Norwegia Atur Strategi untuk Serukan Hak Kebebasan Pers Dunia

Kebebasan berekspresi dan kebebasan pers kian hari makin mengkhawatirkan.

oleh Liputan6.com diperbarui 30 Jun 2021, 10:30 WIB
Tangkapan Layar Monitor di Seminar Virtual "Norway's New International Strategy on Freedom of Expression" Selasa (29/06/2021).

Liputan6.com, Oslo - Hak atas kebebasan berekspresi dan kebebasan pers seringkali mendapatkan tekanan di banyak negara, termasuk negara-negara di Eropa. Apalagi di tengah pandemi COVID-19, kondisi demokrasi terbilang semakin memburuk.

Pernyataan di atas merujuk pada kebijakan beberapa negara yang mulai membatasi kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. Mirisnya, bentuk pelanggaran dan penyerangan langsung seringkali dialami para jurnalis, rekan media, aktivitis HAM (Hak Asasi Manusia), seniman, dan lainnya.

Intinya, mereka dengan pemikiran kritis akan dibungkam dan jika melanggar mereka akan dituntut lalu dihukum. Selama beberapa tahun terakhir juga, hampir dua kali lebih banyak negara telah menjauh dari kata demokratis.

"Kebebasan berekspresi adalah salah satu hak terpenting yang kita miliki dalam masyarakat yang terbuka dan demokratis. Mendukung kebebasan berekspresi berarti membela hak semua individu untuk mengekspresikan pendapat mereka dan memberikan kesetaraan hak di berbagai lapisan masyarakat."

Kebebasan berekspresi juga merupakan prasyarat dalam perwujudan hak asasi manusia lainnya,” tegas Menteri Luar Negeri Norwegia, Ine Eriksen Søreide dalam pertemuan virtual "Freedom of Expression" pada Selasa 29 Juni 2021.

Pada pertemuan ini Eriksen mempresentasikan strategi baru Norwegia untuk mempromosikan kebebasan berekspresi dalam kebijakan luar negeri dan pembangunan.

Strategi tersebut menjadi prioritas utama dalam upaya internasional. Norwegia akan mempromosikan kebebasan berekspresi dan kebebasan pers, keragaman dan kemerdekaan. Strategi akan menjelaskan pula bagaimana cara Norwegia mempromosikan kebebasan berekspresi di PBB dan di organisasi regional. Dengan memberikan dukungan penuh kepada masyarakat sipil dan memperkuat diplomasi dengan pemerintah negara lain.

“Kebebasan pers dan keselamatan jurnalis akan terus menjadi prioritas bagi kami. Sebagaimana profesi wartawan dan ruang media yang acapkali mendapati banyak tekanan di berbagai negara, termasuk negara-negara di Eropa. Ditambah lagi meningkatnya penggunaan platform digital untuk berkomunikasi dan berbagi informasi. Sehingga menyebabkan peningkatan ancaman atau serangan terhadap para jurnalis," ujar Eriksen.

"Biasanya serangan ditargetkan terhadap jurnalis perempuan dan pekerja media melalui kekerasan online. Kekerasan dan pelecehan online ini tergolong perkara serius terhadap kebebasan pers dan kebebasan berekspresi serta ancaman bagi kesetaraan gender di media," imbuhnya.


Diskriminasi Terhadap Jurnalis Perempuan

Ilustrasi HAM (Gambar oleh kalhh dari Pixabay)

Menurut hasil diskusi UNESCO, kebebasan pers saat ini sungguh memprihatinkan, terutama bagi jurnalis perempuan. Kerap kali aksi kekerasan online berupa pelecehan verbal ataupun serangan fisik menimpa para jurnalis perempuan.

Beberapa faktor terjadi karena diskriminasi gender, kebencian terhadap wanita yang dikaitkan dengan rasisme, fanatisme agama, homofobia dan transfobia. Hampir tiga dari empat jurnalis perempuan pernah mengalami kejadian tersebut.

