PPKM Darurat, OJK Pertimbangkan Perpanjangan Restrukturisasi Kredit

Otoritas Jasa Keuangan masih menunggu perkembangan lebih lanjut dari penerapan PPKM Darurat yang baru memasuki hari keempat.

oleh Liputan6.com diperbarui 06 Jul 2021, 14:10 WIB
Ilustrasi Bank

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah menerapkan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat Jawa-Bali untuk menahan laju kasus Covid-19. Langkah ini diperkirakan akan memperlambat pertumbuhan ekonomi karena adanya berbagai pembatasan. 

Tahun lalu, untuk membantu para pengusaha pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan memberikan relaksasi bagi mereka yang terdampak. Salah satunya dengan kebijakan restrukturisasi kredit untuk jangka waktu tertentu.

Menghadapi kondisi yang nyaris serupa tak lantas membuat regulator langsung mengeluarkan kebijakan sejenis. Otoritas Jasa Keuangan masih menunggu perkembangan lebih lanjut dari penerapan PPKM Darurat yang baru memasuki hari keempat.

"(Perpanjangan restrukturisasi) itu masih dibahas, kita lihat dulu dampak PPKM dan program vaksinasinya," kara Deputi Komisioner Stabilitas Sistem Keuangan OJK, Agus E. Siregar dalam Webinar Prospek Ekonomi Indonesia Pasca Stimulus dan Vaksinasi, Jakarta, Selasa (6/7/2021).

Agus menuturkan, OJK telah berkali-kali memperpanjang kebijakan relaksasi pembayaran kredit. Terkini, aturan ini masih berlaku hingga Maret 2022 mendatang.

"Kita lihat dulu, ketentuannya yang sekarang juga masih berlaku sampai Maret tahun depan," ujarnya.

Untuk itu, OJK saat ini masih menunggu perkembangan dampak dari penerapan PPKM Darurat Jawa-Bali dan PPKM Mikro di luar Jawa-Bali. Sebab, regulator akan melakukan evaluasi terlebih dulu dari pelaksanaan restrukturisasi kredit lanjutan yang ada saat ini.

"Nah sekarang kita masih mempelajari perkembangannya ke depan. Kan perlu ada evaluasi dulu," kata dia.

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Terpuruk Akibat PPKM Darurat, 4 Permintaan Insentif dari PHRI ke Pemerintah

Seorang pria berada di balik kaca sebuah kedai kopi yang tutup di kawasan Sabang, Jakarta, Sabtu (3/7/2021). Rumah makan hingga restoran diizinkan buka hanya untuk melayani layanan delivery order atau takeaway selama PPKM Darurat. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) meminta keringanan pembayaran pajak dan juga insentif lainnya kepada pemerintah. Permintaan ini sebagai kompensasi Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengatakan, pengusaha hotel dan restoran mengalami keterpurukan dengan adanya PPKM Darurat. Setidaknya ada empat faktor yang harus menjadi perhatian dari pemerintah, atau paling tidak diberikan toleransi selama masa PPKM Darurat.

"Pertama adalah keterkaitan dengan kewajibannya kepada pemerintah yaitu merupakan pajak daerah. Harusnya pemerintah dalam membuat kebijakan juga memiliki toleransi. Kenapa saya katakan toleransi karena pelaksanaan PKM darurat ini bukan pelaksanaan yang baru hari ini dilakukan tetapi ini sudah menjadi dampak satu setengah tahun," kata dia saat dihubungi merdeka.com, Selasa (6/7/2021).

Selama pandemi Covid-19, sektor usaha belum bisa tumbuh dan bisa menyisihkan arus kas-nya atau cash flow. Karena memang tidak ada pemasukan sama sekali. Berkaca pada Maret-Juni 2020 lalu selama pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hampir tidak ada pemasukan. Sementara harus tetap membayar listrik.

"Karena biaya ini tidak bisa di nol kan. Ini yang terjadi makanya saya katakan bahwa kondisi saat ini sebenarnya pemerintah juga harus memberikan kompensasi terhadap pajak daerahnya," jelas dia.

Misalnya saja, paling dekat adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Semester II ini PBB akan jatuh tempo. Sementara pengusaha sendiri bingung untuk membayarnya karena pendapatan mereka pada 2020 hanya di angka 35 persen. Sementara pada semester I-2021 ini hanya dikisaran 30-40 persen saja. Sehingga otomatis pajak tersebut akan membebankan pelaku usaha.

"Mereka tidak punya cadangan untuk membayar ini ditambah dia tidak bisa operasional di dua minggu ke depan atau lebih nantinya. Tentu kompensasi ini pemerintah harus berikan keterkaitan dengan pajak daerah itu juga ada PBB dan lain-lain. Sehingga pajak-pajak tersebut bisa menjadikan sebagai cash flow mereka," jelas dia.


Perbankan dan Listrik

Kemudian kedua tentu pemerintah juga harus mempertimbangkan terhadap kewajiban perusahaan terhadap perbankan. Program restrukturisasi harus kembali diberikan kepada para pelaku usaha. Karena menurutnya tidak mungkin mereka membayar kewajiban perbankan, sedangkan perusahaannya tidak bisa operasional.

"Nah ini kan harus dikasih kompensasi. Jangan nanti pelaku usaha dibiarkan suruh menanggung ini sendiri yang terjadi mereka tidak bisa bertahan. Kalau restrukturisasi ini tidak diberikan maka tidak bisa bertahan," jelas dia.

Persoalan ketiga yang juga sempat disinggung di atas adalah keterkaitan masalah ongkos listrik. Para pelaku usaha meminta kepada pemerintah agar tidak hanya memberikan subsidi listrik kepada masyarakat saja. Namun juga menyasar kepada pelaku usaha. Mengingat biaya tarif listrik ditanggung pengusaha cukup besar.

"Itu yang mengurus tahun lalu juga. Harusnya ini juga diberikan toleransinya sehingga kita semua sama-sama bisa mengikuti PPKM Darurat ini memang benar-benar tidak ada beban," ujarnya.

Tidak kalah penting terakhir adalah masalah Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada tenaga kerja. Dia ingin pemerintah melihat ini atau setidaknya mengambil alih. Karena para pelaku usaha sendiri sulit memenuhi gaji karyawan, karena tidak ada oprasional sama sekali.

"Artinya pemerintah mengambil alih ini untuk memberikan BLT para tenaga kerja ini. Agar mereka tetap bisa bertahan di rumah. Karena kan beda kalau misalnya pegawai negeri mereka disuruh PPKM Darurat mereka seperti cuti dibayarkan gitu. Tapi kalau misalnya pegawai swasta tidak," pungkasnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya