Special Content: Tembus Rp 6.000 Triliun, Masih Amankah Utang Pemerintah RI?

Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah di angka Rp6.418,15 triliun hingga akhir Mei 2021.

oleh Jonathan Pandapotan Purba diperbarui 09 Nov 2021, 14:06 WIB
Ilustrasi utang Indonesia (Liputan6.com / Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta - Utang pemerintah kembali jadi sorotan. Pasalnya, nilainya kini telah menembus angka Rp 6.000 triliun. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) khawatir pemerintah tak bisa membayar utang dan bunganya.

Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah di angka Rp 6.418,15 triliun hingga akhir Mei 2021. Nilai ini setara dengan 40,49 persen Produk Domestik Bruto (PDB). Nilai ini juga melonjak dari 2019 (30,2%) dan 2020 (39,4%)

Utang pemerintah didominasi Surat Berharga Negara (SBN) sebesar 86,94 persen dan pinjaman sebesar 13,06 persen. Secara rinci, utang dari SBN tercatat Rp5.580,02 triliun dan pinjaman Rp838,13 triliun.

"Tren penambahan utang pemerintah dan penambahan bunga melampaui pertumbuhan PDB dan penerimaan negara, sehingga memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang," kata Ketua BPK, Agung Firman Sampurna.

Utang Indonesia hingga Mei 2021 (Liputan6.com / Kementrian Keuangan)

Jumlah utang yang besar ini melebihi rekomendasi rasio utang dari International Debt Relief (IDR) dan International Moneter Fund (IMF). BPK juga melihat pandemi COVID-19 meningkatkan defisit, utang dan SILPA yang berdampak pada peningkatan risiko pengelolaan fiskal.

Secara rinci, BPK menyebutkan rasio utang Indonesia melampaui batas yang direkomendasikan IMF dan IDR, yaitu rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77 persen, melampaui rekomendasi IMF sebesar 25 hingga 35 persen.

"Meskipun rasio defisit dan utang terhadap PDB masih di bawah rasio yang ditetapkan dalam Perpres 72 dan Undang-Undang Keuangan Negara, tapi trennya menunjukkan adanya peningkatan yang perlu diwaspadai pemerintah," kata Agung.

Menurut Agung, rasio pembayaran bunga utang terhadap penerimaan negara juga mencapai 19,06 persen. Hal ini dianggap telah melampaui rekomendasi International Debt Relief (IDR) yang hanya sebesar 4,6 sampai dengan 6,8 persen. "Dan rekomendasi IMF sebesar 7 sampai dengan 10 persen," katanya.

Lapor ke Jokowi

BPK telah menyampaikan ulasan atas pelaksanaan kesinambungan fiskal dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2020 kepada Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jumat (25/6/2021).

Ulasan tersebut termasuk penilaian BPK terhadap tren penambahan utang pemerintah yang jumlahnya semakin membengkak. BPK khawatir pemerintah tidak bisa membayar seluruh utang tersebut.

Lebih lanjut, utang pemerintah juga belum memperhitungkan unsur kewajiban pemerintah yang timbul seperti kewajiban pensiun jangka panjang, kewajiban putusan hukum yang inkrah, kewajiban kontigensi dari BUMN dan lainnya.

"Indikator kesinambungan fiskal tahun 2020 sebesar 4,27 persen melampaui batas yang direkomendasikan The International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 5411 - Debt Indicator yaitu di bawah 0 persen," jelasnya.

Saksikan Video Berikut Ini


Bunga Tinggi

Ilustrasi bunga utang (iStockphoto)

Anggota Komisi XI DPR, Anis Byarwati, menilai utang pemerintah saat ini terlalu besar. Ia juga menyoroti kewajiban pemerintah membayar bunga utang di atas Rp 300 triliun per tahun.

"Jumlah bunga utang kita tinggi dan setara 19 persen pendapatan negara. Itu artinya uang pendapatan negara yang harusnya bisa dipakai biaya pendidikan, kesehatan, pembangunan, jadi tak bisa optimal karena 19 persennya sudah buat bayar bunga. Kalau misalnya utangnya tak sebesar itu, tentu alokasi pendapatan negara bisa digunakan untuk belanja yang lebih bermanfaat untuk masyarakat," kata Anis kepada Liputan6.com.

Ia khawatir generasi berikutnya akan mengalami kesulitan karena beban utang yang ditinggalkan pemerintah sekarang terlalu besar. Sebab, ada beberapa utang yang tenornya cukup panjang.

