Liputan6.com, Jakarta Dalam tempo kurang dari satu bulan, Kejaksaan Agung (Kajagung) berhasil membawa dua buronan kelas kakap ke Indonesia. Keduanya adalah Adelin Lis yang merupakan buronan dalam kasus pembalakan liar lebih dari 10 tahun. Serta Hendra Subrata alias Anyi, seorang buronan yang telah divonis bersalah melakukan pidana percobaan pembunuhan terhadap Herwanto Wibowo.
Aksi trengginas ini menuai pujian dari sejumlah pihak. Namun, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi (MAKI), Boyamin Saiman memiliki pandangan berbeda. Ia berpendapat hal itu bukanlah sebuah prestasi Kejagung. Pasalnya, ia melihat dalam pemulangan tersebut, dua terpidana itu sebelumnya telah ketahuan menggunakan paspor palsu oleh otoritas di Singapura.
Advertisement
"Nah kemudian dibuat glorifikasi seakan-akan kegemilangan dari sebuah usaha, yaitu seakan-akan dijemput. Bahkan mau pakai carter pesawat tapi oleh Singapura gak boleh, sehingga pakai Garuda yang seakan-akan dicarter," kata Boyamin saat dihubungi Liputan6.com, Minggu (27/6/2021).
Boyamin menilai proses deportasi itu merupakan hal biasa, namun oleh Kejagung dibuat seakan-akan sebuah prestasi besar. Ia curiga bahwa hal itu dilakukan demi mengaburkan pandangan publik terhadap korting kurungan mantan jaksa Pinangki.
"Jadi ini satu rangkaian loh ya. Jadi ini justru dipakai untuk menutup kasus Pinangki sehingga masyarakat nanti jadi beralih ke seakan-akan Kejaksaan Agung berhasil memulangkan buron. Ini bukan memulangkan, karena ini proses yang hanya menerima," papar dia.
Melihat gelagat dari Kejagung, Boyamin justru memandang bahwa lembaga itu justru seakan-akan hendak mengecilkan kasus Pinangki. Hal ini tampak dari lambannya Kejagung untuk memutuskan apakah mengambil kasasi atau tidak dalam putusan Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta yang menyunat masa tahanan Pinangki.
"Justru ini berusaha kasus Pinangki itu direduksi, dikecilkan supaya tidak ramai. Dengan cara mengatakan bahwa tidak kasisi masalnya atau sengaja tidak menjawab dengan tegas kasasi atau tidak kasasi. Diulur-ulur dengan alasan berkas belum diterima," katanya.
Menurut Boyamin, alasan itu dipakai supaya masyarakat lupa dengan kasus tersebut, maka kendati pun Kejagung memilih tidak kasasi, namun tak akan ada keriuhan di tengah publik. Muara akhirnya, Boyamin menduga supaya dalang dibalik Pinangki tak terungkap.
"Maka dari itu ini harus didorong betul supaya Kejaksaan Agung kasasi dalam kasus ini. Karena kalau tidak, maka akan banyak yang tertutup dan menghilangkan king maker," jelasnya.
Menurut Boyamin, Kejagung mempunyai waktu 14 hari sejak pemberitahuan dari pengadilan untuk memutuskan kasasi atau tidak terhadap putusan tersebut.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Korting Hukuman Pinangki
Pinangki Sirna Malasari, mantan jaksa di Kejaksaan Agung (Kejagung) mendapat potongan vonis dari Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta. Pinangki divonis hukuman 10 tahun penjara. Namun, hakim memotong hukumannya menjadi 4 tahun penjara.
"Mengubah Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 8 Februari 2021 Nomor 38/Pid.Sus-TPK/2020/PN Jkt.Pst yang dimintakan banding tersebut sekedar mengenai pidana penjara yang dijatuhkan terhadap terdakwa," demikian bunyi putusan PT DKI tersebut dikutip Senin, 14 Juni 2021.
Majelis hakim dalam persidangan menyatakan, Pinangki terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi, pencucian uang, dan pemufakatan jahat terkait kasus korupsi Djoko Soegiarto Tjandra. Selanjutnya, Pengadilan Tinggi menyunat vonis Pinangki dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara.
Dalam situs resmi PT DKI Jakarta yang dilihat dari laman Mahkamah Agung (MA), majelis hakim tingkat banding menyebut putusan 10 tahun yang dijatuhkan Pengadilan Tipikor terhadap Pinangki terlalu berat.
Pada putusannya, majelis hakim banding menyebut Pinangki mengaku bersalah dan mengatakan menyesali perbuatannya serta telah mengikhlaskan dipecat dari profesinya sebagai jaksa.
"Oleh karena itu, dia masih dapat diharapkan akan berprilaku sebagai warga masyarakat yang baik," demikian dikutip.
Putusan untuk Pinangki diketuk oleh ketua majelis Muhammad Yusuf dengan anggota Haryono, Singgih Budi Prakoso, Lafat Akbar, dan Reny Halida Ilham Malik.
"Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangi seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Memerintahkan terdakwa tetap ditahan," bunyi putusan.
Advertisement
Belum Putuskan Kasasi
Sampai saat ini Kejagung belum memutuskan untuk mengajukan kasasi atas putusan banding terdakwa Pinangki Sirna Malasari di Pengadilan Tinggi Jakarta yang memotong masa penahanan dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAMPidsus) Kejagung, Ali Mukartono, mengatakan hingga kini pihaknya belum menerima salinan putusan banding Pinangki Sirna Malasari dari Pengadilan Tinggi Jakarta.
"Belum terima (salinan)," kata Ali dikutip dari Antara, Rabu (23/6/2021).
Ali mengatakan jaksa penuntut umum akan mempelajari terlebih dahulu putusan majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI sebelum mengambil keputusan apakah akan mengambil langkah hukum kasasi atau tidak.
Sejak putusan banding dibacakan Senin (14/6/2021), JPU pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat maupun Kejagung masih menunggu salinan putusan dari Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Sepekan setelah banding Pinangki dikabulkan, Ali menyatakan, pihaknya masih belum menerima salinan putusan dari Pengadilan Tinggi Jakarta.
Ali lantas mempertanyakan kepada awak media kenapa selalu mengejar pemberitaan soal Pinangki. Menurut Ali, tersangka dalam kasus tersebut ada banyak, sehingga tidak harus berfokus pada Pinangki seorang.
"Kenapa sih yang dikejar-kejar Pinangki, tersangka terkait itu ada banyak," ujarnya.
Ali lantas menjawab bahwa yang membuat berita terkait Pinangki bergejolak adalah para media atau wartawan.
"Yang menggejolakkan diri siapa, sampean-sampean kan (wartawan)," kata Ali.
Menurut Ali, kasus Pinangki berbeda dengan perkara lainnya. Selain Pinangki, dalam perkara tersebut juga ada tersangka lainnya yang perlu diperhatikan.
Ia menyebutkan, putusan pengadilan sudah jelas, dan pihaknya menghormati apa yang menjadi keputusan hakim.
"Sudah jelas putusan pengadilan, iya kan. Tersangka kita tunggu yang lain, masih banyak tersangka, itu satu kesatuan," kata Ali.
Ali juga menyinggung dalam perkara Pinangki negara mendapatkan mobil. Sedangkan tersangka lain kesulitan untuk dilacaknya. "Malah dari Pinangki, negara dapat mobil. Yang lain kan susah ngelacaknya itu," kata Ali.
Mobil yang dimaksudkan Ali, yakni mobil BMW X-5 yang dirampas hakim untuk dikembalikan kepada negara karena diduga hasil korupsi.