Liputan6.com, Jakarta - Kemkominfo melalui Badan Aksesibilitas Telekomunikasi Informasi (BAKTI) merencanakan untuk meluncurkan satelit Satria 1 pada pertengahan 2023. Saat ini, satelit Satria 1 tengah dibangun di pabrik satelit Prancis, Thales Alenia Space.
Kehadiran satelit Satria 1 ditujukan untuk mengatasi kesenjangan akses internet di Indonesia, terutama di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T).
Advertisement
Proyek satelit Satria 1 melengkapi berbagai upaya BAKTI dalam menghadirkan konektivitas broadband di Indonesia, misalnya pembangunan jaringan serat optik Palapa Ring hingga BTS 4G yang masih berjalan.
Direktur Utama BAKTI Anang Latif mengungkap, proses pembangunan satelit Satria 1 saat ini sudah mencapai 20-25 persen.
"Prinsipnya konstruksi butuh waktu 36 bulan. Saat ini (konstruksi) sudah masuk di tahapan 20-25 persen. Tahapan awal, finalisasi desain, coverage, dan lain-lain," tutur Anang dalam media update mengenai satelit Satria 1 yang digelar daring, Rabu (7/7/2021).
Anang mengatakan, Satria 1 ditargetkan meluncur sekitar Juni atau Juli 2023 dan akan mulai melayani 150 ribu titik layanan publik di Indonesia pada November 2023.
Menurutnya, Satria 1 akan menjangkau wilayah-wilayah yang tidak terkover layanan operator seluler, Palapa Ring, maupun tower BTS 4G.
"Satria akan melengkapi BTS 4G. Saat ini pembangunan BTS 4G dilakukan operator (sebanyak 12 ribu desa) dan BAKTI (9.000 desa). Seringkali ada penduduk yang lokasinya di luar jangkauan tower, kalau ada lokasi yang tidak terjangkau, inilah gunanya Satria, yakni melayani yang di luar jangkauan terestrial," kata Anang.
Melengkapi Palapa Ring dan BTS 4G
Menurutnya, dengan penggunaan kapasitas seluler yang besar, kehadiran Satria ditujukan untuk melengkapi kesenjangan dan kekurangan tersebut.
Dalam kesempatan ini, Anang mengatakan, selain Satria 1, BAKTI juga merencanakan peluncuran Satria 2 (yang terdiri dari dua satelit) pada 2025/2026 dan Satria 3 pada 2030.
Anang menyebut, Satria 1 merupakan satelit pertama Indonesia dengan teknologi High Throughput Satellite (HTS) yang mampu menghadirkan kapasitas hingga 150 Gpbs. Sementara Satria 2 nantinya memiliki kapasitas 300 Gbps dan Satria 3 direncanakan berkapasitas transport 500 Gbps.
Dia menjelaskan alasan BAKTI merencanakan proyek satelit hingga 2030 mendatang. Menurutnya, Satria 1 akan membawa kapasitas 150.000 Mbps dengan asumsi konsumsi internet dalam GB per orang.
"Satelit Satria 1 beroperasi 15 jam, kuota tiap bulan yang akan tersedia sekitar 30,3 juta GB. Sehingga kalau dibagi dengan 26,5 juta orang di titik layanan publik, masing-masing pengguna hanya akan mendapatkan 1,14 GB per bulan, dengan asumsi wilayah tersebut tidak terkover layanan terestrial," kata dia.
Advertisement
Kesenjangan Akses Internet Masyarakat Kota dan 3T
Sebagai perbandingan, data Telkomsel pada 2019 menyebut, rata-rata pelanggan Telkomsel menghabiskan 5,2 GB kuota per bulan.
"Pelanggan seluler mungkin pada 2023 akan menghabiskan 41-50 GB per orang per bulan. Sementara pada 2023, alokasi per pengguna per bulan di daerah 3T hanya 1,14 GB per bulan dengan satelit Satria-1. Kalau begini, daerah 3T akan tetap menjadi daerah 3T," kata Anang, memberikan penjelasan.
Melihat hal inilah, BAKTI merencanakan pembangunan satelit Satria 2 dan 3 dengan kapasitas di atas. Anang mengatakan Satria 2a dan satria 2b perlu ada untuk menghadirkan kapasitas transport 300 Gbps yang menyediakan kuota 2,29 GB per user per bulan.
Sementara satelit Satria 3 dengan kapasitas transport data 500 Gbps akan menyediakan kuota 3,82 GB per pengguna per bulan. Jadi secara total, ketiga satelit hanya akan memberikan kuota 7,25 GB per pengguna per bulan, dengan asumsi wilayah tersebut belum tersentuh layanan terestrial.
Meski masih akan ada kesenjangan, hal ini perlu dilakukan demi memberikan konektivitas digital yang lebih baik di wilayah 3T, selain sebelumnya BAKTI membangun Palapa Ring dan infrastruktur BTS 4G.
Anggota Dewan Profesi dan Asosiasi MASTEL, Kanaka Hidayat, mengatakan, satelit menjadi pilihan terakhir dan satu-satunya teknologi yang dapat menjangkau daerah pinggiran yang tidak terjangkau teknologi terestrial.
“Satelit merupakan teknologi konservatif yang memiliki standar dan aturan main khusus yang diatur secara internasional tapi masih terus dibutuhkan hingga sekarang,” katanya.
(Tin/Isk)