"Utang kita itu tenornya ada yang 10 tahun, 30 tahun, 50 tahun. Ada utang yang jatuh temponya tahun 2050. Mungkin kita sudah tidak ada saat itu, tapi bagaimana generasi berikutnya," dia menambahkan.

"Utang dalam bentuk surat berharga, pemerintah tiap tahun harus membayar bunganya, dianggarkan dari APBN. Sementara pendapatan kita tidak bagus-bagus amat, apalagi sekarang di masa pandemi kan pendapatan kita menurun jauh, pajak turun, semua turun, tapi pengeluaran naik terus, walaupun pengeluaran banyak yang tidak tepat sasaran."

Politisi Partai Keadilan Sejahtera itu meminta pemerintah untuk berhati-hati dalam mengelola utang. Jangan sampai utang yang ada saat ini terus membengkak. Pemerintah juga harus cari cara agar pendapatan negara bisa mengcover semua belanja negara.

Wanita lulusan Universitas Indonesia itu menyarankan pemerintah untuk melakukan tiga hal agar utang tak semakin membengkak. Pertama adalah belanja negara mesti dikelola dengan baik.

"Kita tahu bahwa utang itu meningkat, tapi di akhir tahun anggaran itu ada SILPA. SILPA-nya kan tinggi tiap tahun, kemaren itu dilaporkan SILPA sekitar Rp234 triliun. Ini artinya pengelolaan fiskal terkait utang kurang akurat. Defisit anggaran itu mesti dikurangi," ucap dia.

Langkah kedua, pemerintah harus melakukan penajaman alokasi anggaran. Belanja negara harus difokuskan pada penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi. "Belanja negara yang non infrastruktur, yang menghabiskan anggaran besar, sebaiknya ditunda dulu untuk mengurangi tekanan pada defisit fiskal."

Ketiga, pemerintah perlu memperbaiki realisasi anggaran. Sebab, anggaran yang tidak tepat sasaran saat ini masih cukup tinggi. "Bansos misalnya, banyak data yang tidak sinkron. Ada yang sudah meninggal dikasih, ada yang sama sekali belum dapat. Anggaran bansos dikritik terus, bahkan kemaren ada yang dikorupsi. Kemudian BPK juga bilang ada kebocoran UMKM Rp1,8 triliun. Ini memprihatinkan dan harus ada perbaikan," ucapnya.

Tak Perlu Panik

Ilustrasi (Credit: pexels.com/pixabay)

Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah, meminta kepada semua pihak agar tidak perlu merespons secara berlebihan, apalagi panik atas meningkatnya utang pemerintah.

Sebab, angka utang ini masih dalam posisi aman, jauh dari batas atas yang digariskan oleh Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yaitu sebesar 60 persen PDB.

“Saya kira pemerintah di manapun tidak akan mau terbelit utang dan mewariskan utang kepada generasi berikutnya hingga menjadi beban yang tidak tertanggungkan,” ujar Said.

Menurut Said, pernyataan BPK dalam Rapat Paripurna DPR RI soal utang ini baik, tetapi kurang bijak dalam ikut serta mendorong situasi kondusif dan kerjasama antar lembaga di saat bangsa dan negara menghadap krisis kesehatan dan kontraksi ekonomi. Sikap ini jauh dari kepatutan dan tidak menjadi teladan yang baik rakyat yang sedang sudah menghadapi pandemi.

Politisi PDI-Perjuangan ini berharap antar lembaga dan kementerian hendaknya tidak saling 'Menyerang' di muka umum. Sebab yang dibutuhkan dalam menanggulangi pandemi COVID-19 dan dampak sosial ekonominya yaitu semangat gotong royong. Apalagi, BPK adalah lembaga negara.

Dengan demikian, sebagai lembaga tinggi negara yang kedudukannya diatur kuat oleh UUD 1945 dan UU Nomor 6 tahun 2006 maka segala tugas dan fungsi serta tindakannya harus mengacu pada ketentuan perundang-undangan dan produk turunannya.

“Bila ada pertimbangan lain di luar UU, maka bukanlah yang utama dan bukan menjadi acuan BPK menyatakan pendapat untuk dijadikan landasan dalam menilai kinerja subyek pemeriksaan."

“Lebih bijak bila BPK menjadikannya sebagai rekomendasi tambahan yang sifatnya saran kepada pemerintah. Sebab yang utama dari rekomendasi BPK yang bersifat mengikat adalah ketentuan perundang-undangan,” sarannya.


Waspada Utang Luar Negeri

Ilustrasi utang luar negeri (pexels.com/Karolina)

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah, mengatakan berutang adalah hal yang normal dilakukan sebuah negara, bahkan hampir semua negara melakukannya. Yang berbahaya adalah jika utang luar negeri suatu negara terlalu besar.

Total utang luar negeri yang berasal dari lembaga internasional sampai dengan April 2021 tercatat mencapai 36,11 miliar dollar AS. Sementara itu, total utang luar negeri Indonesia dari negara pemberi pinjaman ada 217,67 miliar dollar AS.

"Utang tidak apa-apa, cuma jangan utang luar negeri. Saya tidak pernah mengkritik utang, saya bahkan mengatakan utang kita itu kurang besar. Cuma komposisinya harus tepat. Jangan banyak utang luar negeri," kata Piter kepada Liputan6.com.

"Jepang itu utangnya 250 persen dari PDB-nya. Apakah Jepang bangkrut? Kan tidak. Tapi utangnya Jepang itu mayoritas dari dalam negeri. Utang luar negerinya cuma 8 persen. Kalau utang luar negeri bayarnya pakai mata uang asing. Kalau dalam negeri, uangnya bisa kita cetak sendiri, jadi tidak ada masalah bayarnya."

Menurut Piter, langkah pemerintah dalam berutang untuk membangun negara bukan hal buruk. Apalagi nilainya masih jauh dari batas atas yang digariskan oleh Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yaitu sebesar 60 persen dari PDB.

"Persoalan utang ini kan sudah diteriakkan bertahun-tahun. Dari tahun 2000-an banyak lembaga yang sudah ngomongin bahaya utang. Tapi kenyataannya sampai sekarang ini kita tidak masalah dengan utang kita. Karena kita itu menghitungnya selalu utang itu dari angka nominalnya. Sementara rasionya tak masalah, masih jauh di bawah yang diperkenankan Undang-Undang, jauh di bawah negara-negara lain."

"Ya memang ada indikator-indikator yang disampaikan BPK, tetapi bukan berarti kondisinya sangat buruk. Tapi, saya sangat sependapat utang luar negeri kita secara persentase terlalu besar, sehingga beban pembayaran kalau dibandingkan dengan penerimaan ekspor, itu menjadi sangat kecil. Jadi itu yang dianggap bermasalah, tapi sepanjang ini kan tidak bermasalah, karena sebenarnya untuk membayar utang kita tidak menggunakan penerimaan ekspor. Itu hanya indikator. Memang sebaiknya itu dibenahi, tapi bukan berarti kita akan bangkrut," ucap pria lulusan International University of Japan tersebut.

Standar Aman

Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo mengatakan, IMF memang memberikan standar aman untuk rasio utang di kisaran 25-30 persen dari PDB pada kondisi normal.

Namun, dalam kondisi pandemi saat ini, hampir tidak ada negara dengan rasio utang di kisaran itu. "Misalnya saja di akhir 2020, Indonesia 38,5 persen, Filipina 48,9 persen, Thailand 50,4 persen, China 61,7 persen, Korea Selatan 48,4 persen, dan Amerika Serikat 131,2 persen," ungkap Yustinus.

Ia menjelaskan, pemerintah pada 2020 telah mengelola pembiayaan APBN dengan kebijakan extraordinary untuk menjaga pembiayaan pada kondisi aman serta upaya untuk menekan biaya utang dengan berbagai cara.

Salah satunya melalui kebijakan burden sharing dengan Bank Indonesia, sebagai wujud sinergi pemerintah dan BI (SKB II) untuk membiayai penanganan pandemi, yakni BI ikut menanggung biaya bunga utang.

Kemudian, juga ada kebijakan konversi pinjaman luar negeri, yang mengubah pinjaman dalam US Dolar dan suku bunga mengambang (basis LIBOR) menjadi pinjaman dalam Euro dan Yen dengan suku bunga tetap mendekati 0 persen. Sehingga ini mengurangi risiko dan beban bunga ke depan.

"Strategi pengelolaan pembiayaan melalui upaya menurunkan yield di tahun 2020 yang dapat menekan yield SBN sekitar 250bps mencapai 5,85 persen di akhir tahun (turun 17 persen, ytd)," jelas Yustinus.

Adanya berbagai respons kebijakan tersebut, membuat ekonomi Indonesia pada 2020 cenderung tumbuh relatif cukup baik dibanding negara lain.


Mengapa Negara Berutang?

Ilustrasi /Copyright unsplash.com/rawpixel

Dalam situs resminya, Kemenkeu menjelaskan bahwa pemerintah harus berutang untuk pembiayaan APBN. Utang negara untuk pembiayaan Defisit APBN adalah konsekuensi dari belanja negara yang lebih besar dari pendapatan negara.

"Kebijakan belanja yang ekspansif dilakukan dengan memprioritaskan belanja produktif pada sektor infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Besarnya belanja pemerintah ini untuk memberikan stimulus bagi perekonomian, dan masih belum dapat terpenuhi seluruhnya dari penerimaan negara (Perpajakan, Bea Cukai, PNBP, dan Hibah). Konsekuensi dari selisih kurang antara pendapatan dan belanja negara adalah defisit APBN," jelas Kemenkeu.

Lebih lanjut, Kemenkeu juga mengungkap 4 alasan kenapa negara harus berutang. Pertama, untuk menjaga momentum dan menghindari opportunity loss. Adanya kebutuhan belanja yang tidak bisa ditunda, misalnya penyediaan fasilitas kesehatan dan ketahahan pangan. Penundaan pembiayaan justru akan mengakibatkan biaya / kerugian yang lebih besar di masa mendatang.

"Kesempatan pembiayaan pembangunan saat ini dioptimalkan untuk menutup gap penyediaan infrastruktur dan meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia yang masih relatif tertinggal dibanding negara lain. Peningkatan IPM dapat dipenuhi antara lain melalui peningkatan sektor pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial," tulis Kemenkeu.

Kedua, pemerintah berutang untuk memberikan warisan aset yang baik pada generasi selanjutnya. Warisan yang baik muncul ketika utang digunakan untuk membiayai hal-hal yang produktif dan memberikan manfaat bagi generasi mendatang, misalnya belanja infrastruktur dan pendidikan.

"Pembiayaan kebutuhan belanja melalui utang merupakan investasi yang dapat memenuhi keadilan antar generasi karena mewariskan aset bagi generasi mendatang (Golden rule)."

Ketiga untuk menjaga dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Dengan kebijakan berutang, ekonomi Indonesia mampu tumbuh pada level saat ini. Studi Badan Kebijakan Fiskal menyebutkan bahwa jika rasio utang terhadap PDB ditahan pada level 23%, maka rata-rata pertumbuhan ekonomi 2013-2016 akan berada di bawah 5%. "Mempertahankan rasio utang terhadap PDB pada level 23% berarti menghilangkan kesempatan penciptaan lapangan kerja 150-200 ribu orang dalam kurun waktu 2013-2016."

Keempat, untuk mengembangkan pasar keuangan. Instrumen utang pemerintah yang diperdagangkan di pasar keuangan digunakan sebagai acuan (benchmark) bagi industri keuangan. Penerbitan instrumen utang pemerintah merupakan alternatif investasi yang ditawarkan kepada masyarakat.

"Kegiatan operasi moneter oleh Bank Indonesia juga turut didukung melalui penerbitan instrumen utang pemerintah," tulis Kemenkeu.

Biayai Pembangunan

Pekerja mengoperasikan alat berat saat menggarap proyek MRT Fase II Bundaran HI-Harmoni di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta, Rabu (10/2/2021) (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Utang digunakan pemerintah untuk pembiayaan secara umum (general financing) dan membiayai kegiatan / proyek tertentu. Untuk pembiayaan umum, utang digunakan antara lain untuk membiayai Belanja produktif dan Penyertaan Modal Negara (PMN).

"Pemberian PMN memberi ruang gerak yang lebih besar bagi BUMN untuk melakukan leverage jika dibandingkan dengan belanja negara. Pemanfaatan utang negara yang produktif serta sumber pembiayaan yang efisien dan berisiko rendah akan meringankan beban generasi mendatang," tulis Kemenkeu.

Dalam situs djppr.kemenkeu.go.id dijelaskan, proyek infrastruktur yang dibiayai dari pinjaman adalah bendungan, jalan, pemukiman, rel kereta api, pelabuhan, penyediaan air bersih, listrik, pendidikan dan kesehatan. Sementara untuk non infrastruktur adalah alusista, almatsus dan keuangan.

Adapun dari hasil Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), proyek yang dibiayai adalah pembangunan dan pengembangan jalan, jembatan, rel kereta api, bendungan, penyediaan air bersih, asrama haji, balai nikah, dan pendidikan.


INFOGRAFIS

INFOGRAFIS: Deretan Negara Pemberi Utang ke Indonesia (Liputan6.com / Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya