Termasuk Eksploitasi, Ada Lebih dari 800 Ribu Pekerja Anak Terjebak dalam BPTA di Indonesia

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) melaporkan ada lebih dari 800 ribu anak bekerja di sektor pertanian.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 28 Jun 2021, 15:00 WIB
Seorang anak berdiri di depan tumpukan batu bata di sebuah pabrik batu bata di pinggiran Kajhu, Provinsi Aceh (18/11/2020). (AFP/Chaideer Mahyuddin)

Liputan6.com, Jakarta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) melaporkan ada lebih dari 800 ribu anak yang menjalani bentuk pekerjaan terburuk bagi anak (BPTA).

Salah satu bentuk pekerjaan terburuk bagi anak adalah di sektor pertanian. Hal ini berkaitan erat dengan keadaan Indonesia sebagai negara agraris. Indonesia dikenal dengan sektor pertanian yang kuat dan sebagai produsen kakao terbesar ketiga di dunia.

Sebagai peringkat ketiga di dunia, sektor pertanian ini menghadapi tantangan berat karena menjadi sektor dengan penyumbang pekerja anak terbesar, utamanya bagi masyarakat pedesaan.

Survei angkatan kerja nasional (Sakernas) 2020 mencatat sekitar 9 dari 100 anak usia 10-17 tahun telah bekerja, di mana sebagian besar di sektor informal sebesar 88,77 persen dan 3 dari 4 anak yang bekerja merupakan pekerja yang tidak dibayar atau pekerja keluarga.

Lebih rinci, berdasarkan data penilaian pekerja anak di Indonesia dalam sektor pertanian dan rekomendasi untuk Modelez International di tahun yang sama menyebutkan terdapat lebih dari 4 juta pekerja anak di Indonesia dan 20,7 persen di antaranya terjebak menjalani BPTA.

Simak Video Berikut Ini


Perlindungan Anak Perlu Diperkuat

Menurut Menteri PPPA, Bintang Puspayoga, meningkatnya kasus eksploitasi dan kekerasan terhadap anak, termasuk di dalamnya BPTA, menjadi indikasi bahwa sistem perlindungan terhadap anak masih perlu diperkuat.

Penguatan sistem perlindungan anak dibutuhkan agar terjadi perubahan norma sosial yang melindungi, meningkatkan partisipasi, dan mengembangkan kecakapan hidup anak, serta melibatkan masyarakat dalam monitoring dan penanganan pekerja anak yang komprehensif.

Masalah kekerasan terhadap anak ini juga terjadi pada masyarakat petani, sebagian besar dipengaruhi oleh kemiskinan, pendidikan yang rendah, dan ekosistem layanan perlindungan anak yang tidak memadai.


Upaya Berbagai Pihak

Melihat maraknya eksploitasi anak, banyak pihak telah bergerak, di antaranya masyarakat pentahelix sesuai dengan kewenangan dan kapasitas yang dimiliki.

Pemerintah Indonesia melalui kebijakan Zona Bebas Pekerja Anak telah menggandeng pemerintah daerah, dunia usaha, akademisi, masyarakat dan media untuk mewujudkan Indonesia Bebas Pekerja Anak pada 2022.

Sistem pembangunan yang menjamin pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak melalui skema Kota/Kabupaten Layak Anak (KLA) diterapkan sejak 2006, hingga saat ini sudah 435 kabupaten/kota mendeklarasikan diri menuju KLA, yang diperkuat dengan implementasi di tingkat hulu melalui Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA) di mana penanganan pekerja anak menjadi salah satu indikator yang dievaluasi.

“Penghapusan pekerja anak di Indonesia merupakan salah satu dari lima arahan prioritas Presiden Joko Widodo kepada KemenPPPA. Untuk itu kami menargetkan jumlah pekerja anak usia 10-17 tahun yang bekerja, bisa terus kita turunkan angkanya sampai serendah-rendahnya," kata Bintang dalam keterangan pers ditulis Sabtu (26/6/2021).


Infografis Eksploitasi Seksual Anak

Infografis eksploitasi seksual anak (Liputan6.com/Triyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya