Liputan6.com, Balikpapan- Ada perubahan psikis anak dalam persiapan pembelajaran atau sekolah tatap muka. Sebab, sudah lebih dari setahun anak-anak melakukan sekolah online (daring) atau jarak jauh sehingga mereka tidak bertatap muka secara langsung dengan guru dan teman-temannya.
Menurut psikolog klinis Siloam Hospitals Balikpapan, Patria Rahmawaty, perubahan psikologis yang kemungkinan dihadapi anak-anak adalah kecenderungan bersikap egosentris. Sikap ini membuat anak cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain.
"Misal saat anak melihat temannya melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukannya, maka bisa muncul perasaan rendah diri," ujarnya dalam edukasi webinar awam, Kamis (1/7/2021).
Baca Juga
Advertisement
Berdasarkan penelitian yang melibatkan 2.330 anak sekolah di Hubei China yang dipublikasikan di JAMA Pediatrics Journal, anak-anak usia sekolah yang mengalami karantina proses belajar akibat Covid-19 menunjukkan beberapa tanda-tanda tekanan emosional.
"Karena selama ini biasanya dilayani dirumah, jadi pada saat sekolah maunya dilayani juga, kemudian merasa dirinya lebih dibandingkan anak lain," ucap Rahma.
Bahkan, penelitian lanjutan dari observasi tersebut menunjukkan 22,6 persen mengalami gejala depresi dan 18,9 persen mengalami kecemasan.
Hasil survei yang dilakukan oleh pemerintah Jepang juga menunjukkan hasil yang serupa, yaitu 72 persen anak-anak Jepang merasakan stress akibat Covid-19.
Hal serupa juga terjadi di Amerika Serikat, investigasi yang dilakukan oleh Centre for Disease Control (CDC) menunjukkan 7,1 persen anak-anak dalam kelompok usia 3 sampai 17 tahun telah didiagnosis dengan kecemasan dan sekitar 3,2 persen pada kelompok usia yang sama menderita depresi.
Di Indonesia, implementasi kebijakan sekolah online berdampak signifikan pada kesehatan mental siswa meskipun dengan derajat yang bervariasi. Data yang diperoleh dari survei penilaian cepat yang dilakukan oleh Satgas Penanganan Covid-19 (BNPB,2020) menunjukkan 47 persen anak Indonesia merasa bosan di rumah, 35 persen merasa khawatir ketinggalan pelajaran, 15 persen anak merasa tidak aman, 20 persen anak merindukan teman-temannya, dan 10 persen anak merasa khawatir tentang kondisi ekonomi keluarga.
Persiapan Sekolah Tatap Muka
Lantas, bagaimana solusi untuk persiapan kembali sekolah tatap muka? Rahma menyarankan, sebaiknya dua minggu sebelum kegiatan sekolah atau pembelajaran tatap muka dilaksanakan untuk membiasakan anak bangun pagi setiap hari dan tidur malam tidak lebih dari pukul 21.00, mengerjakan tugas sendiri, mempersiapkan, dan membereskan barang dan alat untuk belajar.
"Karena yang sering terjadi sekarang anak terbiasa dengan tidur hingga larut malam dan sering berinteraksi dengan gadget atau bermain games untuk mengusir kejenuhan mereka," tutur Rahma.
Peran orangtua diperlukan untuk membangkitkan kepekaan anak terhadap lingkungan sekitar, berkoordinasi serta berkomunikasi dengan anak dan pihak sekolah.
"Komunikasi anak dan orangtua harus terbuka, termasuk orangtua mengajarkan hal-hal seperti tidak membuat stigma tentang teman atau orang yang sedang sakit dan tetap menerapkan prtokol kesehatan selama di sekolah," kata Rahma.
Demikian pula pihak sekolah, guru dan guru BK, harus bisa mendengarkan kekhawatiran siswa dan menjawab pertanyaan mereka, memotivasi siswa untuk tetap fokus belajar dan dengan keterbatasan waktu di kelas, mengubah metode belajar yang tidak menimbulkan kecemasan pada siswa, memasukkan pendidikan kesehatan yang relevan ke dalam materi pelajaran lain guna menambahkan pengetahuan dasar murid.
Advertisement