Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan, reformasi perpajakan perlu diterapkan untuk mengurangi tax gap Indonesia ke level normal.
Pada tahun 2019, tercatat tax gap Indonesia mencapai 8,5 persen, lebih tinggi dibanding tahun 2018 yang mencapai 8,08 persen.
Advertisement
"Normalnya negara lain tax gapnya adalah sekitar 3,6 persen, dilihat dari Indonesia, dari sisi kemampuan kita meng-collect perpajakan kita, sebetulnya terdapat potensi tax gap yang harus kita kurangi sebesar mendekati 5 persen dari GDP," ujar Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI dan Menkumham, Senin (28/6/2021).
Lanjutnya, dalam sistem perpajakan, terdapat potensi kepatuhan hingga 100 persen, alias semua masyarakat membayar. Kendati, tax gap akan selalu timbul sekecil apapun.
Di beberapa negara maju, terdapat tax gap dengan kisaran 10 persen hingga 20 persen dari potensi. Misalnya, PPh Amerika Serikat 16,2 persen, PPh Australia 12,2 persen dan PPN median EU 10,1 persen.
"Reformasi perpajakan aspek kebijakan dan administrasi akan meningkatkan kepatuhan dan pengumpulan pajak sehingga mengurangi tax gap menuju normal," jelas Sri Mulyani.
Sebagai informasi, Tax Gap Wajib merupakan selisih antara jumlah pajak yang menjadi kewajiban wajib pajak pada suatu kurun waktu tertentu (misal tahun pajak) dengan pajak yang dia sudah bayarkan ke kas negara.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Sri Mulyani Blak-blakan soal Reformasi Pajak, Ternyata Ini Tujuannya
Menteri Keuangan Sri Mulyani membeberkan urgensi reformasi perpajakan untuk menuju pajak yang adil, sehat, efektif dan akuntabel.
Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI dan Menteri Hukum dan HAM, Senin (28/6/2021), Sri Mulyani menyebutkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dihasilkan dari basis pajak yang kuat dan merata.
"Kita juga berkepentingan untuk terus menjaga instrumen APBN sebagai instrumen yang sehat dan berkelanjutan, di mana penerimaan negara diupayakan selalu memadai sehingga menciptakan kapasitas fiskal yang memadai juga," ujar Sri Mulyani.
Lanjutnya, APBN yang sehat juga harus rendah risiko dan memiliki rasio utang yang terjaga. Dengan begitu, APBN yang sehat akan mendorong investasi dan penciptaan lapangan kerja serta kemudahan berusaha, yang berujung pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Reformasi pajak sendiri terdiri atas 2 bagian, yaitu reformasi kebijakan dan reformasi administrasi. Dalam reformasi kebijakan, yang dilakukan ialah memperluas basis pajak, menjawab tantangan competitiveness, insentif yang terukur, efisien dan adaptif serta fokus pada sektor bernilai tambah tinggi dan menyerap tenaga kerja.
"Lalu reformasi kebijakan juga harus mengurangi distorsi dan exemption berlebihan dan memperbaiki progretivitas pajak," ujarnya.
Sementara dari sisi reformasi administrasi, perlaksanaannya harus simpel dan efisien, menjamin kepastian hukum perpajakan, data dan informasi dikelola secara optimal, melakukan adaptasi terhadap perkembangan struktur ekonomi, mengikuti tren dan best practices secara global dan meningkatkan kepatuhan pajak.
Advertisement
Jurus Sri Mulyani Genjot Reformasi Perpajakan di Tengah Pandemi
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, reformasi perpajakan menjadi hal yang sangat penting di tengah pandemi covid-19. Sebab, Indonesia harus segera memulihkan kembali defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) karena pemerintah menggunakan APBN untuk menstimulasi perekonomian selama pandemi.
Kementerian Keuangan mencatat, realisasi penerimaan pungutan negara hingga Oktober 2020 minus 18,8 persen atau sebesar Rp826,9 triliun. Padahal, pajak masih menjadi kontribusi paling besar dalam penerimaan negara.
"Reformasi perpajakan menjadi penting karena seluruh kebutuhan untuk membangun pondasi ekonomi Indonesia seharusnya berasal dari penerimaan negara sendiri, terutama dari pajak," ujar Sri Mulyani dalam acara Pandemi dan Keberlanjutan Reformasi Pajak, ditulis Rabu (9/12).
Dia menegaskan, pemulihan ekonomi akan berjalan dengan kembali mengumpulkan penerimaan negara yaitu melalui pajak. Berbagai langkah telah dilakukan mulai dari memberi pelayanan hingga menghindari terjadinya tax avoidance.
Selain fokus pada penerimaan pajak dari sektor pertambangan dan komoditas alam lainnya, pemerintah kini tengah memperluas sektor-sektor yang sedang digandrungi oleh investor.
"Kini pemerintah juga bisa memungut pajak digital. Kami masih akan berikhtiar secara global, agar rezim perpajakan digital bisa disepakati tidak hanya di dalam forum G20, namun di dalam forum global," ujarnya.