Liputan6.com, Jakarta Pandemi COVID-19 yang masih melanda Indonesia berpotensi memengaruhi penanganan kasus stunting, terutama soal asupan makanan bergizi. Jika diabaikan, akan semakin banyak penduduk yang dewasa dengan kemampuan kognitif yang tidak berkembang, mudah sakit, dan berdaya saing rendah.
Ketua TP-PKK Provinsi Jawa Barat (Jabar) Atalia Praratya Ridwan Kamil mengatakan, kendati fokus pemerintah tertuju pada pengendalian COVID-19, penanganan kasus stunting harus tetap diprioritaskan. Sebab, perbaikan gizi ibu hamil, wanita usia subur, dan anak balita merupakan investasi penting bagi masa depan.
Advertisement
"Tingginya permasalahan gizi dan angka stunting masih menjadi permasalahan di bidang kesehatan," kata Atalia dalam webinar Aksi Bersama Dalam Upaya Pencegahan Stunting untuk Mencapai Target 14 Persen pada 2024, Selasa (6/7/2021).
Karena situasi pandemi yang belum berakhir, Atalia pun khawatir fokus pada penanganan pandemi menggeser beberapa hal penting lainnya.
"Maka dari itu menjadi hal yang perlu disiapkan lebih matang untuk stunting ini karena kaitannya menjadi masa depan generasi bangsa," imbuhnya.
Selama pandemi COVID-19, pelayanan kesehatan pada anak mengandalkan Posyandu Keliling. Sebab, kata Atalia, banyak posyandu yang tutup karena khawatir terpapar virus COVID-19. Situasi tersebut membuat pelayanan posyandu menjadi tidak optimal.
"Tugas kita adalah mengejar target sebesar 14 persen di tahun 2024, termasuk juga harus berkomitmen zero new stunting di tahun 2021," ucapnya.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Jabar Nina Susana Dewi menyatakan, penanganan stunting harus terus berjalan meski dalam situasi pandemi COVID-19.
“Stunting merupakan salah satu indikator prioritas dalam SDGs dimana target tahun 2030 adalah terbebas dari malnutrisi. Melalui penanggulangan stunting human capital index Indonesia akan meningkat,” ucap Nina.
Strategi Jabar Zero Stunting
Sementara itu, Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinkes Jabar Marion Siagian menuturkan bahwa angka prevalensi stunting di Jabar berdasarkan survei status gizi dan balita pada 2019 masih tergolong tinggi, yakni 26,2 persen.
Kasus stunting, menurut Marion, disebabkan oleh banyak faktor. Mulai dari praktik pengasuhan anak yang kurang baik, terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan Antenatal Care (ANC) sampai kurangnya akses ke makanan bergizi. Situasi itu membuat penanganan stunting harus dilakukan secara multisektor.
"Strategi Jabar Zero Stunting melakukan satu “Gerakan Masif” untuk mewujudkan prevalensi stunting pada tahun 2023 menjadi lebih kecil dari standar WHO (Stunting < 20 persen). Di antaranya kita sudah memiliki Pergub 107 tahun 2020 tentang Penurunan Stunting di Daerah Provinsi Jawa Barat," tutur Marion.
"Selain itu ada juga kesepakatan bersama Pemda Provinsi Jabar dengan beberapa perusahaan dalam rangka meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup di Jawa Barat melalui pencegahan stunting dan malnutrisi," tambahnya.
Sedangkan, Vice President General Secretary Danone Indonesia Vera Galuh Sugijanto mengatakan, untuk mencapai target penurunan stunting, kolaborasi semua pihak menjadi penting. Selain itu, edukasi terkait pencegahan stunting mesti digencarkan.
"Larena kita butuh edukasi untuk mengubah mindset, pola pikir dan juga gaya hidup masyarakat Indonesia. Melalui kampanye ‘Bersama Cegah Stunting’, kami mengintegrasikan berbagai program intervensi gizi spesifik dan sensitif pencegahan stunting Danone Indonesia untuk dapat diimplementasikan secara bersamaan,” ucap Vera.
Sejak 2019, kata Vera, Danone Indonesia sudah berkolaborasi dengan Pemda Provinsi Jabar untuk menangani stunting di 14 kabupaten/kota prioritas di Jabar.
"Upaya tersebut mencakup pemberdayaan kapasitas tenaga kesehatan dan kader posyandu, puskesmas dan rumah sakit dalam hal edukasi pencegahan stunting, pendataan, monitoring, skrining gizi hingga evaluasi," katanya.
Advertisement
Pangan Khusus Medis Khusus
Pakar Penyakit Nutrisi dan Metabolik Damayanti R. Sjarif melaporkan, berdasarkan hasil penelitian, 84 persen bayi yang mendapat ASI eksklusif hingga usia 6 bulan, sebanyak 33 persen telah mengalami weight faltering sejak usia 3 bulan dan mencapai 60 persen pada usia 6 bulan.
"Apabila dibiarkan, ini akan menjadi stunting pada fase pemberian ASI,” ucap Damayanti.
Damayanti pun menjelaskan, dalam aturan WHO, apabila bayi telah diberi ASI eksklusif dengan cara yang benar, namun tetap tidak menunjukkan pertumbuhan, maka perlu intervensi melalui Pangan Khusus Medis Khusus (PKMK).
PKMK merupakan pangan olahan yang diproses atau diformulasi secara khusus yntuk anak-anak dengan kondisi tertentu, salah satunya adalah anak dengan indikasi gagal tumbuh (growth faltering).
“Ini yang direkomendasikan IDAI kepada Kemenkes. Jadi kalau seorang anak dalam masa menyusui mengalami weight faltering maka kita harus tenangkan ibunya, perbaiki manajemen laktasi kemudian evaluasi untuk temukan penyebabnya," katanya.
"Bayi-bayi dengan penyakit atau yang lahir prematur, selain ASI harus ditambah dengan PKMK sesuai dengan anjuran tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan. Dengan keluarnya permenkes yang mengatur tentang PKMK ini, IDAI berharap semua dokter nantinya sudah bisa meresepkan PKMK,” imbuhnya.
Aturan mengenai PKMK sejatinya telah tertuang melalui Peraturan Menteri Kesehatan No 29/2019 yang mengatur pemberian Pangan Khusus untuk Kondisi Medis Khusus (PKMK) untuk anak penderita memiliki indikasi gagal tumbuh (weight faltering) yang jika tidak diintervensi akan berakibat menambah jumlah anak stunting.
(*)