HEADLINE: Isolasi Mandiri Pasien COVID-19 Jadi Alternatif Atasi Lonjakan di RS, Pedomannya?

Kasus COVID-19 di Indonesia terus meningkat. Isolasi mandiri alias isoman pun menjadi alternatif mengingat ketersediaan rumah sakit yang kian terbatas.

oleh Fitri SyarifahGiovani Dio Prasasti diperbarui 26 Jun 2021, 19:19 WIB
Aktivitas pasien Covid-19 saat menjalani perawatan di Pusat Rawat Isolasi Khusus Mandiri di Stadion Patriot Candrabhaga, Bekasi, Rabu (23/9/2020). Hingga saat ini tercatat sebanyak 15 pasien dengan status orang tanpa gejala (OTG) Covid-19 menjalani isolasi mandiri. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta Kasus COVID-19 di Indonesia terus meningkat. Dari data Kementerian Kesehatan yang diperbarui setiap harinya, per 25 Juni 2021 terdapat 18.872 orang terkonfirmasi positif. Akibatnya, jumlah penderita COVID-19 mencapai 2.072.867 orang.

Kondisi ini membuat tenaga kesehatan cukup kewalahan dan juga ketersediaan rumah sakit menjadi semakin berkurang. Buntutnya, pemerintah menyarankan masyarakat yang dinyatakan positif dengan gejala ringan bisa melakukan isolasi mandiri atau isoman di rumah.

Sekretaris Jenderal Persi, Lia G. Partakusuma dalam diskusi virtual yang disiarkan melalui YouTube BNPB Indonesia mengatakan dalam sepekan terakhir, rumah sakit rujukan Covid-19 kewalahan menangani pasien, terutama di Pulau Jawa. Sebab, jumlah pasien Covid-19 yang membutuhkan perawatan terus meningkat. Sementara tempat tidur dan fasilitas kesehatan lainnya terbatas.

"Pekan ini luar biasa penambahannya, kita juga agak kewalahan," ujarnya.

Di tengah keterbatasan tempat tidur, Lia memastikan rumah sakit akan tetap memberikan pelayanan kesehatan bagi pasien Covid-19. Namun, dia meminta kerja sama dari masyarakat untuk bersabar saat mengantre di Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit.

Untuk mengantisipasi lonjakan kasus tersebut, Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito dalam siaran persnya mengatakan, diperlukan manajemen yang baik soal distribusi pasien yang tepat berdasarkan gejala, agar isolasi atau perawatan intensif di RS dapat terkendali.

"Tidak semua pasien COVID-19 harus ke rumah sakit untuk mendapat penanganan lanjut," kata Wiku yang juga tengah terkonfirmasi positif COVID-19 ini.

"Pasien dengan gejala berat dan sedang yang berhak didahulukan untuk mendapat penanganan, baik isolasi maupun perawatan intensif di rumah sakit," katanya dalam siaran pers.

Mengingat kemampuan setiap daerah berbeda, Satgas mengimbau agar warga yang kekurangan fasilitas isolasi terpusat untuk membantu upaya pengendalian COVID-19 secara berjenjang, dengan berinisiatif melakukan isolasi mandiri baik di rumah, kos, hotel, atau apartemen.

"Pemerintah mendukung upaya ini dengan catatan masyarakat berkomitmen menjalankan prosedur isolasi mandiri dengan baik di bawah pengawasan puskesmas yang merupakan bagian dari posko," kata Wiku. 

Infografis Pedoman Isolasi Mandiri Pasien Tanpa Gejala Covid-19. (Liputan6.com/Trieyasni)

Simak Video Berikut Ini:


Harus Ikuti Aturan dan Diawasi Nakes

Bagi pasien yang terkonfirmasi positif COVID-19, Satgas juga mengatakan bahwa selama isolasi mandiri, mereka juga harus istirahat cukup, mengonsumsi multivitamin, dan berolahraga.

Satgas juga mengingatkan agar masyarakat tidak panik dan tidak buru-buru ke rumah sakit apabila dinyatakan positif COVID-19, berdasarkan hasil tes PCR.

Mereka mengimbau agar masyarakat memaksimalkan terlebih dulu sumber daya masyarakat, dengan upaya preventif optimal melalui posko.

"Bila rasio tenaga kesehatan untuk mengawasi jumlah masyarakat yang melakukan isolasi mandiri secara terpusat belum mencukupi, maka relawan kesehatan harus ditambah untuk memastikan pelayanan yang prima," kata Wiku.

"Tindakan bijak kolektif ini dapat membantu mengurangi beban fasilitas kesehatan sekaligus tenaga kesehatan yang senantiasa mencurahkan tenaganya untuk menyelamatkan banyak nyawa," imbuhnya.

