Ribuan Orang India Jadi Korban Penipuan Vaksin COVID-19 Palsu

Di Kota Mumbai, India lebih dari 2.000 orang juga mengaku mendapat vaksin palsu di sembilan kamp imunisasi ilegal.

Oleh DW.com diperbarui 06 Jul 2021, 07:00 WIB
Petugas kesehatan bersiap menyuntik pekerja dengan vaksin Covid-19 Covishield di dalam bus penumpang yang diubah menjadi pusat vaksinasi keliling di Kolkata, Kamis (3/6/2021). India telah menderita pandemi yang menghancurkan sejak April, dan baru-baru ini mulai mereda. (Dibyangshu SARKAR/AFP)

, Mumbai - Kemunculan pusat imunisasi ilegal di kota-kota besar di India ditanggapi tegas oleh pemerintah. Media melaporkan, ribuan warga tertipu dan mendapat vaksin COVID-19 palsu di tengah gelombang infeksi mematikan.

Salah satu kasus yang paling mencolok melibatkan seorang pegawai negeri berusia 28 tahun. Dia dilaporkan menyuntikkan vaksin corona palsu kepada sekitar 2.000 orang, termasuk anggota parlemen partai pemerintah, Bharatia Janata Party (BJP).

Di Kota Mumbai, India lebih dari 2.000 orang juga mengaku mendapat vaksin palsu di sembilan kamp imunisasi ilegal. Polisi melaporkan, semua tabung vaksin yang diberi label Covishield dan Covaxin mengandung Amikacin, sebuah antibiotika untuk melawan infeksi bakteri.

Sejauh ini enam tersangka sudah ditahan oleh aparat keamanan, demikian dikutip dari laman DW Indonesia, Senin (5/7/2021).

"Sebuah sindikat yang terorganisasi rapi terlibat dalam vaksinasi palsu ini. Kita harus lebih waspada sekarang,” kata Vishawas Patil, seorang pejabat kepolisian lokal kepada DW.

Pemerintah federal berusaha meredam gejolak politik dan menjamin bahwa kasus ini hanya "pengecualian” yang terisolasi.

"Kita telah memberikan vaksin kepada lebih dari 330 juta penduduk. Vaksin palsu bisa diidentifikasi dengan mudah ketika Anda tidak mendapat pesan dari CoWin (aplikasi corona)," kata Lav Agrawal, Wakil Menteri Kesehatan India.

Lambatnya laju vaksinasi di India

Pakar mengkritik laju imunisasi yang lambat dan hambatan birokrasi atau prosedural membuat banyak warga menjadi frustasi. Buntutnya kini Kementerian Kesehatan akan mengkaji ulang panduan vaksinasi nasional.

Pemerintah di negara bagian West Bengal saat ini sudah membekukan izin semua pusat vaksinasi, selain milik pemerintah atau rumah sakit swasta.

"Warga menjadi resah karena insiden ini. Kita harus menggodok ulang pusat-pusat imunisasi dengan lebih waspada,” kata seorang pejabat di Kolkata kepada DW.

Menurut Shally Aswasthi, dokter anak di rumah sakit King George's University di Lucknow, "Ketimpangan vaksinasi menciptakan perpecahan di masyarakat, karena mereka ingin segera mendapat vaksin," kata dia.

 


Vaksinasi Untuk Warga India

Tentara melakukan pengamanan di sekitar Hotel Holiday Inn, Gajah Mada, Jakarta, Minggu (25/4/2021). Satgas Penanganan COVID-19 menyiapkan Hotel Holiday Inn sebagai tempat karantina bagi 141 WNA khususnya asal India yang negatif COVID-19 untuk dipantau 14 hari ke depan. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Saat ini India diyakini membutuhkan setidaknya 130.000 pusat imunisasi, lebih dari 100.000 tenaga kerja kesehatan dan 200.000 staf pendukung. Itu pun hanya untuk menyalurkan vaksin bagi warga yang berisiko, dan berjumlah 300 juta orang.

"Tidak heran jika banyak warga India yang tertipu vaksin palsu, bahkan mereka yang berasal dari kelas menengah pun mulai panik,” kata Vineeta Bal, peneliti di Institut Imunologi Nasional.

Kenapa India kebanjiran obat palsu?Analis menilai, pemerintah belum mampu memaksimalkan rantai penyaluran vaksin agar lebih efektif. "Masalahnya terletak pada distribusi,” kata Shahid Jamel, seorang virolog India.

Selain vaksin Covid, India sejak lama memerangi obat palsu yang marak beredar secara nasional. Menurut Perwakilan Dagang AS (USTR), hingga 20% dari semua obat-obatan yang dijual di India merupakan palsu.

Menurut perusahaan pembuat piranti pengaman komputer, McAfee, India menduduki peringkat teratas dalam daftar negara dengan jumlah aplikasi Covid palsu tertinggi di dunia. "Ketika dunia masih khawatir terhadap Covid dan vaksinasi, kaum kriminal membidik mereka yang ketakutan dengan aplikasi atau undangan media sosial,” tulis perusahaan asal AS itu dalam laporannya, April silam.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya