Liputan6.com, Jakarta - Gempa bumi dahsyat di Padang Panjang 95 tahun silam, tepatnya 28 Juni 1926, memberikan kenangan sejarah bencana yang kelam di Tanah Air. Lebih dari 354 orang meninggal dunia.
Gempa dengan kekuatan magnitudo 7,6 itu terjadi di sekitar Danau Singkarak, Bukit Tinggi, Danau Maninjau, Padang Panjang, Kabupaten Solok, Sawah Lunto, dan Alahan Panjang.
Advertisement
Pusat gempa berada di Danau Singkarak, Solok. Namun orang menyebutnya dengan gempa Padang Panjang. Sebab di Kota Padang Panjang sangat banyak korban berjatuhan. Bangunan runtuh, bahkan rel kereta api rusak karena gempa itu.
Di Kabupaten Agam yakni Bukit Tinggi-Bonjol, tercatat 472 rumah roboh di 25 lokasi, 57 orang tewas, dan 16 orang luka berat. Di Padang Panjang, sebanyak 2.383 rumah roboh dan 247 orang tewas.
"Ribuan rumah runtuh dan terjadi rekahan tanah di daerah Padang Panjang, Kubu Kerambil dan Simabur," kata Fungsional Ahli BMKG Stasiun Geofisika Padang Panjang, Tri Ubaya, Minggu (28/6/2020).
Dari dahsyatnya gempa yang dikenal dengan sebutan gempa Padang Panjang ini, kata Tri Ubaya, tidak banyak yang tahu bahwa peristiwa itu menyebabkan tsunami di Danau Singkarak.
Dari catatan Soteadi pada 1962, gelombang tsunami ini disebabkan oleh penurunan permukaan tanah di bagian selatan Danau Singkarak. Di beberapa tempat, penurunan permukaan tanah bisa mencapai 10 meter.
Penurunan secara tiba-tiba tersebut menyebabkan gelombang tsunami, menjalar dari bagian selatan danau menuju utara danau yang ditempuh dalam waktu 10 menit.
Jika diperkirakan jarak yang ditempuh tsunami dari bagian selatan danau menuju bagian utara danau adalah 20.57 kilometer, maka kecepatan tsunami di Danau Singkarak kala itu diperkirakan mencapai 122 kilometer per jam.
Dalam surat kabar Harian Soeara Kota Gedang 7 Juli 1926 tertulis, air danau tumpah membanjiri wilayah sekitar danau dan menimbulkan korban jiwa.
Tidak diketahui berapa ketinggian maksimum dan luasan wilayah terdampak yang disebabkan oleh gelombang tsunami ini. Sebab ketika itu ilmu kegempaan dan tsunami belum sehebat sekarang.
"Tsunami yang terjadi di Danau Singkarak ini membuka wawasan kita, bahwa ancaman tsunami tidak saja berasal dari perairan luas seperti lautan, namun bisa juga berasal dari perairan sempit," kata Tri Ubaya.
Dalam 100 tahun terakhir, setidaknya telah terdokumentasikan dua kali tsunami di Danau Singkarak. Yang pertama tercatat 28 Juni 1926, dan yang kedua pada 6 Maret 2007.
"Pada 2007 itu terjadi tsunami kecil," Tri mengungkapkan.
Imbas gempa dahsyat itu juga menyasar ke ikon Bukittinggi, Jam Gadang. Berdasarkan Majalah Tempo berjudul 'Jam Gadang, Akan Dikomersilkan' edisi 12 Mei 1979, jam besar dengan fondasi 8x6 meter yang dibangun pada 1925 itu pun turut bergoyang hebat dan miring 30 derajat.
Gempa pertama melanda pada pukul 10.23 WIB. Tanah berguncang. Orang-orang terhenyak. Panik merayap, lalu meledak tatkala 25 menit kemudian guncangan lebih besar menderu, membuat seisi nagari berderak. Batusangkar, Padang Panjang, dan Solok, kota di Sumatera Barat, runtuh ke bumi. Getaran menjalar hingga Semenanjung Melayu.
Dikutip dari Majalah Tempo berjudul 'Petaka di Tanah Sumatera' edisi 12 Maret 2007, di Singapura, warga kota menghambur turun dari pencakar langit. Di Solok dan sekitarnya, tempat titik gempa berawal, ribuan rumah hancur, ratusan warga terluka. Sedikitnya 72 nyawa melayang.
Trauma akibat tsunami, ratusan ribu manusia bersicepat meninggalkan kota, khawatir pada maut yang mengintip di balik bahu mereka.
"Saya pikir dunia sudah kiamat," kata Hasbullah, seorang warga di Pekanbaru, Riau.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Memicu Gelombang Berdiri
Sepanjang siang doa serupa tak putus dipanjatkan oleh keluarga yang tercerai-berai, anak yang kehilangan ibu, dan orang tua yang ditinggalkan buah hatinya. Yang selamat memandangi puing rumahnya dengan nanar dari tenda-tenda yang ditegakkan seadanya di pinggir jalan.
Kondisi serupa digambarkan jurnalis senior Muhamad Radjab lewat otobiografinya berjudul 'Semasa Kecil di Kampung' terbitan 1950. Warga di kampungnya menganggap gempa bumi Padang Panjang sebagai penanda kiamat. Atas bencana itu, warga di kampung Radjab pun seolah melangsungkan tobat massal.
Berdasarkan artikel Kompas.com berjudul Gempa Padang Panjang Kemarin Malam, Ingatkan Fenomena Kelam 1926 edisi Rabu 1 Juli 2020, gempa dengan kekuatan 7,6 skala Richter itu juga dipicu oleh aktivitas sesar aktif tepatnya pada Segmen Sianok.
Kepala Bidang Mitigasi dan Gempabumi BMKG Daryono, mengatakan, setelah tiga jam usai gempa utama (mainshock), muncul gempa susulan (aftershock) yang juga mengakibatkan kerusakan di sekitar Danau Singkarak.
Akibat dari kekuatan guncangan tanah saat itu, gempa juga memicu terjadinya Seiche di Danau Singkarak. Seiche adalah gelombang berdiri di mana osilasi vertikal terbesar ada di setiap ujung badan air dengan osilasi yang sangat kecil di tengah gelombang.
Gelombang berdiri itu dapat terbentuk di badan air tertutup atau semi tertutup, dari danau besar hingga pada secangkir kopi kecil.
Seiche pada air danau umumnya terjadi saat gempa kuat, hingga memicu terjadinya limpasan air danau yang kemudian tumpah ke dataran. Fenomena Seiche pada gempa bumi 28 Juni 1926 konon cukup dahsyat hingga merusak beberapa bangunan di sekitar Danau Singkarak.
"Sekilas mirip tsunami. Kalau tsunami disebabkan oleh gangguan deformasi secara tiba-tiba di dasar air laut atau danau akibat gempa atau longsoran, seiche diakibatkan karena wadah air atau danaunya yang berguncang kuat," jelas Daryono.
Masyarakat perlu mengetahui bahwa gempa tektonik memiliki periode ulang. Berdasarkan teori, gempa kuat dapat berulang kembali pada sumber gempa yang sama.
"Jika sumber gempanya kredibel, semakin lama periodisitasnya maka gempa yang terjadi akan semakin besar," kata Daryono.
Akankah fenomena tsunami danau ini dapat terulang di masa depan?
Fungsional Ahli BMKG Stasiun Geofisika Padang Panjang, Tri Ubaya, mengatakan tidak ada yang bisa mengetahui kapan tsunami terjadi.
Tetapi jangan lupa bahwa gempa besar akan mengalami perulangan atau periode ulang. Daerah yang pernah mengalami gempa besar pada masa lalu akan ada kemungkinan kembali digoncang gempa pada masa yang akan datang.
Potensi itu yang terus dikaji oleh BMKG, yang lantas mempersiapkan mitigasi, mengedukasi masyarakat, serta memanfatkan sumberdaya dengan bijak.
Advertisement