Liputan6.com, Jakarta - Masalah sektor kelautan, seperti penangkapan ikan berlebihan, mikroplastik yang ditemukan dalam biota laut, dan jenis polusi lain merupakan dilema bagi pecinta makanan laut. Ragam solusi pun ditawarkan, termasuk inovasi makanan berbahan nabati.
Melansir SCMP, Kamis, 8 Juli 2021, David Yeung, founder, sekaligus CEO Green Monday Group dan OmniFoods Hong Kong, telah memperkenalkan OmniPork nabati untuk membantu mengurangi konsumsi daging babi. Pada presentasi acara memperingati Hari Laut Sedunia, bulan lalu, ia memberi beberapa statistik serius.
Tercatat bahwa pada 1950, konsumsi makanan laut global tahunan adalah 20 juta ton. 70 tahun kemudian, angkanya naik jadi 180 juta ton. "Bisakah lautan tanpa henti memasok makanan untuk kita?" tanya Yeong. "Masalahnya adalah tidak mungkin lautan dan dunia dapat mengikuti selera yang telah kita bangun."
Baca Juga
Advertisement
Pada 2017, Hong Kong adalah konsumen ikan dan makanan laut per kapita tertinggi kedua di Asia dengan 70,75 kilogram (kg), kedua setelah Maladewa dengan 90,41 kg. Cara untuk memperlambat konsumsi makanan laut adalah menawarkan alternatif nabati yang sama lezat dan bergizinya.
Mereka kemudian meluncurkan lini enam produk nabati OmniSeafood, termasuk fillet ikan klasik, fillet emas goreng, tuna cincang, dan daging kepiting. Produk itu diklaim dapat disesuaikan untuk kuliner Asia dan jenis masakan lain.
Makanan laut berbahan nabati ini terbuat dari kedelai, kacang polong, dan beras non-transgenik, tidak memiliki lemak trans atau kolesterol, dan mengandung omega-3. Produk itu bisa didapat di Kind Kitchen di Central, dan di semua toko Green Common, kecuali lokasi Alexandra House, di Hong Kong.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Daging Ayam Berbahan Nabati
Perusahaan lain yang ingin membantu menahan laju perubahan iklim adalah Next Gen lewat produk mereka, Tindle. Itu merupakan "daging ayam yang terbuat dari bahan nabati" yang terdiri dari sembilan bahan, lebih sedikit dari beberapa protein alternatif sebelumnya.
Karena Tindle berbasis nabati, produksinya diklaim berdampak lebih kecil pada lingkungan dibanding memelihara dan menyembelih ayam. Ini diperkirakan "menghemat" 74 persen lahan, air 82 persen lebih sedikit, dan menghasilkan 88 persen lebih sedikit gas rumah kaca.
Produk ini diluncurkan di Singapura dan sekarang sudah disajikan di belasan restoran di Hong Kong. Saat ini, ayam nabati Tindle hanya tersedia di restoran karena para koki sedang mengembangkan cara-cara inovatif untuk menentukan apakah penjualannya bisa menyentuh tingkat ritel.
Marc Jolly adalah direktur untuk Asia Pasifik untuk produsen Tindle, Next Gen. Ia mengatakan, konsumsi daging global diperkirakan akan meningkat 35 persen pada 2050, bahkan lebih di Asia. Pertumbuhan itu tidak berkelanjutan, ia menekankan.
Advertisement
Tekstur Mirip Daging Ayam
Perusahaan paham konsumen suka makan daging dan tidak akan menyerah begitu saja. "Dari sudut pandang pemakan daging, banyak pilihan daging nabati vegan atau vegetarian (rasanya) hanya 'rata-rata'," kata Jolly. Itulah mengapa produknya "harus terasa enak, dan jadi sesuatu yang benar-benar dapat diolah koki."
Dalam bentuk mentahnya, produk alternatif nabati ini dapat dibentuk jadi beberapa bentuk. Bisa disobek-sobek, seperti daging ayam, dipanggang, digoreng, bahkan direbus. Bahan-bahannya dijelaskan terdiri dari kedelai, tepung gandum, gluten, minyak bunga matahari, minyak kelapa, serat oat, dan perasa alami.
"Nutrisinya sangat mirip dengan ayam. Protein, kalori, dan lemak untuk 100 gram, kami sama, tapi Tindle tidak memiliki kolesterol dan memiliki serat makanan," ucapnya.
Koki eksekutif W Hong Kong, Rafael Gil, tidak banyak menggunakan produk nabati, tapi ketika diberi kesempatan mencoba Tindle, ia terkejut dengan hasilnya. "Yang saya suka dari Tindle adalah Anda dapat bermain-main dengannya, Anda memiliki (produk) dasar, dan menambahkan bumbu sesuai selera, kemudian membuat format yang berbeda, seperti tusuk satai, bola, roti," katanya.
"Saya membuat patty burger sederhana, membumbuinya dengan garam, merica, dan minyak zaitun," ceritanya. "Bagi saya, hal yang paling gila adalah teksturnya. Ini memiliki tekstur yang sangat mirip dengan ayam, seratnya. Itu mengejutkan saya."
Infografis Diplomasi Lewat Jalur Kuliner
Advertisement