Sementara itu, Juru Bicara Penanganan COVID-19 dalam siaran Radio Kesehatan Kementerian Kesehatan bertajuk Tata Cara Isolasi Mandiri yang Tepat, dokter Reisa Broto Asmoro mengatakan, isolasi mandiri dapat diartikan sebagai upaya untuk memisahkan individu yang sudah sakit.

"Jadi kalau dia sudah terkonfirmasi positif oleh COVID-19, sudah ada gejala juga, supaya dia tidak menularkan ke keluarga dan orang-orang di sekitarnya, ke lingkungan, ke masyarakat," katanya beberapa waktu lalu.

Reisa mengatakan, seseorang yang dinyatakan positif COVID-19 harus melakukan isolasi mandiri agar tidak terjadi penularan ke orang-orang di sekitarnya.

Ia mengatakan, isolasi mandiri menjadi cara mencegah penyebaran COVID-19 dari orang yang positif terkena virus Corona ke orang lain di sekitarnya.

 


Isolasi Mandiri di Rumah Tak Boleh Sembarangan

Meski dilakukan di rumah sendiri, isolasi mandiri tetap harus mengikuti aturan yang sudah ditetapkan dan tidak boleh dilaksanakan dengan sembarangan.

"Poin utamanya adalah sebelum dia memutuskan untuk bisa isolasi mandiri atau tidak, dia sudah harus mendapatkan persetujuan tenaga medis atau dokternya terlebih dahulu," kata Reisa.

"Jadi yang memastikan, untuk menentukan boleh tidaknya isolasi mandiri itu dari dokternya. Bukan sendiri," kata dokter Reisa dalam siaran Radio Kesehatan Kementerian Kesehatan beberapa waktu lalu

Menurut Reisa, seringkali ada salah kaprah mengenai isolasi mandiri. Banyak pasien yang positif tanpa gejala, tidak berkonsultasi dulu dengan tenaga kesehatan (nakes) sebelum memutuskan isolasi mandiri.

"Isolasi mandiri bukan berarti dia tidak konsultasi atau tidak diawasi oleh nakes," kata Reisa.

Reisa mengungkapkan, ada beberapa persyaratan untuk seseorang bisa melakukan isolasi mandiri di rumah apabila sudah dilakukan pemeriksaan oleh dokter. Yang pertama adalah memperhatikan gejala.

"Kalau dia bisa isolasi mandiri di rumah, pasti dia punya gejala yang ringan, sangat ringan, atau bahkan sampai dia tidak menyadari bahwa dia punya gejala, meskipun pasti ada gejala sedikit mungkin," ujarnya.

Selain itu, yang boleh isolasi mandiri di rumah adalah orang-orang yang tidak punya komorbid atau penyakit bawaan, atau yang usianya bukan lansia.

Sarana dan pra-sarana untuk isolasi mandiri, menurut Reisa, juga harus memungkinkan seseorang untuk melakukannya di rumah. "Artinya, dia harus terpisah dengan anggota keluarga yang lain. Dia tidak boleh berada dalam satu ruangan bersama anggota keluarga yang lain."

Reisa menegaskan, isolasi mandiri pun tetap harus dilakukan dengan terpantau oleh tenaga kesehatan secara rutin. Selain itu, ruang isolasi juga harus memiliki aliran udara yang baik.

Menurut Reisa, isolasi mandiri juga berarti pasien dapat merawat dirinya sendiri. "Jadi memang kalau dia memutuskan untuk isolasi mandiri, dia harus tahu bahwa dia itu memang tidak perlu dilakukan perawatan oleh orang lain."

Apabila rumah tidak memungkinkan untuk isolasi mandiri, maka yang harus dilakukan adalah isolasi terpusat. Contohnya seperti di RSDC Wisma Atlet, Kemayoran.

Selain menjadi cara untuk mencegah penyebaran COVID-19 dari pasien terkonfirmasi, isolasi mandiri juga dinilai menjadi strategi untuk mengurangi beban yang diterima rumah sakit.


Lama Isoman di Rumah yang Wajib Dijalankan

Bagi masyarakat yang akhirnya isolasi mandiri (isoman) di rumah, maka ada persiapan dan prosedur yang harus diikuti. Hal ini sesuai dengan pedoman yang dianjurkan, serta berstandar nasional dan mengacu kepada World Health Organization (WHO).

Berdasarkan pedoman COVID-19 revisi kelima Kementerian Kesehatan, isoman dilakukan minimal 10 hari, baik pada mereka yang bergejala atau tanpa gejala.

Mengutip laman Satgas COVID-19, covid19.go.id, kriteria isolasi dan sembuh pada pasien terkonfirmasi menggunakan gejala sebagai patokan utama:

Pada kasus terkonfirmasi yang tidak bergejala (asimtomatik), isolasi dilakukan selama sekurang-kurangnya 10 hari sejak pengambilan spesimen diagnosis konfirmasi. Pada kasus terkonfirmasi yang bergejala, isolasi dilakukan selama 10 hari sejak muncul gejala ditambah dengan sekurang-kurangnya 3 hari bebas gejala demam dan gangguan pernapasan. Sehingga, untuk kasus-kasus yang mengalami gejala selama 10 hari atau kurang harus menjalani isolasi selama 13 hari.

Beberapa hal yang harus dipersiapkan saat isolasi mandiri adalah:

1. Mempersiapkan kontak dokter, fasilitas kesehatan, darurat (hotline), dan orang terdekat

2. Mempersiapkan fasilitas pokok dan pendukung isolasi:

obat-obatan dasar, masker, dan disinfektan ruangan terpisah dengan ventilasi cukup bantuan dari orang terdekat.

 


Panduan Isoman di Rumah Sesuai Protokol Kesehatan

1. Selalu memakai masker dan membuang masker bekas di tempat yang ditentukan.

2. Jika sakit (ada gejala demam, flu dan batuk), maka tetap di rumah. Jangan pergi bekerja, sekolah, ke pasar atau ke ruang publik untuk mencegah penularan masyarakat.

3. Manfaatkan fasilitas telemedicine atau sosial media kesehatan dan hindari transportasi publik. Beritahu dokter dan perawat tentang keluhan dan gejala, serta riwayat bekerja ke daerah terjangkit atau kontak dengan pasien COVID-19.

4. Selama di rumah, bisa bekerja di rumah. Gunakan kamar terpisah dari anggota keluarga lainnya, dan jaga jarak 1 meter dari anggota keluarga.

5. Tentukan pengecekan suhu harian, amati batuk dan sesak napas. Hindari pemakaian bersama peralatan makan dan mandi dan tempat tidur.

6. Terapkan perilaku hidup sehat dan bersih, serta konsumsi makanan bergizi, mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir dan lakukan etika batuk dan bersin.

7. Jaga kebersihan dan kesehatan rumah dengan cairan desinfektan. Selalu berada di ruang terbuka dan berjemur di bawah sinar matahari setiap pagi (±15-30 menit)

8. Hubungi segera fasilitas pelayanan kesehatan jika sakit berlanjut seperti sesak napas dan demam tinggi, untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut.


Tips Olahraga Saat Isoman

Meski sedang melakukan isolasi mandiri, pasien COVID-19 juga harus tetap aktif menggerakkan badan. Rumah Sakit EMC Sentul pun membagikan beberapa gerakan mudah yang bisa dilakukan seseorang saat sedang menjalani isolasi mandiri.

Latihan fisik sederhana ini juga bisa menjaga kesehatan mental, dengan membuat pasien COVID-19 lebih rileks, tidak stres, dan tidak panik.

"Tujuan latihan ini adalah untuk memertahankan fungsi paru-paru, mencegah penumpukan lendir di saluran napas, dan mencegah imobilisasi dikarenakan kurang bergeraknya pasien yaitu berupa kelemahan otot-otot tubuh," kata Dokter Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitas RS EMC Sentul, Novaria Puspita.

"Latihan ini dapat dilakukan apabila Anda tidak memiliki gejala demam dalam dua hari terakhir, nyeri dada atau napas pendek atau bernapas terasa tersengal-sengal, jantung terasa berdebar-debar, terdapat bengkak di kaki," Novaria menambahkan.

Novaria, menambahkan, gerakan ini dapat dilakukan dua kali dalam sehari yaitu di pagi dan sore hari.

1. Untuk posisi yang dianjurkan, pasien bisa duduk tegak di tepi tempat tidur, duduk 45 hingga 70 derajat di tempat tidur, serta duduk memeluk bantal, dan tidur tengkurap.

2. Pasien kemudian dapat melakukan latihan pernapasan dengan meletakkan tangan di perut dan dada, lalu tarik napas perlahan, keluarkan melalui mulut dan bernapaslah senyaman mungkin, secara pelan dan rileks sambil menutup mata.

3. Lakukan latihan berupa menarik napas dari hidung, tahan dua detik, lalu embuskan perlahan melalui mulut. Ulangi delapan hingga sepuluh kali hitungan.

4. Latihan berikutnya adalah latihan gerak sendi aktif. Di sini, pasien dapat menggerakkan semua anggota tubuh dimulai dari kepala, tangan, dan kaki, lalu mengulanginya 2x8 hitungan.

5. Lanjutkan dengan berjalan di sekitar tempat tidur. Lakukanlah dengan sering untuk menghindari berbaring lama di tempat tidur.

6. Lakukan pemijatan pada otot-otot pernapasan. Di sini, pasien dapat memijat bagian dada dan perut bagian samping, serta bahu baik kanan maupun kiri. Ulangi gerakan memijat ini sebanyak 5x3 hitungan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya