Kadin: Penurunan Status Indonesia Jadi Negara Menengah Bawah Berdampak ke Persaingan Dagang

Turunnya status Indonesia menjadi negara menengah bawah tentu akan memberikan pengaruh bagi pelaku usaha dalam persaingan dagang.

oleh Tira Santia diperbarui 10 Jul 2021, 10:00 WIB
Wakil Ketua Apindo, Shinta Widjaja Kamdani memberi sambutan saat peresmian kantor cabang KITA, Jakarta, Selasa (9/6/2015). Keberadaan kantor cabang ini agar kerjasama ekonomi Korea-Indonesia yang lebih bersinergi. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, turunnya status Indonesia menjadi negara menengah bawah tentu akan memberikan pengaruh bagi pelaku usaha dalam persaingan dagang.

“Status negara menengah atas atau negara menengah bawah akan memberikan pengaruh bagi pelaku usaha dalam persaingan dagang, khususnya di negara maju. Di mana Indonesia belum atau tidak memiliki perjanjian dagang preferensial atau FTA-CEPA,” kata Shinta kepada Liputan6.com, Jumat (9/7/2021).

Dia menjelaskan karena umumnya negara maju memberikan preferensi dagang misalnya tarif kelonggaran ketentuan origin criteria, kelonggaran terkait product specific rules, dan lain sebagainya.

Ditujukan kepada negara-negara kategori Least Developed Countries (LDCs) dan negara kelas pendapatan menengah bawah melalui skema GSP atau skema lain yang serupa secara unilateral yakni kebijakan diskresi internalnya sendiri yang bisa diubah atau dicabut sekehendak hati kapanpun.

“Pasar EU contohnya secara gamblang memiliki kebijakan GSP yang mengatur bahwa negara-negara dengan kelas pendapatan menengah atas berdasarkan kategorisasi World Bank selama 2 tahun berturut-turu akan dikeluarkan (graduation) dari skema GSP EU,” ujarnya.

Dengan kata lain, bila Indonesia sudah menjadi negara menengah atas selama 2 tahun berturut-turut maka Indonesia tidak akan lagi memperoleh manfaat tarif GSP di pasar EU. Padahal, kata Shinta, GSP sangat penting untuk mempertahankan daya saing ekspor ke EU selama Indonesia belum menyelesaikan dan meratifikasi IEU CEPA.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Ubah Pola

Suasana gedung-gedung bertingkat yang diselimuti asap polusi di Jakarta, Selasa (30/7/2019). Badan Anggaran (Banggar) DPR bersama dengan pemerintah menyetujui target pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di kisaran angka 5,2% pada 2019 atau melesat dari target awal 5,3%. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sementara, negara maju lain seperti Amerika Serikat juga kurang lebih sama meskipun aturan GSP-nya tidak secara gamblang menunjukkan korelasi antara status negara menengah atas/bawah dengan pemberian tarif GSP AS.

Namun, pada prinsipnya sama, semakin tinggi skala pendapatan suatu negara, skema GSP semakin dikurangi atau dihapuskan seluruhnya agar supplier dari negara tersebut bisa bersaing dengan level playing field yang “normal” atau MFN di pasar negara pemberi GSP.

“Menurut kami ini konsekuensi logis dari pertumbuhan ekonomi. Karena toh kita ingin Indonesia menjadi negara yang lebih maju dengan skala ekonomi dan pendapatan yang lebih tinggi. Kita juga ingin ekspor kita bisa memiliki daya saing yang lebih tinggi/terus unggul di pasar apapun kebijakan yang ada di negara tujuan ekspor,” ungkapnya.

Shinta menegaskan yang penting adalah bagaimana Indonesia mengubah pola ekonomi secara internal agar lebih sesuai dengan tuntutan persaingan global yang lebih tinggi. Begitu Indonesia menjadi negara dengan kelas pendapatan yang lebih tinggi.

Dengan Indonesia menjadi negara kelas menengah atas, tentu ekonomi nasional harus lebih efisien, lebih produktif, lebih inovatif dan lebih berdaya saing. Ini tidak bisa dilakukan kalau Pemerintah hanya mempertahankan kondisi status quo atau hanya bersikap reaktif (cenderung menunggu hingga dampak negatifnya terasa).

“Sebaliknya, Pemerintah dan masyarakat Indonesia harus lebih proaktif mengantisipasi perkembangan yang ada di dalam dan luar negeri agar bisa dimaksimalkan untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi,” pungkasnya.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya