Jalan Panjang Indonesia Mereformasi Sistem Perpajakan

Sektor perpajakan Indonesia telah mengalami perjalanan panjang dalam mereformasi sistemnya.

oleh Liputan6.com diperbarui 13 Jul 2021, 17:45 WIB
Ilustrasi: Pajak Foto: Istimewa

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Amir Uskara menyebut bahwa bidang perpajakan Indonesia telah mengalami perjalanan panjang dalam mereformasi sistemnya. Hasil dari perjalanan panjang tersebut telah membawa sistem perpajakan menjadi lebih sustainable.

Oleh karenaya Komisi XI DPR RI mendorong agar Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) ini dapat menangkap perubahan zaman. Serta menjadikan penerimaan pajak sebagai sumber pendapatan negara yang penting.

"RUU KUP dirancang untuk meletakkan pondasi sistem perpajakan yang adil, sehat, efektif dan akuntabel. Juga membangun pondasi perpajakan dalam rangka keberlanjutan reformasi perpajakan untuk menjawab berbagai tantangan," ujar Amir dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi XI DPR RI dengan pakar perpajakan secara virtual, Selasa (13/7).

Selain itu, Amir mengungkapkan bahwa agenda reformasi perpajakan Indonesia juga dipengaruhi oleh dinamika perubahan dunia usaha dan tren perpajakan global. Dimana, globalisasi ekonomi dan perkembangan teknologi informasi telah membawa perubahan fundamental terhadap sistem perekonomian global.

"Hal itu ditandai dengan maraknya transaksi lintas negara dan transaksi ekonomi digital," sebutnya.

Oleh karenanya, pemerintah sebagai pihak pengusul RUU KUP, menilai saat ini merupakan momentum yang tepat untuk melakukan reformasi struktural di bidang perpajakan.

Adapun RUU KUP kali ini memuat lima kelompok materi utama yang masing-masing di dalamnya berisi pengaturan-pengaturan tertentu. Kelima itu ialah terkait perubahan materi UU KUP, perubahan materi UU PPh, perubahan materi UU PPN, perubahan materi UU Cukai dan rencana pengenaan pajak karbon

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Sri Mulyani: Kesepakatan Perpajakan Internasional Sejalan Agenda Reformasi Pemerintah

Ilustrasi Pajak (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengapresiasi kesepakatan bersejarah mengenai perubahan arsitektur perpajakan internasional menjadi lebih stabil dan adil. Kesepakatan ini sejalan dengan agenda reformasi perpajakan yang tengah digulirkan Pemerintah Indonesia.

Terdapat dua pilar yang dihasilkan dari kesepakatan tersebut. Pilar pertama yakni mengalokasikan kembali beberapa hak perpajakan untuk memberikan hak kepada yurisdiksi pasar mengenakan pajak atas bagian dari keuntungan perusahaan multinasional besar.

Pilar kedua mengenai pengenaan tarif pajak perusahaan minimum global sebesar 15 persen untuk mengatasi persaingan pajak.

“Komponen kunci dari dua pilar tentang realokasi keuntungan perusahaan multinasional dan juga pajak minimum global yang efektif sangat penting untuk memperbarui sistem pajak internasional yang ada untuk mencapai globalisasi yang adil dan inklusif, sederhana dan adil untuk negara maju dan negara berkembang,” kata Sri Mulyami dalam Pertemuan G20 Finance Ministers and Central Bank Governors (FMCBG), ditulis Senin (12/7/2021).

Dia menjelaskan kesepakatan tersebut bukanlah tujuan akhir, tetapi merupakan titik awal yang kuat untuk merumuskan jalan ke depan untuk memastikan implementasi berjalan lancar.

“Kami berkomitmen untuk bekerja sama dengan OECD, Kerangka Inklusif G20 di BEPS untuk segera mengatasi masalah yang tersisa dan menyelesaikan elemen desain dalam kerangka yang disepakati pada Oktober 2021. Presidensi G20 Indonesia Tahun 2022 berkomitmen untuk menjaga momentum dalam implementasi kesepakatan tersebut,” ujarnya.

Kesepakatan ini mencerminkan keberhasilan multilateralisme dalam mengatasi tantangan global, khususnya memerangi praktik Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) dan “race to the bottom” dalam perpajakan internasional.

“Ini adalah momen bersejarah. Saya ingin menyampaikan penghargaan kami kepada Presidensi G20 Italia serta OECD atas kepemimpinan mereka dalam mencapai kesepakatan bersejarah ini tentang arsitektur pajak internasional yang lebih stabil dan lebih adil,” jelasnya.

Bendahara Negara ini juga memberikan apresiasi atas inisiatif yang relevan dan tepat waktu dari Presidensi G20 Italia pada Simposium Pajak Tingkat Tinggi G20 tentang Kebijakan Pajak dan Perubahan Iklim.

“Ini juga merupakan forum yang sangat baik sebagai dasar untuk mengumpulkan informasi, pengetahuan, dan juga untuk lebih membingkai diskusi yang sedang berlangsung tentang kebijakan mitigasi iklim,” ungkapnya.


3 Isu Utama

Ilustrasi Foto Pajak (iStockphoto)

Dalam kesempatan tersebut, dirinya juga menyoroti tiga isu utama yang diharapkan dapat meningkatkan dialog mengenai iklim di jalur keuangan G20. Pertama, penting untuk mendorong partisipasi sektor swasta dalam mengatasi tantangan iklim dengan memperkuat dan memperluas jangkauan platform pembiayaan.

“Pendekatan multidimensi, termasuk desain insentif pajak, sangat penting untuk memfasilitasi dan menyalurkan bagian keuangan dan investasi swasta yang jauh lebih besar ke arah pilihan yang lebih berkelanjutan dan rendah karbon,” tegasnya.

Kedua, pedoman dan kerangka pembiayaan iklim, seperti penetapan harga karbon, mekanisme insentif, dan pembiayaan inovatif, diperlukan untuk memberikan opsi alternatif untuk mempercepat aksi iklim.

“Ketiga, penilaian komprehensif tentang dampak ekonomi dari perubahan iklim, termasuk mengenali implikasi luas dari kebijakan terkait iklim, penting untuk memastikan diskusi di G20 seimbang,” tutupnya.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya