Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah perlu berpartisipasi dalam menanggung harga jual listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa), untuk meringankan beban PT PLN (Perseo).
Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRES), Marwan Batubara, mengatakan, harga listrik yang dihasilkan oleh PLTSa perlu disubsidi oleh pemerintah. Tarif listrik dari PLTSa lebih tinggi karena faktor investasi yang lebih besar serta teknologi pembangkitnya lebih mahal dari pembangkit energi lainnya.
Advertisement
“Saya kira kalau sudah nanti tarif (PLTSa) tinggi dan kemudian Perusahaan Listrik Negara (PLN) harus menaikan tarif listrik, ujung ujungnya kan kita rakyat ini yang akan menanggung," kata Marwan, di Jakarta, Jumat (2/7/2021).
Marwan mengungkapkan, PLN membeli listrik yang dihasilkan dari PLTSa seharga 13,35 sen USD per kWh atau setara Rp 1.800 persen per kWh. Harga pembelian listrik tersebut disesuaikan dengan ketentuan Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.
Dia menyebutkan, biaya pokok penyediaan tenaga listrik (BPP) PLN pada Januari - Mei 2021 tercatat senilai Rp1.277 per KWh. Pada tahun lalu, rata-rata BPP PLN sebesar Rp1.322 per KWh. Dengan begitu, harga beli listrik dari PLTSa masih jauh lebih mahal di atas rata-rata biaya pokok penyediaan listrik PLN.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Bawa Manfaat
Marwan menambahkan, hadirnya PLTSa membawa manfaat bagi dua lembaga negara, yakni pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Untuk pemerintah daerah bisa menjadi solusi penanganan masalah sampah, sedangkan bagi bagi pemerintah pusat dengan menurunkan polusi secara nasional.
“Kalau karena pembangkit ini polusi diperkotaan itu turun, secara nasional juga kita diuntungkan, maka harga yang mahal itu juga harus disubsidi oleh pemerintah pusat,” ujarnya.
Atas manfaat yang didapat pemda dan pemerintah pusat dari pengoperasian PLTSa, Marwan berpendapar sebaikmya beban biaya yang besar dari PLTSa harus ditanggung secara adil, bukan hanya PLN yang dapat pasokan listrik yang harus menanggung tetapi juga pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
“Artinya, dari dua lembaga negara ini mestinya ikut berperan untuk membuat tarif itu justru turun dibanding lebih mahal, malah kalau perlu lebih murah dibanding PLTU menggunakan batu bara, atau minyak, atau gas, atau minimal sama. Karena memang semuanya menikmati, pemda menikmati pengelolaan sampah lebih murah, pemerintah pusat juga komitmen untuk perubahan iklim yang diikuti di Paris, komitmen yang COP (Conference of Parties) 2016 itu kan juga tertolong,” tutupnya.
Advertisement