Liputan6.com, Jakarta - Aset kripto (cryptocurrency) tengah digandrungi investor dalam negeri. Data terakhir Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) menyebutkan ada sekitar 6,5 juta pengguna di Indonesia.
Angka itu bahkan melebihi jumlah investor pasar modal yang tercatat sebanyak 5,4 juta investor per Mei 2021, dan masih menunjukkan tren peningkatan. Komisaris PT Bursa Efek Indonesia (BEI), Pandu Patria Sjahrir menilai, populernya aset kripto ini didorong beberapa hal. Salah satunya adalah perkembangan teknologi yang digunakan, yakni blockchain.
Advertisement
Secara garis besar, Blockchain merupakan buku besar digital. Blockchain memungkinkan seluruh transaksi kripto dapat berjalan transparan tanpa perantara atau intervensi pihak ketiga, atau umum dikenal frictionless.
"Jadi ini tetap spekulatif, tapi tetep harus dipelajari. Karena yang menarik buat saya adalah teknologi di belakang itu. Karena mungkin ini adalah masa depan untuk mata uang fiat," ujar dia dalam siniar yang ditayangkan di kanal youtube Deddy Corbuzier, ditulis Senin (5/7/2021).
Pandu sendiri menyoroti setidaknya ada beberapa keunggulan aset kripto. Di antaranya termasuk frictionless yang memberikan pengalaman pengguna tanpa hambatan. Kemudian aman, karena bisa ditelusuri. Mudah dibawa kemana-mana, dan jumlahnya terbatas.
Sebagai pembanding, Pandu menyebutkan pada 2040, ketersediaan atau supply dari aset kripto hanya akan naik 1-2 persen, begitu pula dengan emas. Akan tetapi, untuk mata uang dalam USD bisa naik 3-4 persen.
Dengan terbatasnya ketersediaan aset kripto-dalam hal ini Pandu menyebutkan Bitcoin, sementara peminatnya trus meningkat, kemungkinan aset tersebut akan memiliki valuasi besar ke depan.
"Jadi supply yang paling terbatas, di mana orang melihat value itu ada over the long run, ya," kata Pandu.
Masuknya aset kripto ini juga dinilai berpotensi menimbulkan kerugian bagi negara, karena dikhawatirkan akan mempengaruhi perputaran uang.
Namun, Pandu menjelaskan, untuk mengatasi itu, negara memutuskan untuk tidak mengizinkan aset kripto digunakan sebagai alat transaksi menggantikan mata uang yang sah di Indonesia, yakni Rupiah.
"Jadi cara negara menjaga adalah tidak melakukan transaksi,” kata dia.
Sekali lagi Pandu menekankan, aset ini sifatnya spekulatif. Untuk itu, investor perlu menelaah bagaimana aset kripto bekerja, dan terus mengevaluasinya sebagai pembelajaran. "Jadi jangan main (kripto), (tapi) investasi,” ia menambahkan.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Menebak Harga Bitcoin
Sebelumnya, harga Bitcoin sempat turun signifikan pada kuartal kedua 2021. Hal ini tak terlepas dari tindakan keras China, kekhawatiran Federal Reserve Amerika Serikat yang mulai mengurangi program stimulus.
Dilansir Coindesk, Kamis (1/7/2021), mata uang kripto paling terkenal itu diperdagangkan mendekati USD 34.824, Rabu 29 Juni 2021. Angka tersebut turun hampir 41 persen untuk periode April hingga Juni.
Penurunan yang terjadi pada Bitcoin menghentikan kemenangan beruntun empat kuartal yang membuat grafik harga naik enam kali lipat menjadi hampir USD 60.000.
Kuartal yang kuat secara historis dimulai dengan catatan positif, dengan harga bitcoin reli ke rekor USD 64.801 menjelang debut Nasdaq dari pertukaran kripto Coinbase pada 14 April 2021.
Namun, momentum itu terhenti pada minggu berikutnya. Sejak saat itu pasar tampak lemah dan terpukul, terlebih di pertengahan Mei CEO Tesla menghapus bitcoin sebagai alternatif pembayaran.
Tak hanya itu, China juga memberikan larangan penambangan kripto dan kekhawatiran akan pelonggaran stimulus oleh Fed memperkuat langkah penurunan. Hal ini membuat harga turun ke level terendah selama empat bulan yakni USD 30.000.
Sejak itu, bitcoin diperdagangkan di kisaran USD 30.000 hingga USD 40.000, kecuali penurunan singkat ke USD 28.600 pada 22 Juni. Sentimen telah berubah cukup bearish, sebagaimana dibuktikan oleh perdagangan tanpa arah setelah keputusan El Salvador untuk mengadopsi cryptocurrency sebagai alat pembayaran.
CEO Delta Exchange, Pankaj Balani memperkirakan kenaikan bisa saja kembali dalam waktu dekat.
"Bitcoin sedang dalam fase konsolidasi, dan kami pikir ini dapat berlangsung hingga September. Sejak puncaknya pada bulan April, minat institusional telah berkurang, dan ada kekurangan likuiditas baik dari korporasi maupun pembeli ritel," katanya.
Balani juga menyebut, kripto tetap rentan terhadap kelemahan apa pun di sisi makro dan bisa turun ke rintangan sebelumnya dan berubah menjadi support USD 19.666 jika terjadi penghindaran risiko berbasis luas.
Meski demikian, saat ini pasar tradisional tidak menunjukkan tanda-tanda kelemahan. Terlepas dari pembicaraan hawkish Fed baru-baru ini, S&P 500, indeks ekuitas acuan Wall Street berada di jalur dan diprediksi naik 8 persen di kuartal kedua.
Sementara itu, emas dinilai sebagai investasi aman, meski kenaikan yang didapat hanya 2 persen.
Advertisement
Situasi Dapat Berubah
Bagaimanapun, situasi bisa saja berubah jika ekonomi AS terus berakselerasi, menghidupkan kembali kekhawatiran pengetatan awal Fed.
Beberapa pengamat tetap optimistis dan menggambarkan paralel dengan aksi jual beli pada 2013. Saat itu bitcoin jatuh dari USD 250 menjadi USD 45 pada April. Setelah kenaikannya terhenti, harga melonjak menjadi empat angka pada November.
"Meskipun saya tidak berpikir bagian bawahnya ada, pasar terlihat seperti 2013, dan bitcoin dapat melihat pompa besar,” kata John Lilic, alumni ConsenSys, penasihat Polygon dan paus Dfinity.
Chief operating officer dan salah satu pendiri Stack Funds, Matthew Dibb tidak menyetujui skenario 2013, dengan mengatakan struktur pasar saat ini sama sekali berbeda.
"Dari perspektif analisis teknis, penurunan kuartal kedua adalah kemunduran. Bitcoin masih dalam tahap kemajuan parabola," ujarnya.
Dibb menuturkan, kisaran saat ini dapat membawa reli menuju USD 85.000 pada Maret 2022.