Rusia Dukung Rencana ASEAN Atasi Krisis di Myanmar

Rusia menyampaikan dukungannya atas upaya diplomatik ASEAN dalam mengakhiri krisis di Myanmar.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 06 Jul 2021, 17:53 WIB
Seorang pengunjuk rasa memegang poster dengan gambar pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi (kanan) yang ditahan dan presiden Win Myint saat demonstrasi menentang kudeta militer di Yangon, Myanmar pada Sabtu (6/2/2021). Ribuan orang turun ke jalan-jalan untuk melawan kudeta. (YE AUNG THU / AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Rusia menyampaikan dukungannya atas upaya diplomatik Asia Tenggara untuk mengakhiri krisis di Myanmar.

Negara itu pun juga menyampaikan pesan serupa kepada para pemimpin militer Myanmar.

Dikutip dari laman Channel News Asia, Selasa (6/7/2021) Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov dalam kunjungannya ke Jakarta menyampaikan bahwa konsensus lima poin yang disepakati oleh blok Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) harus menjadi dasar di mana situasi di Myanmar dapat diselesaikan.

"Dalam kontak kami dengan para pemimpin Myanmar, para pemimpin militer, kami mempromosikan posisi ASEAN yang menurut pandangan kami harus dipertimbangkan sebagai dasar untuk menyelesaikan krisis ini dan mengembalikan situasi ke keadaan normal," kata Lavrov.

Lavrov juga akan mengadakan pembicaraan virtual dengan rekan-rekan ASEAN-nya selama kunjungan ke Jakarta, kata Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi.

Komentar Lavrov muncul di tengah keterlibatan yang semakin dalam antara Rusia dan militer Myanmar, ketika negara kekuatan dunia tersebut menjatuhkan sanksi kepada bisnis dan pemimpin Myanmar serta menyerukan larangan global atas penjualan senjata ke negara tersebut.

Diketahui bahwa Myanmar, sedang berada dalam krisis sejak terjadi kudeta militer yang menggulingkan pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi - memicu kemarahan nasional yang dengan cepat berubah menjadi protes dan pemogokan yang ditekan secara keras oleh pasukan keamanan.

Pertempuran antara tentara dan kelompok milisi di beberapa daerah di Myanmar juga telah membuat puluhan ribu orang mengungsi.


ASEAN Masih Melihat Kesulitan Tangani Krisis di Myanmar

Suasana jalanan yang kosong di samping Pagoda Shwedagon, Yangon, Myanmar, Rabu (24/3/2021). Demonstran menyerukan "silent strike" sebagai protes terhadap kudeta militer di Myanmar. (AFPTV/AFP)

Meskipun pemimpin militer Myanmar, Min Aung Hlaing menyetujui rencana perdamaian ASEAN yang dicapai pada April 2021, militer negara itu tidak menunjukkan niat untuk menindaklanjutinya dan alih-alih mengulangi rencananya yang berbeda dalam memulihkan ketertiban dan demokrasi.

Upaya ASEAN menyerukan dialog antara semua pihak, penunjukan utusan khusus, akses kemanusiaan yang lebih besar dan diakhirinya kekerasan, tetapi anggota blok yang paling vokal, termasuk Indonesia, Malaysia dan Singapura, masih melihat kesulitan dengan kurangnya tindakan dari militer Myanmar.

Meskipun telah menyatakan keprihatinan tentang kekerasan di Myanmar, Rusia, yang merupakan pemasok utama senjata dan pelatihan militer di negara itu, adalah salah satu dari sedikit negara yang telah mengakui junta dan mengirim pejabat tinggi ke sana untuk bertemu para jenderal.

Pada Juni 2021, Rusia menyambut Min Aung Hlaing dan delegasi militer Myanmar dalam kunjungan mereka ke Moskow, di mana ia memberikan banyak pidato dan wawancara media serta dianugerahi gelar profesor kehormatan.

Selain isu krisis kudeta di Myanmar, Lavrov dan Menlu Retno juga membahas tentang kesepakatan kerja sama dalam bidang kesehatan dan kemungkinan bersama-sama memproduksi vaksin.


Infografis Penangkapan Aung San Suu Kyi dan Kudeta Militer Myanmar

Infografis Penangkapan Aung San Suu Kyi dan Kudeta Militer Myanmar. (Liputan6.com/Trieyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya