Liputan6.com, Jakarta - Tanda bahaya datang lebih awal: terjadi semburan awan panas di atas Gunung Krakatau pada Mei 1883. Peristiwa itu dicatat oleh seorang kapten kapal perang Jerman, Elizabeth. Dalam catatan itu, si wedus gembel meluncur sejauh 9,6 kilometer.
Dua bulan sejak peristiwa itu, laporan mengenai suara gemuruh dan awan pijar terus berdatangan. Baik dari kapal komersial maupun kapal wisata yang sengaja disewa untuk menyaksikan fenomena tersebut dari dekat.
Sementara itu, penduduk pulau-pulau di dekat Krakatau, tidak melihatnya sebagai tanda bahaya. Mereka justru menggelar semacan festival untuk merayakan ‘kembang api’ alami yang menghiasi langit malam.
Selanjutnya, pada siang pukul 12.53 di hari Minggu, 26 Agustus 1883, letusan permulaan menyemburkan awan gas yang bercampur material vulkanik setinggi 24 kilometer di atas Gunung Perboewatan.
"Kejang-kejang sekaratnya Krakatau berlangsung selama 20 jam 56 menit," demikian diungkap Simon Winchester dalam bukunya Krakatoa: The Day the World Exploded, August 27, 1883.
Baca Juga
Advertisement
Puncak letusan mahadahsyat terjadi sehari setelahnya, Senin pagi, 27 Agustus di tahun yang sama pukul 10.02 WIB.
Empat ledakan besar terjadi memekakkan telinga orang yang berada dengan Krakatau. Sedangkan, gaungnya menggelegarkan warga Perth, Australia yang berjarak 4.500 kilometer.
Dentuman suara Krakatau setara 10.000 kekuatan bom atom yang membuat hancur Hiroshima, Jepang atau 200 megaton TNT. Tephra dan awan panas merenggut banyak nyawa di Jawa dan Sumatra sebelah barat.
Jumlah korban diperkirakan 36 ribu jiwa. Mayoritas bukan karena efek letusan secara langsung, melainkan efek turunan: tsunami.
Seperti dikutip dari situs sains LiveScience, muncul dinding air setinggi 120 kaki atau 36,5 meter, yang dipicu melesaknya Krakatau dan naiknya dasar laut.
Di bibir pantai, terdengar suara gelegar dari kejauhan. Suara itu terus mendekat, beriringan dengan gelombang laut yang datang tiba-tiba.
Saksikan Video Menarik Berikut Ini
Panik Massal
Tsunami menerjang tanpa ampun, rumah gedek milik pribumi, maupun gedung tembok beratap merah kepunyaan bangsa Eropa di Anyer hancur lebur. Wilayah pesisir lain di Jawa dan Sumatra menemui nasib sama.
Orang-orang berlarian panik ke bukit dan memanjat tebing. Kapal uap Berouw terseret sejauh hampir satu mil ke daratan di Sumatra. Semua awaknya, yang jumlahnya 28 orang, tewas.
Kapal lainnya, Loudon, kala itu sudah menepi. Untungnya, sang nakhoda Lindemann berhasil memutar haluan kapal dan berhasil lolos.
Saat menengok ke belakang, para awak kapal menjadi saksi, kota indah tempat mereka sempat berlabuh tadi, seketika hancur. Tak ada yang tersisa di sana.
Ledakan tersebut melemparkan sekitar 45 kilometer kubik material vulkanik ke atmosfer. Menggelapkan langit yang menaungi wilayah yang berada di radius 442 km dari Krakatau.
Barograf di seluruh dunia mendokumentasikan 7 kali gelombang kejut. Dalam 13 hari, lapisan sulfur dioksida dan gas lainnya mulai menyaring jumlah sinar matahari yang bisa mencapai Bumi.
Advertisement
Suhu Global Turun 1,3 Derajat
Dalam lima tahun, suhu global menurun 1,3 derajat. Namun, efek atmosfer yang diakibatkan membuat pemandangan matahari terbenam yang spektakuler di seluruh Eropa dan Amerika Serikat.
Media Forbes menyebut, erupsi Krakatau, dalam beberapa aspek, adalah bencana global pertama yang tercatat dalam sejarah. Dan, berkat temuan alat komunikasi modern (telegraf), kabarnya segera tersebar ke seluruh dunia.
Jurnal Belanda, Dutch Java Bode, yang pertama mengabarkannya, pada hari yang sama saat Krakatau meletus. Sejumlah media internasional menyusul kemudian.
Kisah letusan Krakatau diabadikan dalam film, buku, dokumenter, bahkan komik. Di sisi lain, letusan Gunung Tambora 70 tahun sebelumnya, yang dampaknya lebih dahsyat hingga mampu mengubah sejarah dunia, nyaris terlupakan.
Pasca letusan tersebut, Krakatau hancur sama sekali. Mulai pada 1927 atau kurang lebih 40 tahun setelah meletusnya Gunung Krakatau, muncul gunung api yang dikenal sebagai Anak Krakatau. Ia sangat aktif dan terus bertumbuh. Akankah ia akan meletus seperti induknya? Tak ada yang bisa memastikan.
Anak Krakatau adalah satu dari 100 gunung berapi yang terus dipantau NASA melalui satelit Earth Observing-1 atau EO-1.