Liputan6.com, Jakarta - Tsunami Aceh 26 Desember 2004 adalah peristiwa yang tak boleh dilupakan. Kala itu, gempa bawah laut berkekuatan 9,1 skala Richter mengguncang Samudera Hindia di lepas pantai Sumatera Utara, Indonesia.
Sekitar 9 menit kemudian, tsunami datang. Gelombang raksasa setinggi 30 meter menghantam Aceh, membawa kehancuran di Bumi Serambi Mekkah.
Advertisement
Setelah itu, hal tak terduga terjadi. Ayunan tsunami kemudian menghantam Thailand, Sri Lanka, India, Maladewa, dan pesisir timur Afrika. Jutaan liter air laut tumpah ke daratan. Lebih dari 230 ribu nyawa melayang atau dinyatakan hilang.
Tsunami Aceh Menjadi salah satu bencana terdahsyat di Abad ke-21.
Tak hanya duka dan nestapa, Tsunami Aceh ternyata memberikan banyak pelajaran berharga yang bisa menyelamatkan banyak orang.
Misalnya, warga Indonesia diingatkan bahwa Nusantara berada di zona yang rawan bencana: Lingkaran Cincin Api Pasific (Ring of Fire). Apa yang terjadi saat itu juga mengilhami banyak studi tentang kegempaan dan ilmu pengetahuan lain.
Berikut 3 pelajaran berharga yang bisa dipetik dari Tsunami Aceh:
1. Kearifan Lokal
Hanya ada tujuh korban jiwa di Simeulue. Padahal, kabupaten itu terletak di dekat episentrum atau titik gempa dan menjadi salah satu daerah terparah yang dilanda tsunami.
Kesiapan dalam menghadapi bencana menjadi faktor yang membuat "keajaiban" itu terjadi. Uniknya, hal tersebut tidak diperoleh penduduk melalui pendidikan formal yang mereka dapatkan di sekolah atau penyuluhan dari pemerintah, melainkan kearifan lokal yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Ditemui Liputan6.com dalam World Tsunami Awareness Day Symposium 2016, salah satu korban selamat gempa dan tsunami Aceh 2004 sekaligus peserta High School Students Summit on World Tsunami Awareness Day di Jepang, Muhammad Haikal Razi, bercerita secara singkat tentang kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Simeulue.
"Mereka memiliki kearifan lokal yang sangat unik, di mana ada semacam syair. Jadi ibu-ibu kalau mau meninabobokan anak-anaknya dinyanyikan syair itu. Bunyi syair itu kurang lebih kalau tiba-tiba gempa besar dan air laut tiba-tiba surut segeralah lari ke tempat yang lebih tinggi," ujar siswa kelas 11 SMAN 1 Banda Aceh itu pada Kamis (15/12/2016).
"Jadi syair itu selalu diperdengarkan dari generasi ke generasi. Itulah yang menyebabkan pada saat 2004 hanya tujuh orang saja yang menjadi korban, sedangkan di daerah lainnya sampai 167 ribu orang lebih yang jadi korban," ujar Haikal. Ia menambahkan, oleh masyarakat Simeulue, tsunami juga disebut dengan smong.
Advertisement
2. Peringatan Dini
Pada 2004, para ahli geologi menemukan bukti berupa deposit pasir yang dielak paksa oleh gelombang raksasa yang dipicu gempa selama ribuan tahun di sebuah gua di Sumatera.
Ternyata, kejadian tsunami tak jarang terjadi di Samudera Hindia. "Setidaknya ada 5 kejadian fatal yang terjadi di perairan Sumatera sebelum 2004," kata Paula Dunbar, seorang ilmuwan di Pusat Data Geofisika Nasional NOAA. Dan selama 300 tahun terakhir, 69 tsunami terjadi di Samudera Hindia.
Meski berisiko, sebelumnya tak ada sistem peringatan dini tsunami di wilayah yang terancam terdampak. Kini, jaringan peringatan senilai US$ 450 juta telah beroperasi, yang terdiri dari 140 seismometer, sekitar 100 alat pengukur permukaan laut dan beberapa pelampung (buoy) yang mendeteksi tsunami, walau masih menemui sejumlah kendala.
Sejumlah buoy yang dipasang menjadi target vandalisme, atau tak sengaja rusak. Padahal pelampung tersebut dan juga alat pengukur punya arti penting untuk membantu mendeteksi, apakah sebuah gempa memicu tsunami.
Jaringan global Deep-Ocean Assessment and Reporting of Tsunami (DART) yang mendeteksi gelombang tsunami juga telah diperluas, dari 6 buoy pada 2004 menjadi 60 pada 2014.
Pusat peringatan tsunami regional juga telah dibangun di Australia, India dan Indonesia. Para ilmuwan di sana memutuskan apakah tsunami berpotensi terjadi berdasarkan informasi dari jaringan sensor, memperkirakan seberapa besar gelombang, lalu memperingatkan pemerintah -- yang akan menindaklanjuti dengan cara memberikan peringatan lewat sirine, TV, radio, dan pesan singkat.
Memberikan peringatan pada orang-orang yang tinggal di area terpencil adalah salah satu yang masih jadi kendala sistem baru itu. Tak semua peringatan sampai ke entitas masyarakat lokal. Dan tak setiap gempa yang berpotensi tsunami bisa membuat takut orang-orang. Untuk membuat mereka menjauh dari pantai.
Di Pulau Mentawai, Sumatera, pada 2010 terjadi tsunami yang menewaskan lebih dari 400 orang. Salah satu penyebabnya, warga tak berhasil mengevakuasi diri pada waktu jeda yang sangat singkat -- di antara gempa dan datangnya tsunami. Rupanya guncangan kala itu tak cukup kuat untuk membuat masyarakat di sana khawatir. Beda dengan yang terjadi pada 2007 kala warga ramai-ramai mengevakuasi diri. Demikian hasil investigasi Tsunami Research Center di University of Southern California. Juga tak ada peringatan jelas saat itu.
"Gempa tsunami masih tetap menjadi tantangan besar," kata Emile Okal, seismolog dari Northwestern University di Evanston, Illinois, AS pada pertemuan harian American Geophysical Union di San Francisco.
3. Prediksi Datangnya Tsunami
Rintangan lain adalah bagaimana memperkirakan secara akurat ayunan gelombang tsunami. Tsunami 2004 memantul dari Aceh ke sejumlah pantai -- bahkan di lokasi yang tak dikira seperti Sri Lanka dan barat Australia.
"Aku menemukan sebuah perahu di tengah jalan, baru saat itu saya menyadari tsunami terjadi," kata Charitha Pattiaratchi, ahli tsunami dari University of Western Australia yang sedang mengendarai mobil di jalanan Sri Lanka pada 26 Desember 2004. "Saat itu aku menyimpulkan kondisi aman, dan aku salah."
Pattiaratchi lantas kembali ke Colombo, berkata pada orang-orang untuk tak khawatir. Tak ada ombak yang akan datang, kondisi aman. "Namun 20 menit kemudian, ombak 7 meter datang. Dua jam kemudian masih ada gelombang lain menerjang."
Sebuah peringatan tsunami bisa dikeluarkan hanya 5 menit setelah gempa bawah laut membuat dasar laut naik atau turun sehingga memicu tsunami. Untuk membuat prediksi makin detil, para ilmuwan menggunakan data yang dikumpulkan dari seismometer, stasiun GPS, alat pengukur pasang, dan sistem pelampung (buoy) yang disampaikan ke pusat-pusat peringatan lewat satelit. Lalu model komputer akan mengubah data menjadi simulasi satelit yang rinci, yang berdasarkan lebih dari 2.000 contoh nyata.
"Tsunami seperti menjatuhkan batu ke kolam. Riak yang ditumbulkan tak seragam, dipengaruhi pegunungan dan lembah dasar laut," kata Eddie Bernard mantan direktur Pacific Marine Environmental Lab NOAA.
Setelah gempa membuat Bumi gonjang-ganjing, para ilmuwan pusat tsunami NOAA menghabiskan waktu sejam berikutnya untuk membuat perkiraan tsunami rinci, termasuk ke mana saja ia akan memantul. Hasilnya memproyeksikan kapan ombak akan tiba di garis pantai dan pelabuhan, memperkirakan arus tsunami yang disebabkan dan mengukur ketinggian gelombang.
NOAA berambisi untuk mengurangi waktu yang diperlukan secara dramatis. "Kita sekarang pada titik di mana kita ingin melakukannya semua itu dalam 5 menit," kata Vasily Titov, direktur Center for Tsunami Research NOAA.
Caranya adalah dengan membangun jaringan seismik yang lebih baik, mendapatkan cara mendapatkan respons yang lebih cepat dari sensor permukaan laut dan mempercepat perkiraan komputer.
"Ketika tiga komponen ini bisa didapatkan, maka kita akan bisa menyelamatkan semua orang," kata Titov.
Advertisement