Bursa Saham Asia Lesu Abaikan Penguatan Wall Street

Bursa saham Asia melemah pada perdagangan saham Selasa, 29 Juni 2021. Hal ini berlawanan dengan wall street.

oleh Dian Tami Kosasih diperbarui 29 Jun 2021, 09:22 WIB
Seorang wanita berjalan melewati layar monitor yang menunjukkan indeks bursa saham Nikkei 225 Jepang dan lainnya di sebuah perusahaan sekuritas di Tokyo, Senin (10/2/2020). Pasar saham Asia turun pada Senin setelah China melaporkan kenaikan dalam kasus wabah virus corona. (AP Photo/Eugene Hoshiko)

Liputan6.com, Jakarta - Bursa saham Asia Pasifik melemah pada perdagangan saham Selasa pagi (29/6/2021). Hal ini berlawanan dengan bursa saham Amerika Serikat (AS) atau wall street yang bervariasi dengan indeks S&P 500 dan Nasdaq mencetak rekor tertinggi.

Di Jepang, indeks saham Nikkei turun 1,03 persen pada awal perdagangan, sementara itu indeks topix melemah 1,11 persen, dan indeks saham Korea Selatan Kospi turun 0,17 persen.

Di Australia, indeks saham ASX 200 merosot 0,31 persen. Indeks saham MSCI Asia Pasifik di luar Jepang turun 0,06 persen. Demikian dikutip dari laman CNBC, Selasa (29/6/2021).

Sementara itu, di wall street, indeks saham S&P 500 menguat 0,23 persen ke posisi tertinggi 4.290,61. Investor juga mencermati saham teknologi di Asia Pasifik setelah indeks Nasdaq menguat 0,98 persen ke posisi 14.500,51. Indeks Dow Jones melemah 150,57 poin ke posisi 34.283,27.

Indeks dolar Amerika Serikat (AS) berada di posisi 91,87. Indeks dolar AS ini melemah dari posisi sebelumnya 92,1 pada awal bulan. Yen Jepang diperdagangkan di kisaran 110,54 per dolar AS.

Harga minyak melemah pada jam perdagangan di Asia. Harga minyak Brent berjangka melemah ke posisi USD 74,63 per barel. Harga minyak berjangka Amerika Serikat berada di kisaran USD 72,89 per barel.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini


Wall Street Beragam, Indeks S&P 500 dan Nasdaq Kembali Cetak Rekor

(Foto: Ilustrasi wall street, Dok Unsplash/Sophie Backes)

Sebelumnya, bursa saham Amerika Serikat (AS) atau wall street bervariasi pada perdagangan Senin, 28 Juni 2021. Wall street dibayangi sentimen Facebook yang menang dalam pengadilan dan mendorong saham teknologi menguat.

Pada penutupan perdagangan wall street, indeks S&P 500 naik 0,23 persen ke posisi 4.290,61. Indeks Nasdaq menanjak 0,98 persen ke posisi 14.500,51. Indeks Dow Jones melemah 150,57 poin menjadi 34.283,27 karena saham energi dan transportasi yang tertekan.

Sektor saham teknologi menjadi pendorong wall street pada awal pekan ini. Saham Apple dan Salesforce naik lebih dari satu persen. Saham Facebook melompat lebih dari empat persen setelah pengadilan federal AS menolak kasus antimonopoly terhadap perusahaan dari Komisi Perdagangan Federal. Sentimen itu mendorong kenaikan harga saham Facebook sehingga membentuk kapitalisasi pasar di atas USD 1 triliun.

Saham semikonduktor berada titik terang dengan Nvidia naik lima persen dan Broadcom menguat lebih dari dua persen.

Saham Boeing membebani indeks Dow Jones dengan turun lebih dari tiga persen. Hal ini setelah regulator mengatakan tidak mungkin menerima sertifikasi untuk pesawat jarak jauh hingga pertengahan akhir 2023. CEO Boeing Dave Calhoun memperkirakan sertifikasi pada kuartal IV 2023.

Kepala Investasi di Bryn Mawr Trust, Jeff Mills menuturkan, kekuatan baru-baru ini untuk teknologi dapat menjadi bagian dari berlanjutnya penurunan kinerja saham siklikal dari awal tahun.

"Saya pikir jika Anda melihat keuangan, yang merupakan contoh yang sangat bagus, saya pikir itu menjadi perdagangan yang ramai. Di sisi lain, Anda melihat Amazon, dan banyak grafik itu telah menyimpang selama enam bulan,” ujar dia dilansir dari CNBC, Selasa (29/6/2021).

Pergerakan wall street pada awal pekan juga didukung imbal hasil obligasi AS yang melemah. Imbal hasil obligasi AS bertenor 10 tahun melemah 1,48 persen.”Di tingkat sektor, imbal hasil menghasilkan kinerja lebih baik dari saham dengan hasil dividen tinggi seperti utilitas. Sementara keuangan tertinggal. Energi adalah sektor dengan kinerja terburuk karena perdagangan yang lebih luas ditunda,” tulis Chris Hussey dari Goldman Sachs dalam sebuah catatan kepada klien.

Selain kenaikan wall street juga didorong investor semakin yakin inflasi saat ini di Amerika Serikat bukan ancaman ekonomi yang berkelanjutan, tetapi kenaikan sementara. Indeks S&P 500 mencapai rekor tertinggi, sedangkan Nasdaq bertambah 2,35 persen dalam sepekan.

Kenaikan juga terjadi setelah Departemen Perdagangan melaporkan inflasi naik 3,4 persen pada Mei, dan merupakan kenaikan tercepat sejak awal 1990.

Lonjakan dalam indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi inti dapat membuat investor khawatir. Hal ini karena bank sentral AS atau the Federal Reserve suka mengawasi tanda-tanda inflasi. Namun, kenaikan month-over-month sebenarnya menekankan apa yang diperkirakan oleh para ekonom yang disurvei oleh Dow Jones dan memperkuat investor kalau inflasi cenderung bersifat sementara dan dapat dikelola.

Di sisi lain, kesepakatan infrastruktur bipartisan besar-besaran muncul direvitalisasi pada Minggu malam setelah Presiden AS Joe Biden klarifikasi dia tidak berencana untuk memveto undang-undang jika itu datang tanpa RUU rekonsialisais terpisah yang disukai oleh Partai Demokrat. Senator Republik kemudian mengatakan, kesekapatan tersebut dapat dilanjutkan.

“Perjanjian infrastruktur bipartisan yang disepakati di Washington DC tampaknya memiliki beberapa peluang untuk menjadi kenyataan,” tulis Kepala Strategi Investasi Oppenheimen Asset Management, John Stoltzfus.

Ia menambahkan, program ini dapat melayani pemerintah dalam jangka pendek dan panjang dalam menciptakan lapangan kerja, mendorong pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, menopang pendapatan perusahaan, serta meningkatkan kemampuan AS untuk bersaing dengan negara lain pada abad ke-21 yang masih relatif baru tetapi hiperkompetitif.

Pada pekan ini, investor juga akan mencermati laporan pekerjaan Juni yang akan rilis pada Jumat. Ekonom perkirakan data nonfarm payrolss meningkat menjadi 683.000 pada Juni.  Investor juga akan mempelajari laporan Juni untuk tanda-tanda inflasi upah karena pengusaha berjuang untuk menemukan pekerja yang dapat mengisi lowongan pekerjaan dan tunjangan pengganguran era pandemi COVID-19 berkurang di beberapa negara bagian.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya