Liputan6.com, Jakarta - Kasus COVID-19 di Indonesia terus melonjak. Bahkan, beberapa kali memecahkan rekor tertinggi di Tanah Air. Situasi ini memicu kepanikan di masyarakat.
Permintaan terhadap obat begitu tinggi. Banyak apotek yang kewalahan dengan kenaikan permintaan. Tak sedikit pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan situasi tersebut.
Advertisement
Harga obat, khususnya yang dipercaya bisa menyembuhkan COVID-19, naik drastis, malah cenderung tidak terkendali. Sebagai contoh, obat Ivermectin tablet oral 2MG 10-010056, terpantau ada yang menjualnya di harga Rp 676 ribu pada platform e-commerce di Indonesia.
Padahal, harga obat antiparasit ini sebelumnya diketahui cukup murah, yakni Rp5.000-Rp7.000 per tablet. Obat terapi COVID-19, seperti Azitromycin, Ostertromivir, hingga Fluvir juga harganya naik akibat pembelian dan permintaan yang meningkat dari masyarakat.
Obat Fluvir yang awalnya dijual di kisaran Rp185 ribu per 10 butir, sekarang naik menjadi Rp200 ribu. Sementara obat Azitromycin naik paling tinggi menjadi dua kali lipat dari Rp30 ribu menjadi Rp60 ribu per 10 butir. Kepanikan masyarakat juga ditunjukkan dengan pembelian vitamin C dan susu kemasan merek tertentu dengan tidak wajar atau jauh melebihi kebutuhan.
Kondisi serupa pun terjadi untuk alat kesehatan (alkes), yang harganya meningkat tajam. Bahkan, peredaran beberapa jenis alkes mulai langka di pasaran. Tabung oksigen dan isi ulangnya, harganya di platform e-commerce menyentuh Rp 6 juta. Semula, harga tabung berisi oksigen beserta selang dan regulator hanya seharga Rp 750 ribu.
Nebulizer dan Pulse Oximeter juga diketahui mengalami kenaikan harga yang drastis. Nebulizer dibutuhkan ketika pasien mesti memakai tabung oksigen untuk menyalurkan uap oksigen ke dalam tubuh. Ada berbagai macam nebulizer. Harganya sekarang mulai Rp50 ribu sampai Rp400 ribu, tergantung jenisnya.
Sementara itu, Pulse Oximeter merupakan alat pendeteksi kadar oksigen. Harganya naik setelah terjadi lonjakan kasus COVID-19 di Indonesia, dari yang awalnya hanya Rp 50 ribu-Rp80 ribu, kini sudah menjadi Rp 300 ribu.
Kondisi ini membuat Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan No HK.1.7/Menkes/4826/2021 pada 2 Juli 2021, tentang harga eceran tertinggi obat pada masa pandemi COVID-19.
"Harga jual tertinggi (HET) ini adalah harga jual tertinggi obat di apotek, isolasi farmasi, rumah sakit, klinik, dan faskes, yang berlaku di seluruh Indonesia," kata Menkes Budi Gunadi.
Berikut 11 obat yang telah ditetapkan harga eceran tertinggi oleh Menkes selama masa pandemi COVID-19.
1. Tablet Favipirafir 200mg (Avigan) HET Rp22.500 per tablet.
2. Injeksi Remdesivir 100mg dalam bentuk vial HET Rp510.000.
3. Kapsul Oseltamivir 75mg dalam bentuk kapsul HET Rp26.000.
4. Intravenous Immune Globulin (IVIG) 5% 50ml infus dalam bentuk vial HET Rp3.262.300.
5. Intravenous Immune Globulin (IVIG) 10% 25ml infus dalam bentuk vial HET Rp3.965.000.
6. Intravenous Immune Globulin (IVIG) 10% 50ml infus dalam bentuk vial HET Rp6.174.900.
7. Tablet Ivermectin 12mg dalam bentuk tablet HET Rp7.500.
8. Tocilizumab 20ml infus dalam bentuk vial HET Rp5.710.600.
9. Tocilizumab 80mg, 4ml infus dalam bentuk vial HET Rp1.162.200.
10. Azitromicin 500mg tablet dalam bentuk tablet HET Rp1.700.
11. Azitromicin 500mg tablet dalam bentuk infus (vial) HET Rp95.400.
Tindak Tegas
Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Pandjaitan, menyatakan bakal menindak tegas oknum yang menaikkan harga obat COVID-19 dengan curang. Luhut memperingatkan pihak-pihak yang berniat memanfaatkan momen lonjakan kasus COVID-19 di Tanah Air demi mencari keuntungan tidak wajar.
"Harga harus sewajar mungkin," kata Luhut.
"Ini adalah masalah kemanusiaan, angka kematian naik. Jadi kalau ada orang mati gara-gara obat apalagi obat tersebut dibuat dengan tidak benar, maka para produsen atau distributor akan ditindaklanjuti secara serius. Langsung dihukum saja kalau perlu izinnya kita cabut,” ucapnya.
Polda Metro Jaya telah membentuk tim untuk menyelidiki adanya kenaikan tidak wajar untuk harga obat-obatan bagi masyarakat di tengah pandemi COVID-19. Polisi siap mengamankan apabila terdapat pedagang nakal yang tidak mengikuti harga eceran tertinggi yang ditetapkan Menkes.
Saksikan Video Berikut Ini
Fakta di Lapangan
Beberapa obat yang dipercaya untuk terapi COVID-19, peredarannya bermasalah, karena tingginya permintaan. Keputusan Menteri Kesehatan No HK.1.7/Menkes/4826/2021 juga tidak serta-merta menyelesaikan masalah tersebut.
Guru Besar Farmasi Universitas Gajah Mada (UGM), Prof. Zullies Ikawati, mengatakan, kebutuhan dan permintaan yang besar untuk obat-obatan, karena kasus COVID-19 meningkat tajam sehingga harganya pun jadi naik. Dia juga menanggapi baik antisipasi pemerintah lewat Menkes yang melakukan pembatasan dengan harga eceran tertinggi.
Namun, menurut perempuan kelahiran Purwokerto, Jawa Tengah ini, ada beberapa yang kurang tepat dalam pengumuman Keputusan Menkes tersebut, sehingga berpotensi muncul kekeliruan di masyarakat apabila tidak secara cermat menangkap informasi yang dimaksud.
"Itu kan dituliskan harga eceran tertinggi obat pada masa pandemi COVID-19. Tapi kan orang langsung mengasosiasikannya ini obat COVID-19, bahwa ini adalah obat COVID-19. Memang yang dikontrol adalah ya obat-obat yang paling banyak dicari pada saat pandemi ini. Memang terutama yang related dengan COVID-19, cuma belum ada keputusan yang menyebut bahwa itu sebuah obat COVID-19 ya. Kalau itu dilepaskan dalam list yang sama, orang ya langsung jadi memburu sekalian," terang Zullies ketika dihubungi Liputan6.com.
"Nah, itu yang kemarin kita agak sesalkan, tentang obat Ivermectin masih di situ. Kan, sekarang malah jadi diburu habis. Padahal, efikasinya kan masih fifty-fifty. Kita masih belum tahu pasti sebetulnya. Dan orang mau saja beli sesuatu yang mahal untuk sesuatu yang belum pasti," imbuhnya.
Hilang dari Peredaran
Zullies membeberkan, setelah adanya keputusan Menkes mengenai harga eceran tertinggi di masa pandemi COVID-19, justru malah ada obat yang hilang dari peredaran. Hal ini karena pedagangnya tidak berani menjual, seperti obat Azitromycin misalnya, yang harga jualnya memang variatif.
Zullies mengatakan, walaupun Azitromycin termasuk obat generik, harganya bervariasi antara pabrik satu dengan lainnya. Sebab, kata dia, harganya dipengaruhi oleh ongkos produksi, bahan baku, kemudian proses, dan hal lainnya.
"Singkat cerita, ada teman dari NTT (Nusa Tenggara Timur) dan kota-kota lain, bahwa dia membeli di PBF (Pedagang Besar Farmasi) resmi sebelum ada SK Menkes kemarin. Itu jatuhnya satu tablet itu Rp 10 ribu kalau dijual, dengan harga yang dia beli itu, dengan margin biasa yang tidak naikin harga. Itu sudah segitu, ketika dipatok Rp 1.700 di HET. Dia kan mau jual jadi enggak berani. Nanti dia dianggap menjual di atas harga HET," ungkapnya.
"Akhirnya yang punya Azitromycin enggak berani mengeluarkan. Yang rugi masyarakat juga, kan. Karena kalau apotek jual, rugi juga lah dia. Sehingga, kadang mungkin sebetulnya kalau yang saya dengar, bahkan barusan saya dengar, Azitromycin kemungkinan akan dikeluarkan dari panduan COVID-19. Karena, secara efikasi, itu kan antibiotik ya, jadi dia tidak terlalu signifikan juga dampaknya untuk pasien COVID-19. Tapi, masih belum pasti (akan dikeluarkan dari panduan Covid-19)," jelas perempuan berusia 53 tahun ini.
Situasi tersebut, menurut Zullies, membuat Azitromycin sulit dicari di pasaran. Padahal, obat itu banyak dipakai juga untuk infeksi yang lain. Zullies menyebut, sebagian pedagang akan rugi menjual Azitromycin, karena harga kulakannya sudah tidak bisa seperti dalam HET, tapi harus dijual dengan harga itu. "Akhirnya tidak ada yang berani jual. Akhirnya masyarakat nyari barangnya juga tidak ada. Itu faktanya di lapangan," ucapnya.
"Sekarang polisi-polisi pada masuk tuh ke apotek-apotek. Ini juga jadi kita di IAI (Ikatan Apoteker Indonesia), kita mencoba untuk mengadvokasi teman-teman, apa yang harus kita lakukan kalau ujug-ujug pada masuk, ada penyidik, begitu ya. Kadang-kadang, terus terang saja nih, juga jadi mainan juga itu. Yang harusnya disasar sebenarnya itu, tapi nanti terus dicari-cari dan ubek-ubek yang lain, ya akhirnya jadi mbulet kan," tutur Zullies.
Advertisement
Kelangkaan Oksigen, Pemerintah Pilih Impor
Di tengah melonjaknya kasus COVID-19 di Indonesia, terjadi pula kelangkaan oksigen. Padahal, pasokan oksigen dibutuhkan untuk para pasien COVID-19, yang mengalami penurunan kadar oksigen dan sesak nafas sehingga dapat memperparah infeksi saluran pernapasan serta memengaruhi fungsi organ vital mereka.
Kelangkaan oksigen ini juga terjadi karena kebutuhan dan permintaan yang tinggi. Lucunya, bulan lalu, pemerintah Indonesia baru menyumbang 2.000 tabung oksigen untuk membantu pasien COVID-19 India. Itu sumbangan yang kedua, setelah pada Mei 2021 juga melakukannya dengan jumlah sama ke India.
Pemerintah Indonesia pun kini memilih segera mengimpor tabung oksigen untuk memenuhi kebutuhan di tengah lonjakan kasus COVID-19. Menkes Budi Gunadi Sadikin sudah berkoordinasi dengan Kementerian Perindustrian terkait mengenai rencana impor tabung oksigen 6 meter kubik dan 1 meter kubik, demi untuk memenuhi ruang-ruang darurat tambahan yang ada di rumah sakit.
Menkes Budi membeberkan, kapasitas produksi oksigen nasional diketahui berjumlah 866 ribu ton per tahun. Tapi, utilisasi semua pabrik sekarang hanya 75 persen. Akibatnya, jumlah produksi riil hanya 640 ribu ton per tahun. Sekitar 75 persen oksigen dipakai untuk memenuhi kebutuhan beberapa industri baja dan nikel, sedangkan 25 persen atau 181 ribu ton per tahun merupakan kuota keperluan medis.
Kementerian Kesehatan dan Kementerian Perindustrian setuju agar agar 90 persen atau 575 ribu ton oksigen yang menjadi jatah industri diberikan ke medis demi memenuhi kebutuhan rumah sakit di tanah air, terutama di Pulau Jawa.
Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, pun sudah memberi lampu hijau mengenai rencana impor tabung oksigen. Luhut meminta tabung oksigen segera disediakan lebih cepat lewat impor dan tugas itu diberikan kepada Kementerian Perindustrian.
"Memang oksigen beberapa tempat kurang, ini kita atasi. Bahkan malah ada opsi kita mengimpor dan sekarang on going," papar Luhut.
Guru Besar Farmasi UGM, Prof. Zullies Ikawati, mendukung langkah impor pemerintah untuk alkes seperti tabung oksigen. Jika impor bisa membantu kondisi dalam negeri yang memang kekurangan oksigen, dia merasa kebijakan itu tidak masalah.
"Selama ini kan ya memang semuanya impor. Silakan saja impor. Dan yang mau diimpor apa sih? Semuanya impor. Alkes. Oksigen. Silakan impor. Kalau itu membantu. Kita memang masih banyak tergantung pada impor ya," katanya.
Untuk obat pun Zullies mengungkapkan, bahan bakunya nyaris 100 persen impor. Indonesia, ucap Zullies, bisa membuat obat, namun bahan bakunya tetap impor, termasuk untuk obat-obat yang sering dipakai selama pandemi COVID-19 seperti, Ivermectin, Ostertromivir, dan Favipiravir.
"Ivermectin, Ostertromivir, dan Favipiravir, tidak ada di Indonesia. Kita mesti beli itu. Kalau tidak di India, ya di China. Nah, kayak yang Ostertromivir kenapa kosong, sekarang pada ramai dan ribut mencari Ostertromivir. Lah, barangnya kan memang habis. Dan ini baru masuk lagi mungkin pertengahan Juli tahun ini. Baru dibikin lagi oleh industri di Indonesia. Karena barangnya baru masuk. Bahan bakunya semua impor," jelas Zullies.
"Kebanyakan bahan bakunya dari India, kalau tidak dari China. Nah, India lagi kasus (COVID-19) banyak sekali, mereka juga tahan. Tidak akan kasih banyak ke negara lain, orang dia sendiri butuh. Jadi, ya memang kita rebutan. Jadi, kalau dibilang ada kekosongan, memang barangnya tidak ada. Karena demand-nya sangat besar. Nah, bisa diperparah jika kemudian ada yang menimbun. Tapi, sejauh yang saya tahu belum ada yang menimbun, karena barangya juga tidak ada. Jadi pengawasan sudah jalan juga oleh polisi atau aparat," paparnya.
Minta KPPU Turun Tangan
Pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Agus Suyanto, meminta Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) turun tangan terkait kenaikan harga obat-obat yang digunakan untuk meringankan gejala COVID-19. Menurut dia, kenaikan harga obat-obat tersebut sudah tidak masuk akal.
"Harga obat itu kan sudah ada harga eceran tertingginya. Artinya, setiap obat itu ketika keluar izin edarnya, kemudian diberikan juga banderol dengan harga eceran tertinggi, itu yang harus dipatuhi oleh penjual obat, dalam hal ini juga apotik atau penjual obat yang lain. Jadi, ini menjadi sebuah kejanggalan ketika kemudian ada harga obat yang dijual berkali-kali lipat melebihi harga eceran tertinggi," kata Agus kepada Liputan6.com.
"YLKI mendorong KPPU untuk kemudian turun tangan memanggil para distributor atau produsen yang menjual harga obat tinggi, karena jangan-jangan ada permainan harga yang menjadi semacam tidak sehat ketika dijual di pasaran. Jadi seperti ada kesepakatan untuk menjual obat dengan harga yang tinggi dan KPPU perlu melihat dan mempelajari lebih jauh soal ini."
Pemerintah sebelumnya mengancam akan melakukan razia jika harga obat masih melebihi harga eceran tertinggi. Menurut Agus, razia hanyalah sekedar kebijakan menertibkan pedagang di hilir, bukan di hulunya.
"Penjual di lapangan bisa menjual dengan harga tinggi penyebabnya ada dua. Bisa saja dia yang menaikkan harga, tapi bisa juga dia sebagai distributor sudah menebus obatnya dengan harga yang tinggi. Ini yang perlu dilihat sebetulnya dimana letak kesalahannya. Jadi yang perlu dicari itu siapa yang memulai dengan melebihi harga eceran tertinggi."
YLKI juga menghimbau masyarakat untuk tidak membeli obat di tempat sembarangan. Lebih baik membelinya di apotik resmi atau toko obat berlisensi.
"Kalau kemudian harus membeli di e-commerce, itu kan beberapa e-commerce juga kompeten menjual obat tersebut. Tapi banyak juga e-commerce yang kita tak tahu latar belakang penjualnya itu siapa. Saya pikir ini juga jadi tanggung jawab marketplace untuk kemudian meneliti lebih jauh ketika ada pelaku usaha yang menjual obat, apakah berlisensi atau tidak," ucap dia.
Mudah Termakan Isu
Sejumlah ahli telah menekankan bahwa hingga saat ini belum ada obat khusus untuk COVID-19. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Penny K. Lukito, memastikan sampai sekarang belum ada obat yang efektif untuk infeksi COVID-19.
Hal serupa dinyatakan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Menaldi Rasmin, yang menyebut bahwa memang belum ada obat definitif untuk COVID-19. Yang dimaksud obat definitif yakni obat yang khusus dan sudah pasti diperuntukkan untuk mengobati suatu penyakit tertentu.
"Sampai detik ini obat definitif untuk COVID-19 belum ada. Maka, 5M (mencuci tangan, menjaga jarak, memakai masker, membatasi pergerakan, dan menjauhi kerumunan) yang digalakkan Pemerintah adalah kunci pertama melindungi diri, mencegah, dan memutus rantai penularan virus Corona," terang Menaldi.
Sementara itu, Guru Besar Farmasi UGM, Prof. Zullies Ikawati, mengingatkan masyarakat untuk tidak asal mengonsumsi obat yang diklaim oleh pihak tertentu dapat menyembuhkan COVID-19. Zullies menambahkan, obat-obat yang dianggap aman dikonsumsi pada terapi Covid-19 telah termuat dalam pedoman tatalaksana Covid-19. Demi keamanan pasien, obat yang dikonsumsi sebaiknya adalah obat-obat yang diresepkan oleh dokter yang diberikan sesuai dengan kondisi yang dialami masing-masing pasien.
Terkait fenomena panic buying, pengurus YLKI Agus Suyanto mengatakan, hal ini sebenarnya karena masyarakat mudah termakan isu. Di mata dia, konsumen Indonesia masih minim informasi dan malas membaca.
"Jadi ini yang perlu diedukasi. Ketika terjadi sesuatu hal, tidak perlu melakukan panic buying karena bukan hanya merugikan diri sendiri yang harus mengeluarkan lebih banyak uang, tapi juga merugikan konsumen yang lain. Karena kalau misalkan itu ternyata yang jadi target panic buying adalah produk esensial, ini kan masyarakat lain tidak kebagian, ini jadi berbahaya."
"Ini memang perlu edukasi yang lebih menerus, jangan sampai panic buying muncul lagi. Kejadian ini bukan pertama kali, karena sebelumnya juga ada panic buying ketika ada isu-isu yang belum tentu bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya," ujar Agus.
Guru Besar Farmasi UGM, Zullies Ikawati, mengakui agak susah mengendalikan masyarakat yang panik. Dia menyarankan masyarakat tidak hanya mengandalkan vitamin, tapi juga makanan yang sehat seperti sayur dan buah-buahan.
"Yang penting jadi sistem imun ditingkatkan. Jadi, vitamin memang bisa membantu. Tapi, yang penting juga makan makanan yang sehat. Dan sebetulnya kita juga bisa menggunakan misalnya, dari bahan alam seperti herbal atau apa yang secara umum bisa meningkatkan sistem imun," terang Zullies.
"Karena saya tahu ya, semua orang ingin sehat dan tidak mau kena COVID-19. Jadi, kalau untuk multivitamin, ya memang diperlukan untuk kondisi seperti sekarang ini," pungkasnya.
Advertisement