Teknologi yang bertransformasi menghadirkan sosial media dan plaform komunikasi lainnya. Tentu hal ini telah memberi kemudahan seluruh pihak. Mereka dapat mengakses informasi dan bergabung dalam diskusi publik.

Namun, tidak semua negara sudah terfasilitasi akses internet yang memadai. Misalnya saja pada negara berkembang dan negara miskin dengan jumlah sekitar setengah populasi saja yang memiliki akses ke internet.

Untuk itu, kita perlu memastikan bahwa setiap orang sudah memiliki akses ke internet dan keterampilan digital yang cukup. Langkah ini menjadi tujuan penting dari pembangunan yang inklusif dan demokratis.

Sebab kampanye disinformasi dan propaganda negatif akan memicu sikap intoleransi, kebencian serta merusak kepercayaan publik terhadap proses dan institusi demokrasi.

Oleh sebab itu, Norwegia akan bekerja untuk memperkuat kerja sama internasional antara pemerintah, perusahaan teknologi, masyarakat sipil, dan aliansi jurnalis untuk melindungi kebebasan berekspresi di platform digital dan saluran komunikasi lainnya.

Upaya ini termasuk mempromosikan transparansi dan akuntabilitas sehubungan dengan proses moderasi konten di platform media sosial dan gerakan lain untuk melawan disinformasi online, ujaran kebencian, kekerasan online dan penyensoran.


Pelaku Seni Juga Berhak Atas Kebebasan Berekspresi

Ilustrasi Jurnalis (Jennifer Beebe ?Pixabay).

Eratnya kerjasama antara media sosial dan layanan berita beserta pengecekan fakta yang akurat dapat memastikan bahwa publik memiliki akses berita dan informasi yang teraktual dan terpercaya.

Pemerintah setempat akan bertanggung jawab untuk menjaga kebebasan berekspresi dan akses ke informasi publik. Lantaran akses ke internet dan layanan digital sangat penting dalam situasi genting. Apalagi saat ini sulit bagi orang untuk berkumpul akibat pandemi COVID-19.

Meskipun demikian, pemerintah di banyak negara berusaha membatasi akses ke layanan digital dan media berita, dan menyalahgunakan undang-undang anti-terorisme dan undang-undang penistaan ​​agama untuk membatasi kebebasan berekspresi dan kebebasan pers.

Sensor negara dan moderasi konten di media sosial platform media juga berdampak pada kebebasan berekspresi bagi pelaku seni. Baik itu film, sastra, musik, tari, teater, dan seni visual lainnya.

Strategi ini menjadi sarana penting yang memungkinkan orang bisa mengekspresikan diri, nilai, dan gagasan mereka secara bebas. Lantaran para seniman dan pelaku budaya lainnya seringkali turun ke jalan demi melawan ketidakadilan dan penindasan.

"Kebebasan berekspresi artistik berada di bawah tekanan di seluruh penjuru. Ekspresi artistik harus tunduk terhadap batasan sensor. Seniman bersama praktisi budaya lainnya pernah mengalami penganiayaan, ditahan, dan dituntut karena mengkritik pihak berwenang."

"Mereka dilarang menyampaikan pendapat, keyakinan, atau budaya . Kami akan berusaha untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya kebebasan artistik dan bekerja untuk meningkatkan perlindungan bagi semua jenis seniman di seluruh dunia,” tutup Eriksen Søreide.

Kegiatan ini dihadiri oleh para pembicara Ine Eriksen Søreide selaku Menteri Luar Negeri Norwegia bersama Maria Ressa, seorang Jurnalis Investigasi sekaligus CEO Rappler. Kemudian ada Irene Khan, Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat. Ada juga Nancy Herz sebagai Pemimpin dari Forum Pemuda Norwegia untuk Kebebasan Berekspresi. Terakhir, Maina Kiai dari Anggota Dewan Pengawas, Direktur Human Rights Watch, Aliansi dan Kemitraan Global

Reporter: Bunga Ruth

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya