFGROUP.
Advertisement
“Dalam pelaksanaan bisnis pembiayaan yang berkaitan dengan konsumen, FIFGROUP selalu mengikuti aturan dan prosedur yang berlaku, di mana setiap juru tagih yang melakukan penarikan unit memiliki sertifikat dan surat kuasa dari perusahaan mitra yang bekerja sama dengan FIFGROUP,” kata Setia Budi Tarigan dalam webinar berjudul “Implikasi Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 Terhadap Jaminan Fidusia dalam Tataran Teori dan Implementasi” pada Kamis (24/06/2021).
“Saya menghimbau kepada seluruh pelanggan FIFGROUP untuk selalu berhati-hati terhadap penipuan, pencurian, ataupun perampasan dengan modus penarikan unit yang mengatasnamakan FIFGROUP. Pastikan kelengkapan identitas orang yang melakukan penarikan unit sudah lengkap, seperti membawa kelengkapan dokumen yang sesuai dengan aturan yang berlaku,” tambah Setia Budi Tarigan.
Webinar yang dihadiri oleh lebih dari 600 peserta, termasuk jajaran direksi dan manajemen FIFGROUP serta advokat dan mitra yang bekerja sama dengan FIFGROUP menghadirkan narasumber yang berasal dari pihak kepolisian, yaitu Penyidik Madya Bareskrim Polri, Kombes Pol Ario Gatut Kristianto dan Ahli Hukum Pidana dan Akademisi, Dr. Chairul Huda, S.H., M.H. Webinar ini mendapatkan respon positif dari para peserta, di mana sebanyak 10 pertanyaan diajukan seiring hangatnya suasana webinar mengenai topik Implikasi Putusan MK terhadap implementasi eksekusi jaminan fidusia.
Ario menyampaikan bahwa ekskusi jaminan fidusia dapat dilakukan apabila terjadinya wanprestasi atau cidera janji terhadap perjanjian yang telah disepakati oleh kreditur dan debitur, di mana tetap harus memperhatikan segala aspek hukum yang berlaku.
“Ada ketentuan pidana yang mengatur para pihak baik kreditur maupun debitur apabila melanggar atau melakukan perbuatan melawan hukum yang diatur pada pasal 35 dan 36 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dalam pasal 335, 368, dan 372,” kata pria yang juga pernah menjabat sebagai perwira menengah (Pamen) Polda Sumatera Utara tersebut.
Di samping itu, Chairul menyampaikan bahwa secara penerapan hukum dalam melakukan eksekusi jaminan fidusia selama tidak adanya unsur kekerasan yang dilakukan maka tidak adanya tindakan yang melanggar pidana.
“Segala tindakan eksekusi jaminan fidusia tetap dapat dilakukan selama sesuai dengan putusan yang berlaku, di mana debitur mengakui tindakan wanprestasi yang dilakukan serta secara sukarela menyerahkan jaminan fidusianya, sehingga dalam praktiknya harus dilakukan secara persuasif dengan menghindari tindakan kekerasan ataupun ancaman kekerasan bahkan perbuatan intimidasi,” ucap pria kelulusan Program Doktoral Ilmu Hukum Universitas Indonesia.
Dalam industri pembiayaan pada tahun 2021 menunjukkan pemulihan berdasarkan terjadinya pertumbuhan positif pada piutang pembiayaan. Dilansir dari data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Maret 2021 memperlihatkan adanya peningkatan tipis sebesar 0,25% secara month-to-month menjadi Rp 362,70 triliun.
Namun, kondisi pandemi Covid-19 yang masih tidak menentu juga mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah kredit macet khususnya untuk industri pembiayaan. Tentunya, akan timbul dampak buruk terhadap Non-Performing Financing (NPF) perusahaan pembiayaan yang ada di Indonesia.
Hal ini senada dengan hasil perhitungan sebuah Biro Riset per Maret 2021 bahwa potensi kredit atau pembiayaan tidak tertagih mencapai Rp 484,39 triliun, di mana industri pembiyaan menyumbang sebesar Rp 53,60 triliun yang dihitung dari NPF dan ditambah dengan asumsi 20% dari pembiayaan yang direstrukturisasi sebesar Rp 198,27 triliun yang diperkirakan menjadi NPF.
Pada industri pembiayaan khususnya pembiayaan atas benda bergerak yang dapat didaftarkan sebagai jaminan fidusia, tentunya menjadi sebuah pekerjaan rumah besar yang perlu diselesaikan. Jaminan fidusia sendiri adalah hak jaminan atas benda bergerak sebagai jaminan atas pelunasan utang tertentu.
Eksekusi jaminan fidusia menjadi salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meminimalisir besarnya pembiayaan tidak tertagih. Namun, tindakan tersebut saat ini menjadi kontroversi dan perdebatan di tengah masyarakat di Indonesia.
Terdapat pro dan kontra dalam pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia di tengah masyarakat, terlebih di masa pandemi seperti saat ini serta ditambah lagi adanya pemahaman multitafsir terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 18/PUU-XVII/2019 terkait Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia baik dari masyarakat, pelaku bisnis pembiayaan, maupun praktisi hukum.