Said Abdullah Sebut Utang Pemerintah Masih dalam Batas Aman

Angka utang Pemerintah disebutnya masih dalam posisi aman atau jauh dari batas atas yang digariskan oleh Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yaitu sebesar 60% Produk Domestik Bruto (PDB).

oleh stella maris diperbarui 28 Jun 2021, 18:54 WIB
Utang Pemerintah (Liputan6.com/Triyasni)

Liputan6.com, Jakarta Fakta bahwa Pemerintah Indonesia memiliki utang yang cukup besar. Berkaitan dengan hal tersebut, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI MH Said Abdullah mengatakan meningkatnya utang Pemerintah tidak perlu direspon secara berlebihan apalagi panik.

Itu karena angka utang dinilainya masih dalam posisi aman atau jauh dari batas atas yang digariskan oleh Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yaitu sebesar 60% Produk Domestik Bruto (PDB).

"Saya kira Pemerintah di manapun tidak akan mau terbelit utang dan mewariskan utang kepada generasi berikutnya hingga menjadi beban yang tidak tertanggungkan," ujar Said, Senin (28/6).

Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester 1 tahun 2020, khususnya yang menyangkut utang pemerintah menyebutkan adanya kerentanan terhadap rasio utang terhadap penerimaan dan rasio pembayaran bunga utang terhadap penerimaan.

Kerentanan itu dipandang oleh BPK telah melampaui batas terbaik yang direkomendasikan oleh lembaga internasional.

Namun, ujar Said, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah membuat ketentuan mitigatif, melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 17/KMK.08/2020 tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara Jangka Menengah Tahun 2020-2024.

Beleid inilah yang dirujuk oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan dalam menjalankan kebijakan utang pemerintah. Karena itu, kata Said, posisi utang Indonesia ini tidak perlu panik.

Said justru menilai, pernyataan BPK dalam Rapat Paripurna DPR RI soal utang ini baik, tetapi kurang bijak dalam ikut serta mendorong situasi kondusif dan kerja sama antar lembaga disaat bangsa dan negara menghadap krisis kesehatan dan kontraksi ekonomi. Sikap ini jauh dari kepatutan dan tidak menjadi teladan yang baik rakyat yang sedang sudah menghadapi pandemi.

"Pernyataan BPK ini bajik walau kurang bijak," tegas Said yang juga politisi PDI-Perjuangan sambil menyatakan harapannya agar antar lembaga dan kementerian tidak saling 'menyerang' di muka umum.

Sebab, lanjut Said, itulah yang dibutuhkan dalam menanggulangi pandemi Covid-19 dan dampak sosial ekonominya yaitu semangat gotong royong. Apalagi, imbuh Said, BPK adalah lembaga negara.

Dengan demikian, sebagai lembaga tinggi negara yang kedudukannya diatur kuat oleh UUD 1945 dan UU Nomor 6 tahun 2006 maka segala tugas dan fungsi serta tindakannya harus mengacu pada ketentuan perundang-undangan dan produk turunannya.

"Bila ada pertimbangan lain di luar UU, maka bukanlah yang utama dan bukan menjadi acuan BPK menyatakan pendapat untuk dijadikan landasan dalam menilai kinerja subyek pemeriksaan," terangnya.

BPK, jelas Anggota Komisi XI DPR RI ini, akan lebih bijak bila menemukan berbagai praktik internasional yang baik dalam tata kelola utang pemerintah.

"Lebih bijak bila BPK menjadikannya sebagai rekomendasi tambahan yang sifatnya saran kepada pemerintah. Sebab yang utama dari rekomendasi BPK yang bersifat mengikat adalah ketentuan perundang-undangan," sarannya.

Said mengatakan profil utang pemerintah dengan mengacu data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) Kemenkeu menunjukkan risiko valas yang menunjukkan tren penurunan.

Dari total utang pemerintah pada tahun 2019 sebesar Rp4.778 triliun, sebesar Rp1.808,9 triliun (37,8 persen) dalam bentuk valas. Pada tahun 2020 porsi valas naik ke level Rp2.037 triliun (33,5 persen) dari total utang Rp6.074,6 triliun.

Kondisi ini dinilai Said masih dalam koridor Keputusan Menteri Keuangan Nomor 17/KMK.08/2020 yang menetapkan porsi utang pemerintah dalam komposisi valas maksimal 41 persen.

Demikian juga Rata-Rata Tertimbang Jatuh Tempo atau Average Time to Maturity (ATM) utang pemerintah menunjukkan tren penurunan. Setidaknya pada rentang 2016-2020 ATM menunjukan angka di bawah sembilan tahun.

Posisi ini menunjukkan indikator manajemen utang terkelola dengan baik. ATM utang pemerintah pada tahun 2016 di angka 9.1, 2017 di angka 8.7, lalu pada 2018 di angka 8.4 tahun, 2019 di angka 8.5, dan pada 2020 di angka 8.8 tahun. Data ini menjelaskan manajemen penerbitan, penjualan, dan jatuh tempo utang pemerintah dijalankan dengan tata kelola yang baik.

Bahkan, lanjut wakil rakyat dari dapil Jawa Timur XI itu, untuk mengurangi ketergantungan terhadap pembiayaan dari utang, pemerintah telah menempuh langkah kreatif menggunakan berbagai strategi.

Berbagai skema proyek tidak harus bergantung pada APBN. Pendirian Lembaga Pengelola Investasi (LPI) ditujukan untuk mengurangi ketergantungan pembiayaan program pemerintah dari sumber utang, termasuk juga skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) dan swasta murni.

Skema lainnya menuntut kinerja BUMN baik agar deviden BUMN memberikan kontribusi besar terhadap pendapatan negara. Pemerintah juga telah mengajukan usulan revisi UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) kepada DPR. Diharapkan ada kompatibilitas antara postur ekonomi nasional dengan sistem perpajakan nasional.

Dampaknya rasio pajak akan meningkat, kompatibel dengan peningkatan perekonomian nasional. Langkah ini sebagai jalan untuk mengurangi gap dan ketertinggalan antara rasio pajak terhadap PDB dengan rasio utang terhadap PDB.

"Sehingga Debt to Income Ratio (DTI) kita makin kuat," jelas Said.

 

(*)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya