Liputan6.com, Jakarta - Museum Afrika Belgia akan memulai proses pengembalian karya seni curian ke Republik Demokratik Kongo. Dari akhir abad ke-19 hingga 1960-an, ribuan karya seni, termasuk patung kayu, topeng gading gajah, manuskrip, dan alat musik telah diambil kolektor, ilmuwan, penjelajah, serta tentara Belgia, lapor SCMP, Rabu (7/7/2021).
Setelah merombak Museum Afrika senilai 66 juta euro (Rp1,1 triliun) untuk melihat lebih kritis masa lalu kolonial Belgia, pemerintah siap memenuhi seruan restitusi. "Pendekatannya sangat sederhana: segala sesuatu yang diperoleh melalui cara tidak sah, pencurian, kekerasan, penjarahan, harus dikembalikan," kata Menteri Junior Belgia, Thomas Dermine. "Itu bukan milik kami."
Baca Juga
Advertisement
Dalam proses yang diperkirakan bakal berlangsung bertahun-tahun, pemerintah Belgia akan mengalihkan kepemilikan legal artefak tersebut. Tapi, mereka tidak akan segera mengirimkan karya seni ke negara itu dari museum di Tervuren, kecuali jika diminta secara khusus oleh otoritas Kongo.
Alasannya antara lain karena museum yang telah terbukti populer sejak direnovasi dan menarik ratusan ribu pengunjung sebelum pandemi itu ingin memajang artefak. Salah satu opsinya, yakni membayar biaya pinjaman ke Kongo.
Pihak berwenang Kongo disebut sadar akan audiens yang lebih besar di Belgia dibanding negara mereka. "Museum percaya akan dapat bekerja sama dengan pihak berwenang Kongo," ucap direktur museum, Guido Gryseels.
Kolaborasinya, kata Greyseels, sama seperti yang biasa terjadi di antara lembaga-lembaga internasional untuk menyimpan benda-benda di Belgia melalui perjanjian pinjaman. Museum ini juga memiliki sejumlah artefak yang asalnya tidak jelas.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Identifikasi Asal Karya Seni
Pihak museum bakal mengusulkan tim ilmuwan dan ahli untuk mengidentifikasi sederet karya seni di sana selama lima tahun ke depan. Juga, untuk memisahkan mana karya seni yang diperoleh secara legal maupun sebaliknya oleh museum.
"Dengan banyak sumber daya, kami dapat melakukan banyak hal dalam lima tahun ke depan. Tapi, dapat bekerja selama 10 hingga 20 tahun ke depan untuk benar-benar yakin dengan semua objek yang kami miliki, bahwa kami mengetahui keadaan persisnya saat mereka diperoleh," kata Gryseels.
Placide Mumbembele Sanger, seorang profesor antropologi di Universitas Kinshasa yang bekerja di museum di Tervuren, mengatakan prosesnya sederhana.
"Ini adalah objek yang kembali ke konteks alaminya, jadi saya tidak mengerti mengapa kita harus mengajukan begitu banyak pertanyaan," katanya. "Seolah-olah Anda pergi keluar dan seseorang mencuri dompet Anda dan orang itu bertanya apakah Anda siap mendapatkannya kembali atau tidak."
Advertisement
Belanda ke Indonesia
Pengembalian artefak sebenarnya tidak hanya dilakukan Belgia. Pada 2019, langkah serupa juga diambil pemerintah Belanda yang mengembalikan 1,5 ribu benda budaya bersejarah Indonesia, mengutip DW Indonesia.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Hilmar Farid, menjelaskan, repatriasi benda-benda budaya milik Indonesia yang ada di Belanda sudah direncanakan sejak 2015. Namun, prosesnya terkendala berbagai faktor, seperti perizinan, hukum, politik, dan proses diplomasi yang alot hingga akhirnya terealisasi.
Koleksi tersebut merupakan benda-benda yang dulu pernah dibawa Belanda dari Indonesia pada era kolonial. Pengembalian koleksi dari Museum Prinsenhof di Delft ini juga sebagai upaya "penyelamatan benda budaya milik Indonesia yang berada di luar pengelolaan pemerintah Indonesia."
Baca Juga
Yos Suprapto Turunkan Semua Lukisannya di Galeri Nasional, Tak Merasa Rugi Pameran Dibatalkan
Fadli Zon Bantah Ada Pembredelan di Pembatalan Pameran Tunggal Yos Suprapto: Kami Tidak Ingin Membatasi Kebebasan Berekspresi
Galeri Nasional Sebut Pameran Yos Suprapto Ditunda karena Ada Karya yang Tak Disetujui Kurator
Infografis Cara Pakai Masker Dobel yang Benar
Advertisement